HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 25 September 2022 Minggu Biasa XXVI Am.6:1a,4-7; Mzm.146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim.6:11-16; Luk.16:19-31
BACAAN Hari Minggu Biasa ke-26 dapat kita renungkan mengenai sikap terhadap kekayaan dalam beriman. Lalu dapat dibaca sendiri dan direnungkan ajaran Yesus mengenai sikap beriman itu sendiri (Bdk. Luk. 6:22-23.26), sikap terhadap orang yang memusuhi (Bdk. Luk. 6:27-30), dan sikap adil terhadap sesama. (Bdk. Luk. 6:31)
Tidak hanya zaman Nabi Amos, zaman sekarang pun, kita mengalami orang mencari kekayaan sampai korupsi bermilyar-milyar; bahkan yang mengerikan sampai ada bentuk-bentuk perdagangan manusia. Ajaran Gereja mengenai pemilikan harta kekayaan dalam KGK 2404 mengutip GS 69 tertulis: “yang dimilikinya secara syah, bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya”. “Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara halal demi kesejahteraan umum.” (KGK 2406).
Penghambat tercapainya kesejahteraan umum dapat terjadi karena orang tidak tahu bahwa hak milik selalu memiliki aspek sosial. Merasa milik pribadi yang dapat dinikmati sendiri. Tetapi yang sangat penting dikembangkan dalam hidup seorang beriman, adalah memiliki sikap lepas bebas dari ikatan emosional terhadap miliknya. Dari situ dikembangkan sikap solider dan peduli sesama, terlebih yang berkekurangan dan miskin. Untuk itu orang perlu selalu dapat menguasai diri, mengendalikan diri terhadap nafsu yang tak teratur terhadap miliknya. Penguasaan diri adalah buah Roh (Gal. 5:23), keutamaan yang didukung Roh Kudus yang membimbing orang lewat hati nuraninya. Tanpa pengendalian diri orang dapat jatuh dalam berbagai dosa (Bdk. Gal. 5:19-21), karena pengaruh kuasa dosa memang besar.
Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, memuat Sabda Allah, yang menunjukkan cara hidup yang salah atau berdosa, serta memberikan arah hidup yang benar. Bacaan hari ini juga demikian. Kutipan dari Amos 6:1a.4-7 menunjukkan bagaimana dengan kekayaan yang ia miliki, didorong oleh nafsunya yang tak terkendali, ia merasa aman dan tenteram karena dapat memuaskan diri dalam kekayaannya. Sehingga tidak merasa membutuhkan Tuhan dan mengesampingkan imannya. Sebenarnya kalau kita baca ayat 10 sebelum ayat-ayat yang disampaikan dalam bacaam II (1 Tim 6:11-16) St. Paulus juga menegaskan bahwa uang memungkinkan orang menikmati harta, kuasa dan kenikmatan inderawi, menjadi sumber dan akar dari segala kejahatan, dan penyimpangan dari iman. (Bdk ibid. 6:10). Maka pada ayat-ayat berikutnya (Ibid 6:11 dst.) St. Paulus menasehati umat beriman supaya mereka menjauhi semua itu. Sebaliknya: “kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan, serta rebutlah hidup yang kekal. (1 Tim. 6:11-12). Mengapa harus demikian, karena mereka orang beriman. Paulus menyebutnya, “manusia Allah” (Ibid, 6:11). Orang beriman telah dipanggil ke kehidupan kekal, dan dengan dibaptis telah mengkrarkan iman mereka dihadapan Allah, dihadapan Tuhan Yesus Kristus (Bdk Ibid.6:13) dan menolak dosa dan segala perbuatannya.
Kepada umat beriman Yesus dalam Injil Lukas menyampaikan apa yang sebaiknya menjadi sikap iman mereka. Nadanya sangat ekstrim supaya jelas. Terhadap kekayaan, dikatakan: berbahagialah kamu yang miskin, yang lapar, yang menangis, karena mereka yang memiliki Kerajaan Allah. (Bdk Luk. 6:20-21). Sebaliknya, celakalah orang yang menaruh harapannya melulu pada kekayaan, dan hidupnya menyimpang dari tuntunan iman. Karena setelah hidup di dunia ini selesai, kekayaan, tak dibawa mati. (Bdk. Ibid 6:24-25).
Akhir kata:Tuhan dan kemuliaan surgawi yang dijanjikan oleh Allah dan oleh Tuhan Yesus Kristus adalah kekayaan sejati yang pantas selalu dicari dan diusahakan.
“Celakalah orang yang menaruh harapannya melulu pada kekayaan, dan hidupnya menyimpang dari tuntunan iman. Karena setelah hidup di dunia ini selesai, kekayaan, tak dibawa mati”
HIDUP, Edisi No. 39, Tahun ke-76, Minggu, 25 September 2022