web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Cara Menyambut Komuni

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Romo, saya pernah melihat seorang OMK menerima Komuni menggunakan lidah. Sebetulnya bagaimana pandangan Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II, mengenai Komuni dengan lidah? Apakah saya boleh juga melakukannya? (Brian Hutomo, Magelang)

MARI kita baca saja terlebih dahulu pandangan Gereja sebagai berikut: “Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut Komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada yang ingin menyambut Komuni di tangan di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat, dengan ‘recognitio’ oleh Takhta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka Hosti harus diberikan kepadanya. Akan tetapi harus diperhatikan baik-baik agar Hosti dimakan oleh sipenerima pada saat masih berada di hadapat petugas Komuni, sebab orang tidak boleh menjauhkan diri sambal membawa Roti Ekaristi di tangan, Jika ada bahaya profanisasi maka hendaknya komuni suci tidak diberikan di tangan” (Redemptionis Sacramentum, No, 92; juga PUMR, no. 161).

Komuni adalah ikut ambil bagian dalam Tubuh Kristus dengan menerima Hosti yang sudah dikonsekrasikan dalam perayaan Ekaristi, dan sesudah mempersiapkan dengan pantas misalnya dengan menerima sakramen rekonsiliasi. Liturgi adalah perayaan dalam bentuk simbol. Maka Komuni diungkapkan dalam dalam dua simbol yaitu, dengan lidah dan tangan. Simbol mengungkapkan sikap iman batiniah.

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

Persatuan kita dengan Tuhan secara rohani diungkapkan secara fisik, yaitu dengan menyantap, mencecap dan merasakan dengan lidah: Tubuh dan Darah Kristus, dalam Kitab Suci pengalaman ini diungkapkan dengan pencecapan dan rasa: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu” (Mzm. 34:9; 1 Prt. 2:2-3, Ibr. 6:4-5; Yes. 25:6-7; Luk, 14:15-24). Yesus bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh. 6:53).

Dua telapak tangan yang terbuka melambangkan sikap kesiap-sediaan dan keterbukaan ketika menerima Tuhan dalam persatuan mistik dengan-Nya: “Terimalah dan makanlah. Inilah Tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu!” Tentu saja bila ada orang sakit, seperti patah tangan, lumpuh, stroke dan lain-lain, menerima komuni langsung dengan lidah (mulut).

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Saran saya, kita jangan hanya terpaku pada lidah dan tangan, tetapi sikap yang menyertainya juga. Sebelum Konsili Vatikan II, menerima Komuni dengan lidah dibarengi dengan sikap berlutut. Berlutut mengungkapkan sikap merendahkan diri dan menyadari kekecilan di hadapan Tuhan Yang Mahabesar. Berlutut juga mengungkapkan sikap hormat, kerendahan hati dan rasa tobat: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, tetapi katakanlah sepatah kata maka hambaku itu akan sembuh” (Mat. 8:8). Demikian juga menyambut Komuni dengan tangan setelah Konsili Vatikan II dibarengi dengan berjalan menuju imam. Sikap berjalan mengungkapkan hakekat umat Allah yang sedang berziarah. Dengan berjalan kita ungkapkan kesediaan kita menyambut tawaran kasih karunia Allah yang terpancar dalam Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Bersama umat yang lain kita dalam barisan sambal berjalan sebagai ungkapan persatuan secara lahiriah (PUMR, No. 86). Ingat nyanyian: “Tuhan Kau satukan kami, dalam perjamuan- Mu. Dengan makan roti ini, kami pun bersaudaralah” (Puji Syukur 428).

Baca Juga:  Pementasan Teater dan Konser Mini “Bukan Pahlawan Biasa” SMA Karya Budi Putussibau

Dengan demikian, menerima Komuni dengan lidah dan atau tangan mengandung makna yang sangat mendalam. Kita boleh memilih salah satunya, yang penting dihayati maknanya. Akan tetapi demi ungkapan persatuan dan melambangkan corak jemaat, maka dewasa ini lebih dilaksanakan menerima komuni dengan tangan. Corak jemaat ini lebih menonjol ketika Misa Hari Minggu di gereja Paroki yang dihadiri banyak umat.

Sayang, dunia modern yang teknologis-praktis cenderung mengurangi kepekaan kita untuk memahami dan memasuki realitas di seberang batas realitas material. Boleh jadi, menyambut Komuni menjadi ritual kosong tanpa makna.

HIDUP NO.38, 18 September 2022

Romo Jacobus Tarigan (Dosen STF Driyarkara, Jakarta)

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: 

re**********@hi***.tv











 atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles