HIDUPKATOLIK.COM – “Non abbiate paura”: Jangan takut memasuki perkembangan teknologi dunia komunikasi.
Kalimat di atas merupakan salah satu inspirasi menarik yang ditemukan dalam paparan materi salah satu narasumber PKKI XII di Muntilan lalu. Salah satu tema yang diangkat dan menjadi bahan diskusi yang menarik adalah katekese di era digital. Tentu saja, hal ini akan membawa beberapa aspek lain ketika dibicarakan lebih mendalam, termasuk kedua tema lain yang dipilih.
Narasumber pertama Romo Armada Riyanto, CM dari STFT Widya Sasana Malang, memaparkan beberapa hal sebagai dasar berpikir, yang membantu kita memahami bagaimana Gereja melalui para Paus memandang dan menyikapi dunia digital. Paus Yohanes Paulus II mendesak umat Katolik menggunakan internet. Tahun 2002, dia menerbitkan dokumen Gereja, Internet: A New Forum for Proclaiming the Gospel. Dia menegaskan, “Kita harus berani memasuki dunia komunikasi modern dan canggih ini dengan kematangan dan kepercayaan bahwa itu akan memberikan sarana-sarana bagi pewartaan Injil.”
Selanjutnya, salah satu dokumen, Vita Consecrata, nomor 8, sebuah dokumen yang dimaksudkan untuk hidup religius, diterbitkan Paus Yohanes Paulus II, seorang Paus yang sangat bersemangat dalam pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi.
Ia menegaskan, secara spiritual dan profesional hendaknya institusi-institusi religius bersemangat dan dalam cara-cara yang benar memanfaatkan media massa untuk pelayanan pastoral, promosi program pembinaan yang bermutu, dan penyebaran “contents” yang menghormati hukum moral dan menyebarluaskan nilai-nilai manusiawi dan Kristiani.
Saat itu, ia bahkan mengatakan Non abbiate paura atau jangan takut memasuki perkembangan teknologi dunia komunikasi. Meskipun tantangan dan kondisi dalam dunia digital merambah begitu luas dan mendalam pada setiap aspek kehidupan kita, namun beberapa hal telah diberikan gambaran secara umum oleh Romo Armada.
Dinamika di Lapangan
Wawancara HIDUP dengan beberapa peserta PKKI XII, menampakkan adanya pengalaman realitas lapangan yang sangat mendukung kebenaran teori itu. Dinamika katekese yang digulirkan di lapangan berhadapan dengan teknologi digital telah memberi banyak harapan tetapi sekaligus kekuatiran.
Kekuatan teknologi digital telah merambah memengaruhi dalam kehidupan manusia, pada aspek-aspek kehidupan kita sehari-hari, hidup beriman, relasi sosial kemasyarakatan, moderasi beragama, hingga pewartaan kabar gembira Injil yang dilakukan para katekis.
Sebagaimana dikatakan Romo Armada, komunio, partisipasi dan misi merupakan “a new way of church today” sehingga Paus Fransiskus menggelindingkan suatu semangat pembaharuan yang mengundang Gereja untuk kreatif mencari jalan-jalan baru menghadirkan Gereja yang aktual untuk zaman ini.
Tantangan melakukan katekese di era digital, menjadi topik wawancara dengan Romo F.X. Adisusanto, SJ, Sekretaris Uskup Banjarmasin. Ia yang sangat berpengalaman dalam bidang katekese menyatakan sependapat dengan Romo Armada, bahwa proses katekese dalam Gereja Katolik merupakan proses jalan bersama, yang di dalamnya ada komunio, partisipasi, dan misi. Jika dikaitkan dengan katekese umat pada era digital, disadari katekese akan terkendala karena membutuhkan perjumpaan langsung. Sebagai satu komunio, sebagai paguyuban mereka harus berpartisipasi dalam katekese. Dalam konteks solidaritas partisipasi merupakan satu pewartaan. Jadi, semua orang harus ikut terlibat berpartisipasi dalam katekese umat. Partisipasi merupakan sharing atau pengalaman iman yang dalam konteks sinodal, setiap orang harus terlibat. Teknologi digital mengubah cara berjumpa langsung ini, sehingga komunio yang dibangun juga berubah.
Hal ini sejalan dengan paparan narasumber tentang perubahan komunitas warga net. Komunitas sosial media mempunyai pola komunikasi yang cepat, saling mengimbas karena efek gaung pesan yang bisa menggerakkan orang dan mengubah sebuah kebenaran menjadi asosiasi gaung yang dibangun oleh komunitas itu. Apabila persoalan yang digaungkan rentan terhadap isu-isu radikalisme, politik, atau persoalan publik lainnya, maka hal ini dapat menjadi sumber masalah yang lebih besar dan sulit dikendalikan. Katekese di tengah situasi komunitas seperti ini membutuhkan kekuatan personal pelaku, kedewasaan, dan integritas pribadi yang mengemuka dalam jari-jemari yang memainkan pesan di sosial media.
Romo Adi menanggapi, “Digitalisasi merupakan perkembangan hasil teknologi. Seperti perkembangan dalam tradisi manusia, lalu muncul teknologi percetakan, kreativitas muncul. Perkembangan dunia makin maju, semua orang terhipnotik oleh teknologi terkini. Digital hanya bagian dari perkembangan itu. Yang harus diwaspadai dalam perkembangan baru ini bukan hanya alat untuk mempermudah komunikasi tetapi juga mengubah hidup, gaya dan cara hidup. Bahkan tentang metaverse, perlu dilihat apakah orang bisa menikah hanya dengan kirim avatar saja? Dunia metaverse ini harus dilihat akankah membuat orang jadi lebih baik, kehidupan lebih maju, atau justru sebaliknya.”
Memang, ada beberapa success story tentang katekese dalam dunia digital yang juga ditemukan di antara sharing para peserta PKKI XII. Satu contoh yang mengemuka misalnya bisa menggerakkan ratusan orang berdoa rosario bersama, bahkan melibatkan bupati, wakil wali kota yang secara otomatis diikuti oleh para karyawan dan stafnya.
Selain itu, bisa menyapa pula para profesional yang hampir tak mungkin tersapa untuk kegiatan semacam itu. Dalam konteks ini digital sebagai sarana dan media katakese sungguh menghasilkan buah yang berlimpah dan bisa ditularkan. Kehidupan selama pandemi memang berubah dalam banyak hal.
Namun, sejalan dengan meredanya pandemi maka normalisasi atau pemulihan dalam banyak aspek kehidupan juga terus dilakukan, termasuk dalam hidup beriman. Katekese memegang peran penting untuk memicu lancarnya normalisasi hidup beriman, terutama mengembalikan gairah umat beriman yang menggunakan perjumpaan untuk mewartakan sukacita Injil, melakukan peribadatan, maupun mendinamika paguyuban di era pasca pandemi.
Kegiatan peribadatan yang dilakukan menggunakan media digital telah mengubah hidup banyak orang dalam hidup beriman. Bukan hanya soal sikap dan cara menghayati liturgi peribadatan yang beberapa orang melakukannya secara serampangan, karena dilakukan secara streaming, namun juga aspek-aspek hidup beriman lain yang lebih mendalam. Karena itu, katekese perlu melihat aspek ini sebagai salah satu kajian dan materi yang perlu diperhatikan.
Romo Istoto, Ketua OC PKKI XII, Regio Jawa, justru menganggap bahwa kemajuan katekese digital mendapat dukungan besar karena ada aspek positif pandemi yang menjadi berkah luar biasa.
“Di balik kedukaan pandemi, kita mengalami loncatan luar biasa dalam berkatekese, bahkan bermasyarakat. Semua aspek kehidupan misalnya pekerja atau pelajar, sudah menggunakan media yang dulu tidak pernah dipikir atau dirancang. Mana ada sekolah yang sudah merancang model pembelajaran dengan animasi atau peralatan modern, paling dengan power point. Jadi, karena situasi seperti ini orang dipaksa untuk menggunakan media yang lahir belum pada saatnya. Ini berkah luar biasa. Bahkan jika dulu orang mau berjumpa dihalangi oleh jarak dan biaya, sehingga apa yang direncanakan gagal atau tidak ada tempat yang mencukupi, saat ini hal itu sudah tidak menjadi kendala lagi. Ada media digital untuk memfasilitasi perjumpaan”.
Moderasi Beragama
Aspek lain yang juga dipengaruhi oleh digitalisasi adalah moderasi beragama. Mengangkat isu moderasi beragama, PKKI XII juga mencermati dan memberi perhatian besar untuk mencari beberapa terobosan solutif guna menjalankannya sesuai kondisi masyarakat.
Romo Emanuel da Santo, Sekretaris Komkat KWI, menyatakan, “Bagaimana kepedulian, tidak hanya sebatas wacana tetapi harus diimplementasikan, ini sesuatu yang penting sampai akar rumput. Meski Gereja Katolik, dilihat dari pemaparan, sudah memulai lebih awal, tapi implementasi di lapangan atau akar rumput belum terlalu nyata. Pertama, moderasi beragama melalui katekese yang disiapkan harus mampu menggerakkan umat untuk bertindak. Kedua, baik menghadapi covid, krisis bencana atau apa pun, diharapkan kesadaran baru bersolider dengan sesama lintas agama lintas masyarakat makin disadari sebagai sesuatu yang sangat penting untuk membangun kehidupan bersama ke depan.”
Hal ini diperkuat dengan sharing Sr. M. Xaverine, PRR, Komisi Kateketik Weetebula, yang menyampaikan dinamika moderasi beragama di Sumba. Selama sekitar 13 tahun menggeluti katekese di keuskupan ini, tampak bahwa dinamika umat Katolik mengalami pasang surut, dipengaruhi oleh situasi eksternal yang melingkupi.
Salah satu fokus garapan Komkat Weetebula saat ini adalah menjalankan moderasi beragama di tengah budaya Sumba guna menyikapi situasi di tengah masyarakat. Situasi ini makin tampak ketika pandemi melanda serta digitalisasi media menjadi warna dalam kehidupan umat saat ini. Hadirnya pemeluk agama Islam dari Bima yang membawa serta budaya dan tradisi Islam menumbuhkan tantangan baru dalam hidup beriman yang perlu disikapi dengan program katekese.
Penyegaran Rutin
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan, khususnya bagi para katekis awam yang tidak direkrut pemerintah, PUSPAS dan Komkat mengadakan kegiatan pembekalan dan penyegaran rutin selama seminggu. Pertemuan penyegaran ini bisa berlangsung 2-4 kali setahun. Dampaknya sungguh nyata dalam menumbuhkan kelompok-kelompok binaan seperti kelompok sel remaja bagi anak SMP-SMA yang tumbuh subur di Sumba. Hal ini ditempuh agar orang-orang muda tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu radikalisme, ujaran-ujaran kebencian dan sebagainya yang banyak ditemui saat mereka menjalankan aktivitas sosial media.
Guna menghadapi situasi itu, Komisi Kateketik Regio Jawa telah merilis modul katekese kebangsaan. Romo Istoto, menyampaikan, “Sebagai umat Katolik kita harus berani menjadi pelopor untuk menanamkan rasa kebangsaan itu kepada anak-anak sejak kecil. Jika itu terjadi akan menjadi bekal dalam bergaul dan bermasyarakat. Mereka sudah dibiasakan untuk menghargai sesamanya dan menghormati bangsanya. Mereka juga dibiasakan sejak kecil tahu tentang keberagaman, hidup bersama dalam keberagaman secara baik. Isu umum tentang moderasi beragama di Regio Jawa, akhirnya berkembang menjadi lebih kondusif. Memang saat ini di beberapa titik masih ada peristiwa yang menjadi letupan kasus, tetapi secara umum masalah moderasi beragama cukup kondusif. Gereja tetap melangkah maju agar bisa terus menebalkan rasa kebangsaan dan kesatuan dalam iman Katolik yang tangguh”.
Sementara, Listia, sebagai praktisi moderasi beragama menyampaikan secara tegas tentang politisasi agama. Politisasi agama dimungkinkan karena umat terjebak dan tidak beranjak menuju hal-hal yang substansial, being religious. Sebaiknya bila ada penekanan pada hal-hal subtansial, maka meski aspek-aspek formal yang memberi identitas tetap penting dalam kehidupan sosial, namun hal tersebut disikapi
secara proporsional sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri, sehingga tetap menumbuhkan kesadaran bahwa di balik yang berbeda ada aspek-aspek yang sama– yaitu penghayatan tentang Tuhan — yang dapat menyatukan penghayatan diri manusia sebagai citra Allah, sebagai khalifatullah fil ardi, sebagai atman, dalam latar belakang apa pun.
Karena itu perlu dikembangkan dua langkah pokok, yaitu mengupayakan cara berfikir dan sikap terbuka dengan rasa hormat (inklusif) pada adanya keragaman dalam masyarakat itu sendiri. Yang kedua, mengupayakan adanya dialog antarpihak yang berbeda. Dialog yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah saling berbagi perspektif atau sudut pandang, dengan membangun relasi yang menghargai kesetaraan sesama manusia maupun sesama warga negara. Dalam konteks inilah katekese kebangsaan akan menemukan fungsi dan maknanya sebagai upaya mewujudkan moderasi beragama di era digital.
Mengakhiri diskusi moderasi beragama di era digital, kita perlu menimbang sambutan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Ia menyatakan, “Ada dua hal yang menjadi prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil, yakni harus melihat secara adil dua kutub yang ada dan kedua adalah berimbang dalam melihat persoalan yang ada. Artinya memahami teks harus sesuai dengan konteks, memahami konteks harus sesuai dengan teks.”
Ia juga berpendapat bahwa kateketik merupakan agen moderasi beragama yang sangat diharapkan membantu mewujudkan hidup bersama yang harmonis melalui pengajaran agama yang dilakukan. Selain itu, memasukkan moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan dan pengayaan wawasan multikultural merupakan bagian dari strategi kebudayaan di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini.
Tarik-Menarik
Dalam kehidupan masyarakat selalu ada tarik-menarik antara dua kutub kepentingan hidup beragama. Satu kutub terlalu bertumpu pada teks itu sendiri tanpa melihat konteks dari teks tersebut yang memunculkan sikap konservatif maupun ultra konservatif. Sementara kutub lainnya terlalu berorientasi pada otak dan nalar sehingga dalam memahami teks selalu mengandalkan konteks dan mengakibatkan keluar dari teks itu sendiri. Kutub kedua inilah yang memunculkan pemahaman liberal dan ultra liberal. Dua kutub yang berlebih-lebihan ini sama-sama mengancam kehidupan beragama dalam mewujudkan peradaban dunia. Dalam situasi inilah moderasi beragama perlu hadir sebagai penengah untuk menjaga harmoni keberadaannya.
Dunia maya dengan berbagai isinya merupakan lautan informasi yang dapat merusak harmoni hidup bersama, jika kita tidak mempunyai pegangan yang kuat mengenai keindonesiaan. Karena itu, strategi yang dikembangkan dalam merawat keindonesiaan pun menggunakan materi budaya dan muatan lokal yang tersedia. Namun, hal itu membutuhkan kecerdasan dalam mengolah dan menyajikan, khususnya media dan sarana yang digunakan semestinya menjadi ruang tumbuh kembang harmoni kerukunan dan bukan sebaliknya justru menjadi bahan pertikaian. Karena itu, penting mengingat kembali kata judul di atas sebagai kesimpulan dan rekomendasi agar dunia katekese, termasuk pesan bagi para katekis dan segenap stake holdernya, tidak kehilangan tujuan dan fungsi maknanya meskipun ada tantangan besar yang menghadangnya.
Veronika Naning
HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-76, Minggu, 9 Oktober 2022