HIDUPKATOLIK.COM – KETIKA ditanya soal rencana kunjungannya ke Kanada (24-30 Juli 2022), Paus Fransiskus menggambarkan kunjungan tersebut adalah kunjungan yang sulit, penuh emosi. Kemudian dia menyebut kunjungan tersebut sebagai peziarah penitensi, yang dimaksudkan untuk menyembuhkan dan membangun rekonsiliasi. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari hasil penyingkapan komisi Truth and Reconcialition, yang bekerja antara 2008-2015, yang mengatakan bahwa hingga sekitar tahun 1970-an ada lebih dari 6000 anak yang meninggal, dari pelaksanaan karya misi, terlebih dari sekolah-sekolah berasrama di Kanada. Laporan dari tahun 2015 tersebut semakin diperparah dengan temuan kuburan masal dari 215 anak di sekolah asrama Indian Kamloops.
Persoalan terjadi karena misi Gereja, pun lewat karya pendidikan, dijalankan tidak dengan sangat menghargai kekayaan serta kekhasan budaya, sejarah dan tradisi masyarakat setempat. Misi dijalankan dengan memaksakan suatu bentuk budaya tertentu, mencabut masyarakat setempat dari akarnya. Paus menyebutnya lalu sebagai mentalitas kolonialisme. Pewartaan iman dijalankan dari satu sisi, disertai pemaksaan, dengan akibat tidak sedikit kurban yang dihasilkan, belum lagi luka-luka yang ditanam. Karya ini memisahkan anak-anak Indian dari keluarga dan budaya mereka, melarang mereka menggunakan bahasa ibu mereka dan mengembangkan tradisi budaya mereka. Dengan memandang bahwa budaya asli mereka itu rendah, bahkan tak jarang disebut primitif, mereka dipaksa untuk memeluk budaya baru, dan semua itu sering dipaksakan dengan kekerasan.
Semua itu tidak bisa dilepaskan dari anggapan akan tanah misi seakan sebagai Kawasan tak bertuan, terra nullius, yang kemudian seakan membenarkan penguasaan dan pemilikan sepihak, demikian pemaksaan akan kultur dan tradisi dari barat. Akibatnya lalu ada saling keterkaitan antara evangelisasi dengan kolonialisasi. Terkait dengan ini dianut pula apa yang disebut sebagai doctrine of discovery, suatu paham yang dipakai untuk mengabsahkan penguasaan daerah-daerah yang menjadi milik suku-suku asli. Paham tersebut dilandaskan Dum Diversas, dari Paus Nicholas V (1452), dan pada bulla Paus Alexander VI, Inter Caetera (1493), yang memberikan kewenangan kepada penguasa Spanyol dan Portugal waktu itu untuk menguasai kawasan-kawasan yang ditemukannya. Saar misa Paus di Quebec, Kanada, sekelompok orang memasang spanduk memohon agar paham itu secara resmi dicabut oleh Gereja. Permintaan serupa sebenarnya pernah diajukan kepada Paus Yohanes Paulus II di tahun 1991 dan 2000.
Strategi Misi
Kita diingatkan akan kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Amerika Latin saat memperingati 500 tahun ditemukannya benua Amerika, dikatakannya bahwa jangan dirayakan dengan kegembiraan, namun dengan pengakuan dosa. Gereja seakan hendak membangun Gereja berwajah Euroamerica, Gereja budaya kulit putih. Demikian pula saat menyambut yubileum 2000, Yohanes Paulus II menyebutkan perlunya pemurnian ingatan untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang telah pernah dibuat Gereja, dan memohon ampun atasnya. Dalam Tertio Millennio Adveniente, Yohanes Paulus II menyebutkan perlunya “pemurnian kenangan”, pengalaman kelam masa lalu dikuakkan, dan dengan mengakui segala kelemahan serta keterbatasan diri dapat mengarahkan diri pada kemurahan hati Allah. Umat Allah dalam sejarahnya tidak jarang menggunakan kekerasan dan penindasan, pemaksaan dan diskriminasi. Para misionaris tidak memperlihatkan penghargaan akan tradisi budaya dan kehidupan asli masyarakat setempat. Pengakuan serupa pernah pula dibuat oleh Benediktus XVI.
Paus Yohanes Paulus II saat berkunjung ke Kanada menyebutkan bahwa Yesus Kristus sendiri, dalam diri para anggota tubuh-Nya, adalah orang Indian. Perjumpaan orang-orang Indian dengan Kristus, memperkaya mereka namun pula memperkaya Gereja. Ungkapan iman yang secara baru mereka nyatakan membantu Gereja semakin memahami apa artinya keselamatan universal. Gereja sebenarnya berjalan perlahan untuk menyadari hal ini. Bulla Sublimis Deus (1537) sebenarnya telah menyatakan bahwa warisan tradisi dan sejarah suku-suku Indian, dan lainnya, betapapun dianut sebelum mereka beriman akan Yesus Kristus, perlu dihargai, dan jangan sampai dipaksa untuk mengingkarinya, apalagi kemudian menjadikan mereka sebagai budak.
Akan tetapi, semua itu kenyataannya tidak sangat diterapkan. Paus Yohanes Paulus II sendiri mengakui adanya praktek perbudakan di kalangan umat Gereja, terlebih terhadap orang-orang Indian. Demikian juga lemahnya penghargaan akan budaya serta Bahasa mereka. Di Kanada sendiri dikatakan ada 634 kelompok suku, dengan sekitar 50 bahasa yang berbeda. Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya tergoda untuk mencampur-adukkan antara pewartaan Injil dengan pemaksaan untuk menganut agama Katolik, menempatkan dalam penguasaan, keuntungan materi. Kepentingan iman dan politik dicampur-adukkan, demikian pernah dikatakan Yohanes Paulus II, umat Gereja tidak peka akan adanya beberapa ketidaksesuaian antara kepentingan iman dengan kepentingan politik.
Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Kanada mengakui juga godaan akan kekuasaan, dan dambaan akan pengaruh sosial serta budaya, menjadikan evangelisasi tidak jarang dilandaskan seperti dalam strategi dan cara marketing, sehingga kekuasaan, terkesan pada dampak institusional dan strukturalnya, seakan bekerja sebagai suatu proyek yang lebih didasarkan pada kekuatan manusia. Dalam Gaudete et Exsultate, dia mengungkapkan kecenderungan serupa, dan bahkan menyebutnya sebagai kesesatan. Sementara Tuhan datang dengan mengosongkan diri, Gereja tergoda untuk menonjolkan kekuatan dan dirinya sendiri. Pewartaan injil ditandai dengan sekularisme dan ketidakpedulian, budaya yang membuang dan seakan hendak menyingkirkan yang berbeda, yang dianut oleh orang lain. Menurutnya hal itu kenyataan masih terjadi hingga kini.
Kunjungan Paus ke Kanada mengambil tema “berjalan bersama”. Dengannya dia hendak mengajak Gereja untuk menemukan cara serta jalan untuk mendengarkan, berdialog dan membangun perjumpaan dengan mereka yang berada di pinggiran, serta memberi ruang bagi Allah dan kehendak-Nya, tidak menempatkan keinginan kita berada di pusat. Kembali kepada kesederhanaan dan gairah iman, seperti ternyatakan dalam Kisah para Rasul, demikian dikatakannya. Sinodalitas Gereja yang masih berlangsung tergambar di situ.
Gereja Berbelaskasih
Sejak terpilihnya Paus Fransiskus sering berkunjung ke kawasan-kawasan yang pernah dan sedang dilanda persoalan sosial: Lampedusa, Albania, Afrika Tengah, Myanmar, Irak, dan kini Kanada. Sementara itu direncanakan pula kunjungan ke Sudan Selatan, Lebanon dan Ukraina. Mereka yang berada di pinggiran, menjadi kurban dan mengalami luka dalam sejarahnya. Wajah Allah adalah wajah belaskasih, maka Gereja pun merupakan pelayan belaskasih serta kemurahan hati Allah.
Saat membuka Konsili Vatikan II (11 Oktober 1962), Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa misi Gereja saat ini adalah untuk mengoleskan balsam belaskasihan kepada dunia dan umat manusia. Gereja yang berbelaskasih itulah yang hendak dibangun, bagaikan ibu yang bermurah hati. Hal serupa dinyatakan lagi oleh Paus Paulus VI, saat menutup konsili (8 Desember 1965). Dari sini kemudian dia mengangkat kisah orang Samaria yang murah hati (lih Luk 10:25-37) sebagai model dan ciri dari spiritualitas konsili. Konsili berangkat untuk menghargai dan juga memurnikan apa yang ada. Semua itu dilakukan Gereja dalam semangat kasih. Kemurahan hati itu merangkul, sedangkan sikap kaku dan beku akan cenderung menyingkirkan, demikian diyakini Gereja dalam perjalanannya kemudian.
Gereja adalah Gereja yang hidup dalam keberagaman karisma, yang masing-masing karisma tersebut dihadirkan di dalam Gereja, berkat terang bimbingan Roh Kudus, agar Gereja Kristus ini dapat semakin membawakan dan menjadi saksi akan kemurahan hati Bapa, belaskasih Allah Tritunggal yang melaksanakan karya penyelamatan kasih-Nya di tengah dunia. Paus Fransiskus karenanya ingin menempatkan misi Gereja di hadapan Tuhan yang tersalib serta dihadapan saudara-saudari kita, agar Gereja belajar bagaimana berjalan bersama. Langkah misioner Gereja, bila demikian, adalah langkah berjalan bersama.
Dalam pertemuan dengan perwakilan dari suku-suku asli Kanada di Vatikan, 1 April 2022, Paus Fransiskus mengutip kata-kata bijak mereka, “Dalam setiap pertimbangan, kita musti menyadari dampaknya bagi tujuh generasi”. Dari sini Paus menyebutkan bahwa karya pewartaan iman sering tidak memperhatikan hal itu, hanya mengejar tujuan sesaat dan jangka pendek namun tidak memperhitungkan dampaknya ke depan, bagi generasi-generasi berikutnya. Dalam semua itu, bukan iman akan Yesus Kristus yang dihadirkan. Kita diingatkan akan nasehat dalam sidang di Yerusalem, “Kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah” (Kis. 15:19).
Gereja masih harus terus-menerus belajar dan memperbaharui diri dalam menjalankan tugas perutusannya mewartakan Injil. Kita pun diajak ikut berjalan bersama, sembari pula bertanya bagaimana karya pelayanan Gereja dijalankan di belahan bumi Nusantara ini, terlebih di kawasan yang bersinggungan dengan suku-suku asli, misalnya di Papua ataupun Kalimantan.
Paus Fransiskus, “Dalam setiap pertimbangan, kita musti menyadari dampaknya bagi tujuh generasi”.
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog, Tinggal di Girisonta
HIDUP, Edisi No. 39, Tahun ke-76, Minggu, 11 September 2022