web page hit counter
Senin, 18 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketika Fondasi Kesetaraan Dihancurkan

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “SAYA ingin, mengingat para pahlawan yang menderita di China dan Hong Kong karena menghormati martabat manusia, kebebasan dan demokrasi,” tandas Kardinal Joseph Zen Ze-kiun saat menerima penghargaan Truman-Reagan Medal of Freedom dari Victims of Communism Memorial Foundation di ibu kota Amerika Serikat, Washington, pada 28 Januari 2019 lalu.

Menurut situs web yayasan, medali itu diberikan setiap tahun kepada individu dan institusi yang telah menunjukkan komitmen seumur hidup terhadap kebebasan dan demokrasi dan penentangan terhadap komunisme dan semua bentuk tirani lainnya.

Uskup Emeritus Hong Kong yang berusia 90 tahun itu telah berulang kali menulis artikel yang menentang perjanjian sementara Vatikan – China tentang penunjukan uskup dan menyuarakan keprihatinan Gereja Katolik bawah tanah China.

Mengutip Yesaya (61:1), Kardinal Zen mengatakan bahwa pergerakannya bagi keadilan dan demokrasi berkat Roh Tuhan yang ada pada dirinya, karena Tuhan telah mengurapinya untuk memberitakan kabar baik kepada orang miskin.

“Dia telah mengutus aku untuk membalut orang-orang yang patah hati, untuk menyatakan kebebasan bagi para tawanan dan pembebasan dari kegelapan bagi para tawanan,” kutipnya saat pidato setelah mendapat penghargaan.

Dia mengatakan bahwa dalam sejarah manusia selalu ada yang miskin, yang terpenjara, yang tertindas. Sayangnya, Revolusi Industri tampil disertai dengan kebangkitan kapitalisme liar.

“Kaum kapitalis, yang memiliki alat-alat produksi, mengeksploitasi proletariat, menahan mereka di bawah perbudakan,” tandasnya.

Kardinal Zen dan Paus Fransiskus

 

Menurutnya, Karl Marx muncul sebagai seorang nabi. Dia mengajarkan pembebasan melalui perjuangan kelas, yang berarti revolusi berdarah. Obatnya lebih buruk daripada penyakitnya. Kekerasan tidak pernah menjadi solusi untuk masalah apa pun.

“Masalahnya ada di hati manusia: keegoisan, keserakahan. Tanpa hati yang penuh kasih, sistem apa pun pasti akan menjadi tidak manusiawi,” kata Kardinal Zen yang lahir di Shanghai, China, ini.

Baca Juga:  Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Menjadi Kumpulan Orang Pilihan

Di matanya, komunis mengotbahkan kesetaraan, mereka mengkotbahkan persaudaraan, tetapi mereka menghancurkan dasar kesetaraan dan persaudaraan yang berada dalam martabat manusia yang berakar pada asal usul kita bersama dari Bapa kita di Surga.

“Semua negara komunis, sepengetahuan kami, hanya mencapai kemiskinan yang sama untuk semua orang. Ekspor utama mereka adalah manusia yang melarikan diri dari surga komunis (sebelum mereka meninggalkan Marxisme),” tandasnya.

Dia mengatakan bahwa dia tidak menderita secara pribadi dari Partai Komunis China. Dia datang ke Hong Kong pada tahun 1948 (untuk bergabung dengan Novisiat Salesian). Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949, tahun berikutnya.

“Kerabat saya menderita karena semua keluarga menderita di bawah rezim yang tidak manusiawi itu, terutama saudara ipar saya, suami dari kakak perempuan saya, orang yang paling baik. Suatu hari mereka datang untuk menangkapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa mengatakan kejahatan apa yang dituduhkan kepadanya. Mereka mengirimnya untuk bekerja bagi pembangunan atau perbaikan kereta api, bekerja di bawah terik matahari. Mereka bahkan mencukur kepalanya. Setelah beberapa bulan, mereka membebaskannya, mengirimnya kembali ke rumah, sekali lagi tanpa penjelasan apa pun,” tutur Kardinal Zen.

Adik laki-lakinya, seorang mahasiswa brilian di Universitas Jiao Tong Shanghai, lulus di jurusan teknik angkatan laut. Tetapi pihak universitas menolak untuk memberinya ijazah dan mengirimnya untuk bekerja jauh dari Shanghai di Fujian, tempat yang sangat miskin. Mereka memberi alasan bahwa hal itu terjadi karena dia dilatih sebagai agen di Hong Kong.

Baca Juga:  Misa Gregorian: 30 Hari Tanpa Terputus

Kardinal Zen mengatakan, apa yang disebut kediktatoran proletariat, yang menurut Marx seharusnya bersifat sementara, ternyata adalah imperium komunis.

“Saya berkesempatan mengunjungi kota asal saya Shanghai pada tahun 1974 (setelah 26 tahun absen) sebelum akhir Revolusi Kebudayaan. Kami tidak tahu mengapa mereka membuka pintu untuk orang-orang Hong Kong yang berani pergi. Itu di luar dugaan. Seluruh negeri adalah kamp konsentrasi,” tuturnya.

Kardinal Zen mengatakan bahwa semua agama telah menghilang. Gereja-gereja baik ditutup dengan segel atau diubah menjadi pabrik, gudang atau penggunaan lainnya. Gereja paroki saya menjadi ‘klub rakyat’ di mana orang bisa mendapatkan makanan sederhana dan fasilitas rekreasi.

Kardinal Zen memberanikan diri mendaftar untuk mengajar di Seminari Shanghai pada tahun 1984, namun izin baru dia peroleh pada akhir tahun 1988. Dia berangkat ke Shanghai pada musim gugur tahun 1989, tepat setelah peristiwa Lapangan Tiananmen, ketika banyak warga keluar dari China.

“Mereka memperlakukan saya dengan sangat baik. Kemudian mereka mengundang saya untuk mengajar di seminari lain, yaitu Xian, Wuhan, Shijiazhuang, Beijing, Shenyang. Saya bisa mengajar di China, enam bulan per tahun, selama tujuh tahun (1989-1996).

Mereka memperlakukan saya dengan sangat baik, tetapi saya dapat melihat bagaimana mereka memperlakukan dan mempermalukan orang-orang kami di Gereja Katolik kami: pelecehan terhadap mereka yang berada di bawah tanah (keluar dari penjara atau kamp kerja paksa setelah lebih dari 20 tahun, selamat dari banyak teman mereka di penjara). Mereka tidak menghormati bahkan para uskup dalam Gereja resmi, sama halnya dengan mereka yang selamat dari penjara dan kamp kerja paksa.

Sekarang ini, menurut Kardinal Zen, sangat sedikit sisa-sisa Marxisme sejati, tetapi kediktatoran ateis yang menganiaya tetap utuh.

Baca Juga:  KWI dan Garuda Indonesia Jalin Kerja Sama "Community Privilege"

“Anda tahu pengetatan kontrol baru-baru ini terhadap semua agama di China. Anda juga tahu situasi di Hong Kong, di mana sangat sedikit yang tersisa dari otonomi tingkat tinggi yang dijanjikan. Hong Kong akan segera menjadi salah satu kota di China,” tuturnya.

Tentang mendali yang diterimanya, Kardinal Zen mengatakan bahwa dia menerima medali dengan rasa syukur bukan untuk menghormati dirinya. Alasannya adalah karena dia hampir tidak membayar apa pun untuk kebebasan dirinya, tetapi dia menerima untuk mereka yang benar-benar menderita, karena kurangnya kebebasan di China dan Hong Kong.

“Saya menerima medali untuk mereka yang pantas mendapatkannya, tetapi tidak bisa datang ke sini untuk menerimanya. Saya ingin mengingat semua pahlawan yang mengorbankan hidup mereka demi martabat dan kebebasan manusia. Kami tidak meratapi mereka; mereka berada dalam bunga Tuhan dalam kebahagiaan abadi. Mereka yang mencoba menghancurkan martabat mereka hanya mempermalukan dan merendahkan diri mereka sendiri,” tandas Kardinal Zen.

Kardinal Zen menandaskaan bahwa dia ingin mengingat semua pahlawan yang menderita di China dan Hong Kong karena menyuarakan rasa hormat mereka terhadap martabat manusia, untuk kebebasan dan demokrasi, para pahlawan yang terkenal dan tidak dikenal itu.

“Semoga kehadiran saya di sini hari ini mengkonfirmasi pekerjaan mulia Anda dalam dukungan mereka dan semoga kehadiran kami hari ini dan doa-doa kami setiap hari memberi mereka kenyamanan dan kekuatan,” kata Kardinal Zen di akhir pidato pnerimaan medali.

Frans de Sales, SCJ dari berbagai sumber

HIDUP, Edisi No. 44, Tahun ke-76, Minggu, 30 Oktober 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles