HIDUPKATOLIK.COM -AMARTYA Sen, peraih nobel Ekonomi tahun 1998 dari India yang lama bekerja di Amerika dan Inggris, menceritakan tentang pengalaman yang disebutnya sebagai “Pergeseran Identitas.” Dia mengatakan, “Kenangan buruk saya akan kerusuhan Hindu-Islam di India pada 1940an… di antaranya adalah – dengan pandangan bingung seorang bocah — pergeseran identitas secara besar-besaran menyusul berlangsungnya politik pemecahbelahan. Identitas sedemikian banyak orang sebagai India…., sekonyong-konyong berganti dengan identitas sektarian sebagai komunitas Hindu, Muslim dan Sikh. Pembantaian yang terjadi kemudian terkait erat dengan perilaku dasar kawanan…. orang-orang dipaksa untuk ‘menemukan’ identitas baru mereka yang saling bermusuhan, tanpa mempertanyakan proses tersebut melalui pengujian kritis” (Amartya Sen, 2006).
Saya ingin menggunakan konsep pergeseran identitas ini untuk melihat dua fenomena yang terjadi di Indonesia berhubungan dengan perbedaan agama: segregasi antarumat beragama; dan lahirnya kelompok-kelompok lintas iman sebagai tanggapan atas fenomena pertama.
Penguatan Identitas
Konsep dasar penguatan identitas sebenarnya mirip dengan apa yang disebut sebagai pengarusutamaan. Identitas itu sebenarnya beragam, mulai dari identitas sebagai manusia, sesama putra-putri ibu pertiwi, bergender perempuan atau laki-laki, dan ada juga identitas agama, digiring, melalui narasi tertentu, untuk hanya memperhatikan salah satu identitas saja. Identitas lain yang mungkin menghubungkan dia dengan lebih banyak orang diabaikan.
Inilah yang terbentuk ketika ada penguatan identitas agama. Tiba-tiba orang tidak menganggap penting kesamaan sebagai sesama manusia, sesama warga bangsa, sesama anggota keluarga, hanya karena menganggap bahwa identitas agama menjadi yang paling menentukan. Hal ini menjadi lebih kuat lagi ketika orang sampai membicarakan tentang surga dan neraka sebagai “Surga milikku” dan “Neraka menjadi takdirmu.” Dalam kacamata ini, orang dibuat tidak mampu berpikir kritis dan menerimanya sebagai kebenaran satu-satunya. Rasa-rasanya, inilah awal mula segregasi agama.
Belajar dari pengalaman Amartya Sen, sebagian masyarakat Indonesia sedang mengarah ke sana. Tidak usah jauh-jauh berbicara tentang orang lain, ada banyak orang-orang Katolik yang sedang mengalami penguatan identitas ini. Segala hal dihubungkan dengan agama, sampai-sampai kalau ada pemain badminton yang bagus, orang tidak bertanya kisah pencapaiannya, tetapi, “Apa agamanya?”
Proses yang sama saat ini terjadi dengan gerakan ‘lintas iman’ yang siap berhadapan dengan ekstrimis agama. Kesadaran bahwa bangsa kita sedang tidak baik-baik saja sedang diarusutamakan. Sebagai bangsa, kita menggerakkan ‘moderasi beragama’ yang dijadikan rumah bersama bagi gerakan-gerakan lintas iman. Kita sadar bahwa negeri ini sudah cukup menderita ketika identitas agama diarusutamakan. Identitas kita sebagai bangsa adalah hidup dalam keragaman. Di sana ada tenggang rasa, menghormati perbedaan, toleransi, kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Di sana tidak ada saling menang-menangan, diskriminasi, ataupun penindasan atas nama agama. Itulah mimpi kita bersama.
Pengarusutamaan gerakan ini oleh pemerintah perlu kita tanggapi bersama, agar orang berbondong-bondong menahan ‘pergeseran identitas.’ Di negeri, yang tidak mengacu pada nilai suatu agama, ini tidak pernah diterima konsep perbedaan agama sebagai pemisah antar warga. Justru kontribusi agama-agama untuk kehidupan bangsa sangat dibutuhkan. Maka, saat ini ada berbagai nama pengganti dari dialog lintas agama ini. Nama dialog itu diganti dengan: berbagi di masa pandemi; gereja/masjid/pura sebagai tempat vaksinasi; gerakan pencinta alam; gerakan advokasi perempuan dan anak; dsb.
Sudah saatnya kita mengarusutamakan perjuangan menuju bangsa yang makmur, adil dan sejahtera. Dalam hal ini, agama-agama berkontribusi bagi kebersamaan, bukan pemisahan. Harapannya, pergeseran identitas yang terjadi bukanlah pergeseran negatif seperti dialami Amartya Sen, melainkan pergeseran positif saat kita menemukan putra-putri bangsa ini saling bergandengan tangan, tolong menolong dalam bakti bagi ibu pertiwi.
Romo Martinus Joko Lelono , Imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, Pengajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
HIDUP, Edisi No. 44, Tahun ke-76, Minggu, 30 Oktotober 2022