HIDUPKATOLIK.COM – Tidak banyak yang tahu tentang mengapa disebut nama sekolah beradaban karena hanya mendengar cerita dari generasi ke generasi.
SD YPPK St. Theresia Kumbe, terletak di pesisir pantai yang berada di Distrik Malind, Kabupaten Merauke. Lokasi sekolah berjarak sangat dekat dengan pelabuhan Kumbe yang menjadi penyokong perekonomian daerah itu. Untuk mencapai sekolah ini dari Merauke dapat ditempuh lewat perjalanan darat dengan kendaraan roda dua dan roda empat dengan waktu tempuh dua jam.
Walaupun berada di pesisir pantai, Kumbe merupakan gambaran ‘Indonesia mini’. Berbagai etnis mendiami kampung ini. Kerukunan dan persaudaraan sangat dijaga dan dirawat dengan baik dan menjadi contoh bagi kampung-kampung yang lainnya.
Sejak berdiri pada 1 Oktober 1922 sekolah ini dipimpin oleh Mauritz Retob, seorang guru Kei. Seperti diketahui bahwa misionaris awam dari Kei dikenal membawa misi kekatolikan lewat pendidikan di tanah Papua hingga ke pelosok dan terpencil.
Dahulu kala disebut sekolah peradaban namun seiring berjalannya waktu, sekolah peradaban atau sekolah rakyat berganti nama menjadi SD dan berpindah lokasi. Tidak banyak yang tahu tentang mengapa disebut nama sekolah beradaban karena hanya mendengar cerita dari generasi ke generasi.
Pada 1 Oktober 2022 sekolah ini merayakan 100 Tahun usia berdirinya. Tema yagn diusung, “Dengan Semangat 100 Tahun, kita jadikan SD YPPK St. Theresia Kumbe sebagai lembaga yang menciptakan sumber daya manusia yang berkarakter, berakhlak mulia, dan berkualitas.”
Perjalanan panjang mendidik dan mempertahankan hingga mencapai usia satu abad bukanlah perjalanan yang singkat. Banyak perjuangan dan lika-liku dialami oleh guru-guru sekolah ini demi mencerdaskan anak bangsa.
Seng dan Gabah
Waktu berjalan SD St. Theresia Kumbe telah melahirkan generasi bangsa yang telah menduduki jabatan-jabatan penting. Wilhelmina Maskim, mantan guru dan kepala sekolah yang juga hadir dalam perayaan 100 tahun mengisahkan bahwa saat itu hanya terdapat dua ruang kelas beratap seng dan berdinding gabah-gabah sedangkan yang lain beratap daun sagu dengan lantai tanah. Dimulai dari kelas 1-3 sedangkan kelas 4-6 melanjutkan ke Merauke.
Walaupun keadaan serba terbatas, namun hal itu tak menyurutkan semangat para guru untuk terus melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik dan tanggung jawab. Tak pernah ada kata lelah yang ada hanya semangat pantang mundur, kendati mengalami keterbatasan ruang belajar dan bangunan sekolah yang mengalami kerusakan.
Tahun 1978, kisah Wilhemina, sekolah mengalami kebocoran saat hujan dan ruang kelas menjadi tergenang. Melihat kondisi ini, Kepala Sekolah, Vitalis Samderubun mencari jalan untuk mendapat bantuan dari Keuskupan Agung Merauke.
“Ketika murid sudah bertambah banyak ruangan kelas tidak mencukupi sehingga murid berdesak-desakan, satu bangku diisi 3-4 orang. Situasi ini bertahan hingga tahun 1987. Masih ada diingatan saya, ada seorang bruder Belanda yang datang membangun ruang kelas dengan ukuran 6×6 meter maka kami harus berpindah ke lokasi transmigrasi untuk sementara sampai bangunan baru selesai,” tutur Wilhelmina.
Bila dibandingkan dengan sekarang, kata Wilhelmina, kendati sarana prasarana terbatas anak-anak antusias dalam belajar dan bisa diatur, tidak terlihat kenakalan pada anak-anak. Kebanyakan murid yang bersekolah di sekolah ini anak-anak dari suku Jawa dan Makasar yang mayoritas Muslim.
Pada tahun 1987-1997, jumlah murid sekitar 300 orang sehingga harus membagi murid-murid untuk kelas pagi dan sore karena ruangan kelas tidak dapat menampung.
Keprihatinan ini memacu Wilhelmina berpikir, bagaimana harus mendapatkan dana untuk menambah ruang kelas lagi. Ia mencoba mencari dana ke Delegasi Pendidikan Keuskupan. “Saya memberanikan diri agar kami diberi dana untuk penambahan satu ruangan kelas karena saat itu murid kelas satu belajar di ruangan teras rumah saya sendiri,” kenangnya.
Tahun 1991-1992, sekolah mendapat bantuan dana untuk membangun 3 ruang kelas. Demi memaksimalkan dana yang ada, seorang mantan alumni bersedia membantu membuatkan batu bata. “Anak-anak memiliki kepekaan dan mau bekerja keras dan terlibat langsung bekerja membantu. Setiap sore gotong-royong menggali pasir di depan sekolah, mencetak batu bata. Untuk proses pembakaran melibatkan orang tua murid. Kami meminta anak-anak agar orang tuanya membantu membakar batu sehingga mulai bersama-sama membangun satu ruang kelas dengan ukuran 8×7 meter,” tutur Wilhelmina.
Bersyukur
Kepala Paroki St. Petrus dan Paulus Kumbe, Pastor Oscar Sinaga, OFMCap, saat memimpin perayaan 100 tahun mengajak semua undangan untuk bergembira karena boleh merayakan satu abad SD YPPK ST.Theresia Kumbe.
“Kalau perhitungan matematis angka ini sungguh menjadi angka yang sempurna lengkap, bukan angka kemarin, sungguh luar biasa. Hal pertama adalah bersyukur atas segala pengalaman jatuh bangun, suka duka, rencana, program yang sudah terlaksana dan yang masih akan dilaksanakan,” ungkapnya.
Ia mengajak bersyukur karena sampai sekarang para guru dan anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di St. Theresia dapat meneladan St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus tentang kerendahan hati, ketulusan, dan kepolosan.
Hal senada disampaikan Aloysius Kiko, mewakili Ketua YPPK. Ia juga berterima kasih kepada Kepala Sekolah, Damiana Samderubun yang adalah alumni SD St.Theresia dan menjadi guru hingga menjadi kepala sekolah sampai pensiun di sini.
Ia mengatakan tidak semua orang seperti Damiana. Maka YPPK mengucapkan limpah terima kasih atas cinta, pengabdian dan dedikasi yang sudah diberikan untuk almamater.
Temukan Toleransi
Kisah yang lain datang dari Maryatun, salah satu alumni tahun 1995. Ia merupakan siswa Muslim mengaku bersama seorang kakaknya menamatkan sekolahnya di sini. “Waktu itu belum ada sekolah lain di kampung Kumbe. Tidak ada pilihan lain. Ketika menempuh bersekolah di sini saya menemukan toleransi, persaudaraan, dan saling menghargai. Tidak pernah ada pertanyaan dalam hati, kamu katolik saya muslim, tidak ada pengkotak-kotakan. Intinya saya mendapatkan pelajaran yang baik sampai lulus sekolah,” tuturnya.
“Ketika ada Misa atau perayaan Katolik lainnya di sekolah, kami mengikutinya, tetapi ketika sudah berada dirumah kami kembali mengikuti agama kami. Di sekolah ya mengikuti proses yang ada dan tidak pernah ada kendala,” tuturnya.
“Kami, orang-orang Jawa yang juga saling menghargai dan membaur dengan sama saudara dari etnis lain karena di Kumbe ini beragam etnis dan suku. Tidak pernah ada perbedaan atau gesekan antara kami dengan teman-teman yang lain dari sejak kecil sampai sekarang. Semuanya berjalan dengan baik dan saling menghargai. Toleransi sudah ada sejak dulu hingga saat ini,” ungkap Maryatun.
Damiana, yang akan purna tugas mengucapakan terima kasih kepada para pendahulunya yang telah menanamkan pondasi yang kuat. Pimpinan dari generasi ke generasi sangat setia di dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa dan mempertahankan nilai-nilai cinta kasih hingga usia ke-100tahun.
Dapat Kado
Saat ini di usia ke 100 tahun terdapat 223 siswa, terdiri dari 148 siswa Katolik, 51 Muslim dan 25 Protestan. Siswa non-Katolik saat mendaftar membuat pernyataan untuk mengikuti proses belajar mengajar yang ada. “Pada dasarnya anak-anak mengikuti semua proses belajar mengajar dengan baik. Ini pilihan mereka walau sekarang sudah ada sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Kumbe tapi mereka lebih memilih bersekolah di sini. Alasannya karena kedisiplinan, dan nilai-nilai toleransi dan cinta kasih didapatkan di sini juga karena orang tua mereka alumni dari sekolah ini,” kata Damiana.
Damiana juga mengajak para alumni, pemerintah dan yayasan pada momen 100 tahun untuk lebih jauh melihat sekolah. “Saat ini yang paling mendesak adalah membutuhkan sebuah ruangan untuk laboratorium komputer karena Dinas Pendidikan memberi sumbangan beberapa unit komputer,” tuturnya
Menurut Damiana, komputer sangat perlu di era sekarang ini. Anak didik harus bisa menggunakan komputer walaupun berada di distrik atau kampung. SD St.Theresia tidak boleh ketinggalan dari sekolah yang lain.
Damiana juga bersyukur karena dua hari menjelang puncak perayaan, SD St.Theresia juga telah terakreditasi. “Patut juga disyukuri sebagai hadiah perayaan seabad ini,” imbuhnya.
Helen Yovita Tael (Kontributor, Merauke)
HIDUP, Edisi No. 44, Tahun ke-76, Minggu, 30 Oktober 2022