HIDUPKATOLIK.COM – SETELAH sempat tertunda karena pandemi, Fetival Budaya Asmat akhirnya dapat digelar kembali pada tanggal 6-13 Okober 2022 di Kota Agats. Festival ini merupakan hajatan bersama antara Pemerintah Kabupaten Agats dan Keuskupan Agats-Asmat.
Festival yang telah digelar sejak tahun 1981 ini telah bertransformasi menjadi ikon Kabupaten Agats. Pada event ini digelar pelbagai seni ukir adiluhung para seiman Agats dari berbagai distrik, tak jarang juga ada banyak hasil karya yang dijual (dilelang) dengan harga dari jutaan hingga puluhan/ratusan juta rupiah. Dengan demikian, festival ini secara langsung menggerakkan roda perekonomian masyarakat setempat. Para pencinta (kolektor) seni Agats juga berdatangan dari dalam dan luar negeri. Selain seni ukir, tentu saja, seni budaya yang lain, tari dan musik khas Papua juga digelar selama pekan festival berlangsung.
Ada juga yang istimewa dalam perhelatan kali ini. Di awal festival, diselenggaran pula Temu Unio Regio Papua. Para imam hadir dari Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Sorong-Manokwari, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Timika, dan tuan rumah sendiri, Keuskupan Agats-Asmat. Mereka duduk bersama dan mengadakan refleksi bersama atas karya dan pelayanan para imam diosesan ini di tengah umat. Para imam bahkan sempat mengadakan live in yang berlangsung secara semarak. Para imam disambut dengan meriah melalui perarakan dan iringan perahu-perahu.
Ya, Festival Budaya Asmat yang sejak tahun 2019 berganti nama menjadi Festival Asmat Pokman tak sekadar festival budaya yang menampilkan karya seni terbaik anak-anak Asmat. (Pokman: Pokman dalam bahasa Asmat dialek Rumpun Bisman yang mengandung pengertian hasil karya yang merupakan ekspresi budaya dan jati diri suku Asmat atau orang Asmat dan suku-suku lokal di negeri lumpur dan rawa Asmat). Lebih dari itu, festival ini telah menyimpan makna mendalam dari sisi religinya. Kehadiran Gereja dalam hal ini Keuskupan Agats telah membawa warna tersendiri di dalamnya. Kehadiran Gereja ingin mengemukakan bahwa festival ini juga ‘altar’ atau pasar yang menghadirkan tak hanya hal-hal yang profan (seni-budaya) tetapi juga yang ilahi. Jika melihat seni ukir yang ditampilkan oleh para seniman, kedalaman keimanan mereka (seniman Katolik di dalamnya) juga kian mewarnai hasil karya mereka.
Festival ini telah memperlihatkan kepada kita, tak hanya di Indonesia, tetapi juga kepada dunia bahwa selain kekayaan alam yang tak tertadingi, Papua juga memiliki seniman-seniman berkelas internasional. Hal itu tampak terang benderang dalam festival ini. Di tengah keterbatasan masyarakat Asmat (Papua), mereka mampu menghasilkan karya-karya seni yang telah mendapat tempat di dunia internasional.
Maka, kehadiran Gereja dalam hal ini Keuskupan Agats, tak lain merupakan tanda partisipasi secara konkretnya untuk menjaga, merawat, sekaligus menanamkan nilai-nilai keimanan. Kita beraharap peran sentral Gereja dalam festival ini akan terus dipertahankan dan diperkuat.
HIDUP, No. 46, Tahun ke-76, Minggu, 13 November 2022