HIDUPKATOLIK.COM – TANTANGAN hidup beriman Katolik di Indonesia akhir-akhir ini membutuhkan bekal dan daya tahan yang mencukupi untuk menghapi berbagai dinamika, baik dari lingkaran terkecil dalam keluarga, lingkungan di wilayah reksa pastoral teritorial maupun kategorial. Semua itu membutuhkan proses pendampingan dan perhatian yang memadai dari Gereja dan para pelayan umat lainnya.
Karena itulah, melanjutkan tradisi yang sudah berlangsung lama dan sempat terhenti karena pandemi, digelar kembali Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) XII pada tanggal 9-14 September 2022 di Pastoran Sanjaya Muntilan, Jawa Tengah. PKKI kali ini mengambil tema “Beriman Tangguh dan Solider: Katekese Membina Murid-murid Misioner”.
Pertemuan dibuka dengan perayaan Ekaristi konselebrasi yang dipimpin oleh Ketua Komisi Kateketik Konferensi Waligereja Indonesia (Komkat KWI), Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF didampingi Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, Romo Y.R. Edy Purwanto dan para imam penghubung/wakil regio serta staf ahli Komkat KWI.
Dalam pengantar pembukanya, Romo Edy menyampaikan, “Perjumpaan ini kita harapkan menjadi kesempatan berefleksi sekaligus untuk mengarahkan pandangan ke depan, lebih-lebih terkait tiga isu penting: moderasi beragama, budaya digital, dan pemulihan hidup menggereja dari gempuran pandemi Covid-19.”
Sementara dalam homili, Mgr. Yan menyampaikan, pewartaan Injil bukan kesempatan memegahkan diri sendiri. “Rasul Paulus menegaskan bahwa memberitakan Injil adalah keharusan. Mewartakan Injil bukan sebagai alasan kesombongan atau menjadikannya beban. Memang, dalam mewartakan Injil akan ditemui banyak hambatan dan tantangan, termasuk kesiapan materi saat mengajar atau dalam perjumpaan dengan umat langsung. Namun, satu hal yang pasti mewartakan Injil adalah ungkapan kegembiraan karena kita telah disentuh oleh rahmat dan kasih Tuhan.”
Uskup Tanjung Selor ini mengatakan, memberitakan Injil tanpa upah merupakan spiritualitas dasar seorang katekis. “Keterbatasan yang ada hendaknya tidak menutup pintu kreativitas dan inspirasi, utamanya dalam melakukan pewartaan, termasuk penyediaan bahan katekese.”
Menurut Mgr. Yan, untuk menghidupkan api misioner, terutama di tengah tiga isu penting yang diangkat dalam pertemuan ini membutuhkan upaya keras dari banyak pihak. “Katekese membina murid misioner hanya terjadi jika murid beriman dibakar oleh kasih. Seperti Paulus, yang dibakar oleh kasih membuat hidupnya dipertaruhkan tanpa mengharapkan upah. Kita juga ingin memenangkan banyak orang dengan mewartakan Injil, kita punya banyak tantangan, dari yang amat fisik sampai yang rohani, maka banyak yang harus dilatih untuk solider dalam kehidupan misioner,” paparnya.
Perjumpaan dengan orang lain, kata Mgr. Yan, menjadi kesempatan merenungkan sejarah bersama, atau hal-hal yang menjadi tantangan bersama. “Mewartakan dengan kemurahan hati menjadi tantangan dalam konteks masing-masing. Namun jika kita bisa saling sharing untuk menghidupkan, tidak hanya soal budaya digital, tapi juga menghidupkan api misioner, sehingga kita serupa dengan Sang Guru kita, sebagai murid yang mewartakan penderitaan dan sukacita dalam pewartaan,” ujarnya.
Adalah tugas katekese, kata Mgr. Yan, untuk membentuk iman yang tangguh dan solider, membina murid-murid misioner. Untuk mengembangkan Katekese Membina Murid-Murid Misioner yang berakar pada iman yang tangguh dan misioner digunakan buku Petunjuk Katekese sebagai rujukan utama.
Dinamika PKKI XII
PKKI XII menggunakan urutan proses berupa perayaan, pengayaan materi, refleksi kritis, sharing pengalaman, dan diskusi untuk merumuskan rencana tindak lanjut. Setelah perayaan Ekaristi pembuka, acara dilanjutkan dengan dua hari studi peserta yang menghadirkan narasumber sesuai tema yang diangkat. Para narasumber adalah Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Romo Armada Riyanto, CM (Penggiat Dialog Interreligius, Ketua STFT Widya Sasana Malang), Listia (penggiat moderasi beragama), dan Romo Aloysius Budi Purnomo (imam KAS, penggiat moderasi beragama).
Ganjar Pranowo, memberikan catatan dan dorongan untuk terus membangun keutuhan Indonesia melalui gerakan moderasi beragama yang terjalin dalam kerja sama lintas agama. Menurutnya, moderasi beragama merupakan pemahaman beragama yang moderat, dengan gagasan menentang segala bentuk kekerasan, melawan fanatisme, ekstrimisme, menolak intimidasi, dan terorisme.
Ia mengatakan, ada dua prinsip penting untuk menjalankan moderasi beragama, yaitu adil dan berimbang antara teks dan konteks. “Dalam konteks Indonesia, yang mempunyai beraneka ragam agama dan budaya, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan. Tolok ukur keberhasilan moderasi beragama dilihat dari aspek kemanusiaan yang menjadi inti beragama itu sendiri. Orang yang memahami ajaran agama tidak akan mengatasnamakan agama untuk merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan,” ujarnya.
Listia selaku praktisi gerakan moderasi beragama memberi in put tentang perlunya moderasi beragama demi keutuhan keindonesiaan. “Moderasi beragama sebagai proses mengembangkan kesanggupan mengelola kebhinnekaan” dapat dilakukan dengan beberapa langkah.
Pertama, mengupayakan cara berfikir dan sikap terbuka dengan rasa hormat (inklusif) pada adanya keragaman dalam masyarakat itu sendiri.
Kedua, mengupayakan adanya dialog antarpihak yang berbeda. Dialog yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah saling berbagi perspektif atau sudut pandang, dengan membangun relasi yang menghargai kesetaraan sesama manusia maupun sesama warga negara.
“Bila dua langkah di atas dapat dikembangkan, sikap inklusif dan saling memahami akan mendorong munculnya kesadaran co-existensial antarpihak, yaitu kesadaran bahwa keberadaan liyan atau pihak yang berbeda dapat dihayati sebagai bagian dari keberadaan diri, sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan, sesama warga,” ujarnya.
Aloysius Budi Purnomo memaparkan pengalaman merajut keberagaman dalam satu kebersamaan dengan tokoh-tokoh dan umat beragama lain guna membangun kerukunan hidup bersama.
Ia mengemukakan beberapa latar belakang serta pendukung yang meneguhkan proses membangun kerelasian sebagai satu kesadaran menghadirkan Gereja Katolik sebagai pelaku dalam moderasi beragama yang konkret.
Berdasarkan masukan dari para narasumber dan panelis selanjutnya para peserta mendiskusikan dan membagikan praktik katekese di keuskupan dan lembaganya masing-masing dalam kelompok regio. Mereka melihat kisah sukses, persoalan dan kesulitan yang dialami, serta merencanakan arah katekese di masa depan.
Sebagai hasil akhir pertemuan ini, peserta merumuskan komitmen terkait ketiga isu yang diangkap dalam pembicaraan PKKI XII.
Dalam aspek budaya digital, peserta, antara lain, berkomitmen menggalakkan katekese untuk membina murid-murid misioner yang beriman tangguh dan solider dengan, pertama, tetap melanjutkan katekese etika bermedia. Kedua, tetap melatih diri agar makin terampil dalam berkatekese digital. Ketiga, bekerja sama dengan konten kreator OMK untuk mengemas konten-konten yang menarik sesuai dengan bahasa budaya digital sambil tetap memperhatikan kebenaran ajaran.
Dalam aspek moderasi beragama, peserta berkomitmen membina murid-murid misioner yang menjadi pelopor moderasi beragama, antara lain dengan pertama, mengembangkan secara konsisten model dan isi katekese kontekstual moderasi beragama demi terciptanya umat Katolik yang beriman tangguh dan misioner dalam perjumpaan dengan umat lintas iman. Kedua, terus mengembangkan katekese kebangsaan untuk membentuk orang Katolik Indonesia sejati yaitu 100% Katolik dan 100% Indonesia, sebagaimana semangat Mgr. Albertus Soegijapranata
Dalam aspek tragedi kemanusiaan pandemi Covid-19, peserta berkomitmen mengembangkan katekese demi pembinaan murid-murid misioner dalam situasi krisis dengan mengembangkan katekese solidaritas; mensosialisasikan dan mewujudnyatakan ajaran sosial Gereja; meningkatkan katekese APP dan HPS; mengembangkan katekese umat yang terlibat dalam masyarakat; mengembangkan katekese diakonia transformatif; terus memberi testimoni melalui film-film dokumenter terkait aksi solidaritas Gereja; dan mengadakan gerakan solidaritas melalui penetapan tahun solidaritas.
Peserta juga menyampaikan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada KWI, Keuskupan, Lembaga Pendidikan Kateketik dan Seminari Tinggi, serta Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI.
Rangkaian PKKI ini ditutup dengan perayaan Ekaristi perutusan yang dipimpin Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko dan Mgr. Yan Olla, MSF, didampingi para imam perwakilan regio peserta di Gereja Santa Theresia Salam.
Dalam homilinya, Mgr. Rubi menyampaikan, berkatekese tidak lain merupakan panggilan kenabian untuk mengajar. Mewartakan kabar sukacita kepada sekalian orang yang dijumpai. Hal ini berawal dari perintah Yesus dalam Injil Mateus 28: 19. Panggilan ini untuk semua murid yang percaya kepada Yesus,” tuturnya.
Menurut Mgr. Rubi, perlu mencari terobosan bagaimana umat makin beriman tangguh di tengah masyarakat plural.
“Kita perlu melihat kembali jiwa atau sifat masyarakat kita sekarang ini. Bagaimana kemajuan teknologi harus dimanfaatkan untuk kepentingan katekese, khususnya bagi remaja dan orang muda,” ujarnya.
Veronika Naning (Yogyakarta)
HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-76, Minggu, 9 Oktober 2022