HIDUPKATOLIK.CO – SANTO Agustinus dari Hippo (354-430) meyakini bahwa Tuhan memanggil banyak individu melalui sapaan, kadang Dia berseru lantang guna menghancurkan ketulian, dan kedegilan hati. Melalui berbagi peristiwa Tuhan membuka mata batin manusia untuk melihat sesuatu dengan cara baru. Tuhan memanggil manusia melalui jalan-jalan yang tersembunyi maupun tersingkap. Setiap orang berdosa — lewat panggilan-Nya — mempunyai peluang yang sama untuk kembali kepada Tuhan.
Aneka kisah, pertobatan mengantar orang yang tadinya biasa-biasa saja menjadi luar biasa, seperti Saulus menjadi Paulus, dan Inigo menjadi Ignatius Loyola. Untuk kembali ke jalan yang benar, manusia perlu belajar, dengan kesungguhan hati. Para murid dipanggil dari berbagai latar belakang dididik langsung oleh Yesus Sang Guru. Mereka jatuh bangun dalam mengikuti pembelajaran Yesus, sampai akhirnya dinyatakan “lulus”, dan menerima Roh Kudus dalam peristiwa Pentakosta. Mereka bertumbuh dan beralih, dari murid menjadi rasul yang tangguh dalam melayani umat Allah.
Titik Balik
Inigo, pemuda dari keluarga Loyola, sebelum bertobat mengalami penguatan ego dalam proses awal hidupnya. Dalam banyak hal, Inigo ingin membuktikan dengan cara sendiri, bahwa dia dapat memperoleh kedudukan, dan kehormatan duniawi dalam mengabdi raja Spanyol. Mimpi Inigo untuk mengabdi raja dalam jabatan yang lebih tinggi di perjalanan waktu hancur berkeping-keping. Peristiwa tragis di Pamplona pada 1521 mengubah segalanya. Dia terkena mesiu pasukan musuh, tentara Perancis, dan terluka parah. Hatinya menderita karena cita-cita yang diharapkan berantakan di tengah jalan.
Kendati demikian, hati kecil dia tetap berharap, dokter dapat menyembuhkan luka-luka yang diderita. Tetapi, kenyataannya berbeda, dia mengalami sakit berkepanjangan, dan dalam kesendirian mulai membaca De Vita Christi karya Ludolf von Sachsen terkait kisah-kisah kehidupan Yesus, dan para kudus. Pada saat-saat yang demikian, hati Inigo terbuka, dan selanjutnya mengalami fase titik balik, yaitu pertobatan.
Dorongan batin yang begitu kuat, membuat dia hijrah dari manusia lama ke baru, dari Inigo menjadi Ignatius Loyola. Di Monserrat, dia akhirnya menyerahkan pedang dan pakaian kebanggaan kepada orang lain. Simbol kekuatan egosentrisme yang kuat dibangun selama itu dilepas, dan diganti dengan babak kehidupan baru yang lebih memberikan makna bagi dirinya. Selanjutnya dia memutuskan untuk berziarah hingga Yerusalem,
Setelah kembali dari Yerusalem, dia melalui diskresi memutuskan belajar formal di Alcala, Salamanca dan Paris. Dia belajar humaniora, filsafat, dan teologi di usia yang tidak lagi muda. Dia belajar bukan untuk memenuhi hasrat menjadi pandai agar diakui oleh kalangan terhormat, melainkan guna mengembangkan kompetensi bakat atau potensi yang dimiliki untuk mencapai misi mulia yang ingin dicapai, demi semakin besarnya kemuliaan Allah.
Tanpa Henti
Dalam konsep pendidikan Ignatian ada istilah, striving for excellence yang berarti mengupayakan kesempurnaan. Yesus bersabda, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.” (Mat. 5:48). Kesempurnaan merupakan hasil dari proses pendidikan yang direfleksikan, dan berlangsung terus menerus hingga akhir hayat. Selagi diberikan kehidupan, manusia perlu terus belajar, guna membekali diri dalam menghadapi kehidupan yang kerap berubah.
Connor (2014) mengafirmasi dalam tulisan, “… an Ignatian Pedagogical Paradigm (IPP) that recognizes that learning is a lifelong journey that can take place in a variety of settings.” Paradigma Pedagogi Ignatian (PPI) secara eksplisit mengakui bahwa belajar adalah perjalanan seumur hidup yang dapat terjadi melalui berbagai model praksis penerapan.
Membuka hati merupakan pemantik awal, atau sebagai prasyarat untuk belajar terus, tanpa henti. Dalam hati yang terbuka, aktivitas belajar menjadi peristiwa yang menggembirakan. Aktivitas belajar yang menyenangkan membuat seseorang mampu mengoptimalkan pertumbuhan potensi dan bakat yang Tuhan berikan, hingga mencapai pribadi sukses. Dalam analisis Maxwell (2015), pribadi sukses adalah orang yang sadar siapa dirinya, mampu mengoptimalkan segala potensi yang Tuhan berikan, dan dapat membagikan benih-benih kebaikan bagi orang lain.
Dalam beberapa kajian, setidaknya, ada tiga dasar penting guna menumbuhkan semangat magis, belajar tanpa henti. Pertama, orang perlu menyadari bahwa formasi hidup berproses terus menerus. Sebagai langkah awal, orang perlu belajar dari sesama yang dijumpai. Dalam Alkitab, bahkan secara eksplisit Allah meminta seorang nabi, yang bernama Yeremia untuk belajar langsung dari tukang periuk.
Tuhan berfirman melalui Nabi Yeremia, “Pergilah dengan segera ke rumah tukang periuk Di sana Aku akan memperdengarkan perkataan-perkataan-Ku kepadamu.” (Yer. 18:2). Salah satu tafsir, menafsirkan seseorang ibarat periuk yang dibentuk oleh tangan Tuhan menuju pada kesempurnaan. Orang itu terus dipoles, dihaluskan, dan dipanaskan sampai menjadi bentuk yang diharapkan. Jatuh bangun manusia dalam menjalani hidup, sebagai tanda pembelajaran yang mengindikasikan bahwa kehidupan seseorang terus berproses.
Kedua, dalam spirit Ignatian, Kristus adalah pusat dari Latihan Rohani. Kristus mengundang siapa saja, termasuk kelompok Ignatian, untuk belajar padan-Nya. “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat. 11:29). Untuk memahami Yesus yang menyejarah — seperti yang digambarkan oleh Barclay (1976) dalam “The Mind of Jesus” — membutuhkan waktu formatif yang panjang dan berlangsung terus menerus. Kisah Yesus historis, jika direfleksikan, tidak pernah habis untuk didalami. Bahkan pada teks-teks suci yang sama, jika direnungkan ulang pada kesempatan yang berada dapat dimaknai secara baru.
Ketiga, adanya kesadaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang tertulis dalam Gravissimum Educationis, artikel pertama, yaitu membentuk pribadi manusia dalam perspektif sasaran akhir, demi kesejahteraan masyarakat di mana seseorang sebagai manusia adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.
Senada dengan itu, pada tanggal 31 Juli 1973, di Valencia, Pedro Arrupe, di hadapan para lulusan kolese Jesuit mengatakan “Men and women for and with others”, yang artinya manusia bagi dan bersama sesama. Dari kalimat tersebut, sangat jelas terurai bahwa orang belajar untuk menjadi peduli terhadap sesama, terutama yang paling membutuhkan. Kepedulian atau solidaritas merupakan muara hasil pendidikan yang ingin dicapai. Semakin cerdas, dan terampil seseorang, melalui formasi pendidikan yang berkualitas diharapkan mempunyai compassion, hati nurani yang peduli bagi sesama.
Pedagogis Ignatian
Belajar tanpa henti dalam praksis terkait langsung dengan komponen pedagogis ala Ignatian yang terdiri dari konteks, pengalaman, aksi, dan evaluasi-refleksi. Basis komponen tersebut bersumber dari spiritualitas Ignatian yang bersifat formatif, dan secara manusiawi dapat dilakukan karena menurut Marek dan Walulik (2022) spiritualitas Ignatian berusaha memberikan gaya hidup khusus yang dicirikan oleh perpaduan antara yang Ilahi dan manusiawi.
Dalam pedagogi Ignatian, memahami konteks sangat penting. Orang belajar secara kontekstual guna menjawab kebutuhan masyarakat sesuai zaman. Misalnya seseorang belajar ilmu kedokteran, karena di wilayah tersebut banyak orang yang menderita sakit. Setelah menjadi dokter dia menolong para pasien yang menderita. Kegiatan penyembuhan yang dilakukan dokter membentuk pengalaman dan aksi. Pengalaman dan aksi yang dievaluasi, maupun direfleksikan menjadi pembelajaran diri yang berharga.
Membuka Diri
Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan bahwa membuka diri, merupakan prasyarat untuk belajar tanpa henti. Kesadaran membuka diri — seperti yang dialami Inigo — berpengaruh sangat signifikan bagi siapa saja karena dari situ, seseorang dapat berubah, mau mendengarkan, dan siap sedia menerima aneka berkat yang Tuhan tawarkan.
Aneka potensi dan bakat seseorang akan berjalan optimal, bahkan maksimal jika di dalam diri ada kesadaran untuk belajar demi tujuan mulia, yaitu membangun kehidupan yang lebih baik, adil dan sejahtera.
Dengan semangat magis, orang dapat belajar tanpa henti. Tujuan belajar yang dilakukan terus menerus tidak hanya berguna dalam mengembangkan diri seseorang, tetapi juga untuk membantu sesama, dan terlibat aktif di kehidupan masyarakat.
Belajar tanpa henti, supaya dapat berlangsung secara efektif perlu menggunakan komponen pedagogis ala Ignatian, yaitu memperhatikan konteks, punya pengalaman, berani melakukan aksi tindakan konkrit, dan membuat evaluasi-refleksi atas apa saja yang dialami sebagai bahan pembelajaran.
Semoga manusia sebagai mahkluk pembelajar bersedia membuka diri, belajar tanpa henti dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik, sekarang dan di masa depan.
“Membuka diri, merupakan prasyarat untuk belajar tanpa henti.”
Romo Odemus Bei Witono, SJ, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
HIDUP, Edisi No. 42, Tahun ke-76, Minggu, 16 Oktober 2022
Membuka diri dan belajar tanpa henti menjadi syarat dan keharusan bagi setiap manusia yang masih bernafas. Belajar melalui media apa pun dan dari siapa pun. Belajar itu berarti mau rendah hati belajar dari orang yang lebih berpengalaman meskipun kadang statusnya di bawah kita, seperti yang sudah dicontohkan nabi Yeremia
Amin. Tampak seperti niat besar namun selalu terkikis oleh kesombongan atau keegoisan, itulah yang sering muncul manakala seolah ingin membuka diri pada kesadaran untuk sebuah pertobatan. Artikel di atas sangat menggugah. Formasi hidup yang terus menerus…Tuhan tanpa pendampinganMu, aku ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.*
Terima kasih Romo. Komponen pedagogik Ignatian sangat penting dalam kehidupan agar menjadi berkat bagi banyak org.Konteks Pengalaman, aksi, evaluasi dan refleksi, menjadikan hidup semakin bermakna. Semoga semakin banyak tulisan inspratif.salam hormat.Salam.AMDG.
Menjadi lebih baik butuh perjuangan, pengorbanan, dan mendekatkan diri pada Tuhan