HIDUPKATOLIK.COM – Senin lalu, bangun tidur di pagi hari, perut memberi isyarat berbeda. Rasa mulas datang-pergi.
Semula saya anggap pertanda biasa saja. Dengan “upacara” kecil di kamar mandi, diharapkan bisa segera reda.
Ternyata tak semudah itu. Rasa mulas semakin sering datang dan enggan pergi. “Upacara” semakin sering dilakukan. Entah, berapa kali sepanjang hari itu.
Itu pun tak mengurangi rasa yang berkecamuk di seputar perut.
Ya, saya kena diarhe.
Setelah sekian lama penyakit seperti ini jarang mampir, kali ini datang agak berat.
Konsultasi jarak-jauh dengan dokter dijalin. Beberapa jenis obat ditelan. Makanan dijaga dengan saksama. Istirahat digalakkan. Hasilnya kurang tak banyak beda.
Beberapa acara terpaksa diskedul ulang.
Ada satu pertemuan, yang saya segan untuk menundanya. Acara makan siang dengan seorang senior, Dokter Mustopo Widjaja, di Plasa Senayan.
Saya belum pernah bertemu muka dengan Dokter Mustopo. Hasil intipan di Google, menunjukkan bahwa beliau menjabat sebagai Direktur “Klinik Asma & Alergi Dr. Indrajana”.
Beberapa predikat lain yang cukup menggetarkan tercantum di belakang namanya.
Kami telah lama berdiskusi hangat di media sosial. Salah satunya pasal, karena membahas artikel-artikel saya yang dimuat di media-media sosial yang beliau ikuti.
Setelah beberapa kali dan lama tertunda, Selasa, 4 Oktober 2022, adalah “tanggal keramat”. Kami sepakat berjumpa.
Tak ada agenda, tak ada acara. Perasaan saling ingin kenal lebih jauh lah yang membuat kami menyepakati pertemuan itu.
Saya tak ingin acara itu ditangguhkan lagi, meski, sekali lagi, badan tak bisa diajak kompromi. Buat saya, itu adalah kesempatan emas untuk bertemu seorang tokoh untuk ditimba kebijaksanaannya.
Pukul 11.00 saya di drop persis di bawah tangga lobi utama, Plasa Senayan. Sopir segera berlalu.
Saya menapak menuju pintu utama. Masih sempat membaca nama “Torik” dan menyapa pak Satpam dengan menyebut namanya. Tapi pandangan ke depan sudah mulai buram.
Satu, dua dan tiga langkah.
Tiba-tiba ada 3 orang berbadan kekar memegang kedua lengan saya. Saya tersadar.
“Ada apa nih, ada apa….?”.
“Bapak hampir jatuh dan kami memeganginya”.
Ternyata saya sempat pingsan sekejab. Bahasa yang lebih seram, blackout.
Satu dari tiga dewa penolong adalah tamu mal. Berbadan tinggi besar, berkulit gelap dan berambut keriting. Dua yang lain adalah Torik dan seorang temannya.
Mereka bertiga “sibuk” menjaga saya agar tak terjatuh. Seorang diantaranya berlari mengambil kursi agar saya bisa duduk.
Sekian menit kemudian, datanglah kursi roda.
Setelah itu, beberapa petugas Bagian Operation juga berada di sekitar untuk memastikan bahwa saya baik-baik saja.
Nampaknya sang tamu berdua dengan isterinya.
Seperti yang saya duga, mereka berasal dari Papua.
Terlihat bahwa mereka sangat peduli dengan kondisi saya. Beberapa pertanyaan untuk menyadarkan saya dilontarkannya. Kebetulan saya bisa menjawab semua.
Bapak Papua berusaha membantu menghubungi sopir untuk segera menjemput saya. Sekaligus menghubungkan dengan nomer ponsel Dokter Mustopo, untuk pembatalan acara makan siang.
Sayang, saya tak sempat menanyakan nama-nama mereka untuk menyatakan rasa penghargaaan dan terima kasih saya. Moga-moga tulisan ini mereka baca, baik oleh Bapak Papua mau pun bapak-bapak petugas Plasa Senayan.
Kejadiannya hanya sebentar, mungkin tak lebih dari 15 menit. Diarhe yang saya derita, kini juga sudah reda.
Tapi waktu sesingkat itu telah menyadarkan saya bahwa masih (sangat) banyak orang baik di Jakarta. Tak kurang orang peduli di Indonesia. Tak sedikit mereka yang memperhatikan sesama, bahkan mereka yang tak dikenalnya.
Di antara begitu maraknya peritiwa kekerasan dan kebencian di hari-hari ini, masih ada lentera kecil yang menyala di ujung jauh lorong gelap yang makin mendominasi dunia.
Apabila orang-orang baik itu bergabung, niscaya menjadi kekuatan digdaya untuk mengubah dunia. Dunia damai yang penuh dengan kepedulian terhadap sesama tanpa membedakan faktor primodial dan identitas apa pun. Dunia yang diubah dengan tangan-tangan kecil, tetapi berbalut cinta.
“Not all of us can do great things. But we can do small things with great love”. (Mother Teresa)
P.M. Susbandono, Kontributor/Penulis buku inspiratif