HIDUPKATOLIK.COM – Tantangan dalam Pendidikan Katolik adalah menentukan cara belajar yang tepat, sesuai dengan daya serap siswa. Masalahnya, “tugas Guru sebagai pendidik sekaligus pengajar bukan saja termulia, tetapi juga yang tersulit” (Nadiem Makarim).
Dengan mengikuti anjuran Ki Hajar Dewantara yang cenderung untuk siswa, dalam belajar, siswa harus berdiri sendiri, sedangkan Guru bertindak sebagai pendamping. Peserta didik adalah subyek belajar, bukan obyek. Guru bukan mengatur dan menjejalkan konsep tetapi mendorong peserta didik untuk menemukan sendiri jawaban. Guru memupuk rasa ingin tahu pesrrta didik untuk mencari sendiri jawabannya, entah melalui buku, internet, alam sekitar dan lingkungan.
Sejarah Ilmu Pendidikan mencatat bahwa Ki Hajar Dewantara pun dipengaruhi pemikir lain seperti Friederich Wilhelm August Fröbel atau Froebel (lahir di Oberweißbach, Saalfeld-Rudolstadt, Thüringen, Jerman, 21 April 1782 – meninggal di Schweina, Wartburgkreis, Thüringen, Jerman, 21 Juni 1852 pada umur 70 tahun) adalah salah satu tokoh pendidikan yang karya dan pemikirannya masih dijadikan acuan bagi dunia pendidikan modern hingga saat ini. Dan juga Dr. Maria Tecla Artemisia Montessori (lahir di Chiaravalle, 31 Agustus 1870-6 Mei 1952) adalah seorang dokter Italia dan pendidik terkenal. Dia antara lain belajar Ilmu kedokteran pada Universitas Sapienza di Roma. Dr. Montessori berpendapat “bahwa kemerdekaan adalah hak azasi tiap-tiap makhluk. Karena itu ia menghendaki kebebasan buat anak-anak. Pendidikan bebas untuk kemerdekaan, itulah yang menjadi pokok utama dari pikirannya. Merdeka berarti sanggup membuat sesuatu dengan tenaga dan usaha sendiri, tanpa bantuan atau paksaan orang lain. Anak-anak mempunyai daya di dalam diri mereka sendiri. Maka adalah tugas dari pendidik untuk membimbing dan membina daya itu agar dapat berkembang secara baik dan wajar.”
Ki Hadjar Dewantara, (lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959) mengungkapkan semboyan “Tut Wuri Handayani” yaitu memberi kebebasan yang luas dalam mendidik anak sejauh tidak ada bahaya yang mengancam. Dalam budaya Indonesia, dikenal istilah “Among”.
Dengan berpijak pada budaya Indonesia terdapat tiga proses pendidikan, yaitu yang pertama “Ing Ngarso Sung Tulodo” yaitu pendidik berada di depan memberi teladan. Kedua, “Ing Madyo Mangun Karso” yang berarti pendidik selalu berada di tengah dan memberi motivasi. Ketiga “Tut Wuri Handayani”, berarti pendidik selalu mendukung dan mendorong anak didik selalu maju. Inilah butir mutiara yang diwariskan oleh Bapak Pendidikan Nasional. Sudah lama kita tenggelam dalam teori-teori asing yang tidak berpijak pada budaya bangsa. Pemikiran Ki Hajar Dewantara cukup lama nyaris hanya menjadi slogan bahkan telah dimuseumkan.”
Para pemikir modern di bidang pendidikan pun telah memberi kritik tajam terhadap pendidikan yang hanya menjadikan siswa sebagai objek. Guru mengajar, murid diajar. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid hanya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. Pendidikan dilaksanakan sebagai kegiatan menabung. Para murid sebagai celengan dan guru adalah penabungnya.
Yang terjadi “bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.”
Di bidang Katekese pun telah terjadi perubahan. Peserta tidak lagi diperlakukan sebagai obyek dengan pengajaran monolog satu arah. Dikembangkan katekese umat dan katekese sosial yang mana peserta adalah subyek yang berpartisipasi aktif. Demikian pula mutatis mutandis dengan metode Ki Hajar Dewantara, bahkan dengan kekhususannya dikembangkan ketika kami belajar Teologi Proyek Kerja. Partisipasi aktif peserta didik sangat menentukan keberhasilan pendidikan kita Sekolahan Yakobus.
Sebagai perbandingan sejak lama dalam studi Teologi pun telah berubah, peserta didik didorong untuk tidak takut mengajukan pertanyaan baru dan mencari jawaban tersebut secara lengkap. Peserta didik diperlakukan sebagai subyek, karena bagaimanapun pula jika teologi diartikan sebagai iman yang mencari pemahaman, siapapun yang memiliki iman dapat mencari pengertian iman mereka dengan bertanya dan mencari jawaban. Ternyata merdeka belajarpun dalam arti tertentu telah dilaksanakan lama dalam studi Teologi.
Terlepas dari apapun, “seni mengajar teologi adalah seni mengizinkan Roh Kudus bekerja dalam diri murid-murid di dalam kelas secara total. Dengan begitu, murid-murid belajar melakukan teologi mereka sendiri dan akhirnya tiba pada pemahaman yang lebih mendalam tentang iman mereka.”
Dari uraian singkat di atas, dengan moto Merdeka Belajar kepada siswa diberi cara belajar sebebas-bebasnya tanpa paksaan. Tentu saja, Merdeka Belajar tidak dimaknai sebagai belajar semaunya sendiri, tanpa acuan, tanpa pedoman, tanpa kriteria. Justru merdeka belajar menuntut tanggung jawab dan kreativitas. Dengan demikian, kita berharap peserta didik di dalam persekolahan kita: lebih terpacu untuk lebih mendalami sendiri pokok-pokok ajaran studi, dengan moto “Merdeka Belajar”.
Disampaikan di Kelapa Gading, 25 November 2022. Romo Jacobus Taringan adalah Romo Rekan di Paroki Kelapa Gading dan Dosen di STF Driyarkara dan Universitas Katolik,Atma Jaya Jakarta.