HIDUPKATOLIK.COM – PADA hari Jumat, 9 September 2022, Uskup Ketapang, Kalimantan Barat, Mgr. Pius Riana Prapdi akan merayakan 10 tahun tahbisan episkopal. Menyambut momen khusus ini, HIDUP mewawancarai Uskup kelahiran Papua ini. Berikut petikannya:
Sebelum jadi uskup, sejauh mana pengetahuan Monsinyur tentang Keuskupan Ketapang?
Saya mendapat gambaran awal tentang Keuskupan Ketapang dari KWI tentang profil keuskupan-keuskupan tahun 2010. Bulan Mei 2012 saya diutus oleh Mgr. Johannes Pujasumarto, Uskup Agung Semarang saat itu, untuk mengunjungi para diosesan Semarang yang berkarya di luar Jawa, termasuk salah satu imam di Ketapang. Dalam kunjungan itulah, saya mulai sedikit mengenal Keuskupang Ketapang. Masyarakat sedang mengalami perubahan budaya akibat pertemuan dengan budaya-budya dari luar Kalimantan. Sekilas terlihat bahwa wilayah Keuskupan luas tetapi jumlah penduduknya dapat dikatakan sangat sedikit. Dalam kunjungan waktu itu saya melewati Trans Kalimantan dan masih banyak lahan-lahan yang berupa hutan. Dalam perjalanan sejauh sekitar 150 kilometer dari Paroki Nanga Tayap sampai Balai Berkuak yang terlihat adalah hamparan tanaman kelapa sawit yang baru ditanam dan belum berbuah. Sementara itu dalam perjalanan dari Ketapang ke Paroki Nanga Tayap saya melewati jalan yang sebagian besar belum beraspal atau aspal tapi sudah rusak. Saya melihat banyak lahan-lahan kosong dengan tanaman pakis yang begitu luas. Saya pulang dari Paroki Nanga Tayap ke Ketapang menyusuri Sungai Pawan dengan perahu motor. Saya juga dengar sebagian besar penduduk masih melakukan peladangan berpindah dan menoreh getah karet. Meskipun juga tidak sedikit yang mulai bekerja di perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Apa yang menjadi kekhasan pastoral di Keuskupan Ketapang
Ada lima kekhasan pastoral. Pertama, turne. Jumlah umat Katolik sekitar 100-an dan tersebar di 23 paroki dengan stasi-stasi yang berjauhan dari pusat paroki. Masih banyak stasi yang tidak ada ibadah sama sekali karena kurangnya tenaga pastoral. Saat turne, tak jarang pastor menginap di stasi satu untuk bisa melanjutkan ke stasi lain.
Kedua, militansi iman. Luas Keuskupan lebih dari Jawa Tengah dan dilayani hanya 55 imam dengan perbandingan satu imam melayani 2.050 umat atau 475 KK. Wajar kalau perjumpaan iman dan umat minim. Bila imam turne, waktunya habis hanya untuk Ekaristi sementara pelayanan sakramental kurang optimal. Apalagi pengembangan iman di bidang liturgi, pelayanan, tata organisasi, dan sarana-prasarana tidak dapat dilakukan.
Ketiga, katekese. Masih cukup banyak umat yang memahami bahwa menjadi orang Katolik adalah ikut Misa. Keterlibatan umat dalam kehidupan menggereja masih menjadi perjuangan. Kurangnya pemahaman dan penghayatan iman umat berakibat pada rendahnya tingkat keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Ada semangat menggereja tapi terkendala pengetahuan dan pengahayatan. Saya juga merasakan umat memiliki kerinduan untuk mendapatkan pelayanan rohani seperti retret, rekoleksi, pengajaran iman, berkat untuk aneka situasi kehidupan mereka.
Keempat, keutuhan ciptaan. Wilayah Keuskupan sedang dalam proses perubahan yang pesat; dari ladang menjadi tambang, dari hutan menjadi perkebunan; dari petani menjadi buruh di pertambangan dan perkebunan. Kedekatan alam dan segala budaya yang ada di dalamnya terusik sehingga perilaku berubah. Iklim, cuaca dan lingkungn hidup berubah drastis. Semua perubahan alam itu mengubah orientasi hidup dan pengalaman beriman. Orang semakin sibuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga penghormatan terhadap lingkungan semakin berkurang. Melalui beberapa program, kami mengajak umat untuk tidak mudah menyerahkan tanah, mengolah lahan secara bertanggungjawab dan mengelola sampah dengan bijaksana. Berpastoral di Keuskupan Ketapang berarti melaksanakan pastoral keutuhan ciptaan.
Kelima, pendidikan dan orang muda. Perkembangan pendidikan masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan sedangkan wilayah pedalaman terasa sangat kurang. Kondisi alam dan jarak yang cukup jauh mempengaruhi tranportasi baik guru maupun murid di pedalaman untuk menuju sekolah. Ada beberapa guru yang tidak betah tinggal di pedalaman karena minimnya fasilitas dan terutama kondisi medan yang begitu berat. Kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai disadari oleh masyarakat namun belum begitu memperlihatkan hasil yang diharapkan. Kendati demikian, saya menyaksikan sendiri bahwa sebenarnya anak-anak muda kita memiliki potensi kecerdasan yang tinggi. Hampir semua anak muda yang kita utus untuk menempuh pendidikan tinggi di Jawa memberikan hasil yang bagus. Karena itu pendidikan dan orang muda mendapat perhatian khusus dalam pastoral.
Bagaimana pendekatan pastoral kepada Suku Dayak?
Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang cinta damai. Setiap kali kunjungan ke stasi-stasi ada tarian penyambutan dan pancung buluh muda juga tangan saya diikat dengan tali mati (semacam gelang) sebagai tanda bahwa saya sudah diikat secara tetap menjadi bagian Suku Dayak. Yang saya lakukan adalah mengunjungi dan menyapa seluruh umat beriman dengan pelayanan yang penuh kasih. Kalau saya berkunjung ke stasi-stasi saya berusaha untuk menginap agar dapat merasakan, mendengarkan dan melihat apa yang mereka lakukan. Saya mengikuti adat yang ada seperti begedang, yaitu menari seperti burung terbang diiringi gamelan sambil sesekali minum tuak sebagai tanda bahwa saya telah menjadi bagian dalam komunitas. Acara begendang dilakukan di rumah adat sesudah makan adat. Cara makan adat yang duduk bersama-sama di lantai yang memperlihatkan bahwa masyarakat Dayak itu egaliter. Semua duduk di lantai; tidak ada yang rendah, tidak ada yang tinggi. Semua sama. Ada pepatah: dinding disandari, lantai diduduki.
Selain itu saya beruntung karena ketika saya datang sudah ada program Panitia Beasiswa yang memberikan bantuan kepada putera-puteri Dayak untuk menikmati pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Program ini dimulai oleh Pastor Jerun Stoop, CP dan hingga kini sudah menghantarkan lebih dari 700 putera-puteri Dayak meraih pendidikan yang baik. Sebagian dari mereka yang mendapatkan beasiswa sudah menjadi pemimpin-pemimpin di pemerintahan, lembaga swasta dan lingkup Gereja, menjadi imam, tokoh Gereja dan tokoh masyarakat.
Sejauh mana dukungan biarawan-biarawati?
Kehadiran Injil dibawa oleh para pedagang dari Cina yang berdagang sampai ke pedalaman Ketapang yaitu Serengkah. Kemudian upaya para pedagang untuk menghadirkan Injil menarik perhatian Mgr. Pacificus Boss, OFMCap yang kemudian mengutus para imam Kapusin mengunjungi Ketapang secara rutin. Para imam Kapusin merintis karya misi di Ketapang. Karya misi dilanjutkan oleh para Pasionis yang datang pertama kali ke Ketapang pada 26 Juli 1946. Tak lama Pasionis mengundang para suster Santo Augustinus (OSA) untuk terlibat dalam karya misi di Ketapang pada 6 Desember 1946. Maka karya misi ini berkembang berkat biarawan-biarawati. Sampai saat ini ada empat kongregasi imam, yaitu Pasionis (CP), Santo Augustinus (OSA), Redemptoris (CSsR) dan Serikat Jesus (SJ). Ada 11 imam CP, 2 imam OSA, 4 imam CSsR dan 3 imam SJ. Para imam diosesan dari beberapa keuskupan juga membantu pelayanan di Keuskupan yaitu tiga imam Semarang, dua dari Surabaya, satu dari Bogor dan satu Bandung. Sedangkan suster ada 7 kongregasi yaitu OSA, PIJ, RGS, SCSC, ACI, CP, dan SFD. Masih ada bruder FIC dan FSF.
Apa refleksi Monsinyur dalam perayaan 10 tahun episkopal ini?
Saya sungguh menyadari Tuhan sangat mencintai saya dan Keuskupan Ketapang. Ada banyak pribadi yang sungguh besar imannya. Kendati dengan segala keterbatasan untuk mendapatkan pelayanan sakramental maupun pengetahuan iman namun mereka tetap bertahan. Dengan segala keterbatasan, mereka berusaha mengungkapkan imannya, semisal lewat pantun yang digubah seturut iman mereka, memberi gelar dengan istilah yang ada di gereja seperti: pintu penjaga, payung ke surga; penuntun jalan ke surga, penokor jalan ke neraka. Ada juga yang memberikan Rosario dari anyaman rotan atau menyisipkan lagu dan tarian adat dalam Ekaristi. Mohon berkat untuk berbagai kepentingan dalam peristiwa kehidupan dan berkat untuk berbagai barang yang digunakan dalam penyelenggaraan kehidupan seperti alat pertanian, benda-benda adat, tempat-tempat khusus dan lain-lain. Ada pula yang menyediakan rumah transit bagi para pastor. Ada pula yang menyumbangkan tanah untuk mendirikan gereja atau biara. Semua itu menunjukkan bahwa Tuhan dekat dengan mereka dan mencintai mereka.
Apa spiritualitas yang menjiwai karya pelayanan Monsinyur?
Pertama adalah pelayanan dalam kasih. Saya menyadari kasih Allah yang mendorong saya untuk melayani dengan sepenuh hati. Saya mendapat inspirasi pelayanan dalam kasih dari dialog antara Yesus yang bangkit dengan Petrus. Dalam dialog itu Yesus menuntut agar Petrus mengasihi Yesus lebih dari pada yang lain. Kasih Petrus kepada Yesus menjadi prioritas.
Kedua, rendah hati. Agar dapat menggembalakan dengan baik saya harus mengenal siapa yang saya layani. Maka saya terus menerus tiada henti untuk mengenal umat dengan segala kebutuhan dan situasi yang mengelilingya. Untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk merasakan, mengikuti dan melihat apa yang terjadi di tengah umat.
Ketiga, sukacita pengampunan. Saya menyadari bahwa saya tidak sempurna. Yang menjadi sukacita saya adalah bahwa Allah tidak menunggu saya sempurna. Allah telah mengambil risiko yang besar dengan memberikan tugas perutusan ini kepada saya, manusia yang rapuh. Dalam ketidaksempurnaan ini, Allah mengampuni saya dan menguatkan saya dalam pelayanan.
Yustinus Hendro Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-76, Minggu, 11 September 2022