web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Bersukacitalah Bersama-sama Aku

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 11 September 2022 Minggu Biasa XXIV, Kel. 32: 7-11, 13-14; Mzm. 51:3-4, 12-13, 17, 19; 1Tim. 1: 12-17; Luk. 15: 1-33.

KETIGA bacaan hari ini melukiskan secara dramatis pola relasi antara Allah di satu pihak dengan manusia yang berdosa di lain pihak. Dalam Bacaan Pertama dikisahkan tentang Allah yang kecewa pada umat Israel yang tidak setia dan menyembah berhala. Bukan hanya kecewa, Ia marah dan hendak memberi hukuman. Tetapi pada momen yang sangat menentukan Ia kemudian membatalkan niat tersebut.

“Dan menyesallah Tuhan karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya” (Kel. 32: 14). Belas kasih dan kerahiman Allah itu makin jelas terlihat dalam bacaan Injil yang diambil dari perikop termasyur, yaitu Lukas 15. Allah sendiri dilukiskan seperti gembala yang berinisiatif meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba di padang gurun dan pergi mencari satu domba yang sesat sampai Ia menemukannya (Bdk. Luk. 15:4).

Allah juga digambarkan seperti perempuan yang kehilangan satu dari sepuluh dirham yang dimilikinya, lalu menyalakan pelita dan menyapu rumah serta mencarinya dengan cermat sampai ia menemukannya (Bdk. Luk. 15:8). Akhirnya Allah diumpamakan seperti Bapa yang menantikan kembalinya anaknya yang hilang karena berdosa.

Baca Juga:  MAJALAH HIDUP EDISI TERBARU, No. 47 TAHUN 2024

Menunggu di sini harus dimengerti bukan sebagai sikap yang pasif. Sebaliknya: Ketika dari jauh Ia melihat anaknya kembali, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu berinisiatif untuk berlari mendapatkan anaknya, merangkul dan mencium dia (Bdk. Luk. 15: 20). Baik juga untuk diperhatikan, bahwa Allah yang berbelas kasih itu bukan hanya berinisiatif mencari dan menemukan domba, dirham dan anak yang hilang.

Lebih dari itu ketiga perumpamaan memberi pesan sama tentang sukacita besar yang dialami karena menemukan mereka yang hilang itu. “Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan” (Luk 15:6). “Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dirhamku yang hilang itu telah kutemukan” (Luk. 15:9). “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk. 15:32).

Paulus (Bacaan Kedua) kepada Timotius menambahkan satu pesan penting lagi yang sangat penting. Bukan hanya Allah menyesal atas malapetaka yang dirancangkan, bukan pula Ia hanya mencari dan menemukan serta menyambut domba, dirham dan anak yang hilang serta bersukacita karenanya. Lebih dari itu semua: Kepada anak yang hilang, kepada manusia yang berdosa, Allah mempercayakan tugas pelayanan dan perutusan luhur untuk menjadi saksi-Nya. Itulah pengalaman Rasul Agung Paulus. “Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku – aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya…” (1Tim. 1: 13).

Baca Juga:  Pementasan Teater dan Konser Mini “Bukan Pahlawan Biasa” SMA Karya Budi Putussibau

Kepada Allah seperti itu (yang menyesal atas rancangan hukuman, yang berinisiatif mencari, menemukan, dan menyambut dengan penuh sukacita serta mempercayakan tugas perutusan kepada manusia berdosa), sikap seperti apa yang sepantasnya kita ambil?

Alternatif sikap pertama ditunjukkan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Memandang diri sebagai orang-orang istimewa yang lebih baik dari orang-orang lain, yang merasa berjasa dan pantas di hadapan Allah karena keutamaan mereka, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak sanggup menerima gambaran tentang Allah seperti di atas. Mereka bersungut-sungut ketika melihat “para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia” (Luk. 15:1). Mereka berkata, “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Luk. 15:2).

Berdasarkan pengalamannya sendiri, Rasul Paulus menunjukkan kepada kita alternatif sikap yang lebih tepat: pengakuan diri yang jujur sebagai orang berdosa serta syukur atas kasih karunia kerahiman yang demikian berlimpah dan hormat bagi Allah. “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya” (1Tim. 1: 15-16).

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Kadang-kadang kita tergoda untuk mengambil sikap seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang memandang diri lebih benar dan baik dari orang-orang lain yang berdosa. Kadang pula kita bersikap seperti anak sulung dalam Injil yang marah dan tidak rela ketika adiknya yang berdosa kembali dan dipestakan oleh ayah mereka.

Kalau demikian, marilah membuka dan membiarkan diri kita dibujuk lagi oleh Bapa yang baik hati itu: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali (Luk. 15: 31-32).  Marilah kita meniru sikap Paulus yang dalam kerendahan hati dan pengakuan yang jujur bersyukur kepada Dia yang mengasihani kita, mengganggap kita setia dan mempercayakan pelayanan kepada kita (1Tim. 1:12).

“Justru karena berdosa aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya” (1Tim. 1: 15-16).

 HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-76, Minggu, 11 September 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles