HIDUPKATOLIK.COM – BERDIRI terpaku tanpa bisa berucap. Imajinasiku mundur, tiga puluh tahun lampau. Warna coklat muda tembok sekolah. Lonceng di pojokan bangunan dekat toilet siswa. Tiga dekade lebih dihajar usia, tetap saja lonceng sekolah tak berubah. Lantas, para guru? Di mana sekarang Pak Sumitro, kepala sekolahku dulu? Pak Sarjono, Pak Andreas, Pak Pramudya? Bu Palupi, Bu Lastri? Dan Bu Ester? Wajah-wajah guruku yang teramat bersahaja, namun terlampau agung untuk dilupakan. Mereka para maestro yang membentuk karakterku.
Perjalanan waktu, bergulirnya peristiwa, digitalisasi teknologi, disrupsi peradaban akhirnya mengembalikan aku ke sekolah ini. Aku kembali menjadi kanak-kanak. Bocah kampung ingusan yang haus akan ilmu pengetahuan.
“Kamu mewakili kawan-kawan untuk memberikan tali asih kepada pada guru kita, Gung. Tiga puluh tahun kita lulus memang layak untuk merayakan kebahagiaan bersama para guru,” kata Petrus, pengusaha perkakas rumah tangga yang tinggal di Solo.
“Agung memang cocok yang jadi perwakilan. Kamu dulu khan ketua kelas. Juara membaca puisi tingkat kota. Guru-guru pasti masih ingat padamu. O ya maunya aku temani, tapi pertengahan tahun aku dilarang cuti. Ada pergantian walikota,” Rita, pegawai pemerintah di Salatiga menambahkan.
“Setuju aku dengan pendapat Petrus dan Rita. Agung yang awet muda dan tetap enerjik. Pasti para guru senang lihat penampilan Agung. Asumsi para guru, kita-kita ini mirip Agung. Orang yang sukses,” Sihombing, anggota dewan Kota Pematang Siantar dari partai oposisi, menimpali.
Pertemuan virtual berakhir, dengan perintah dari kawan-kawan yang tiada bisa aku tolak. Menjadi perwakilan angkatan 1992 untuk mengunjungi sekolah dasar di kampung Yogya.
Di sekolah ini, aku dididik para guru yang penuh dedikasi. Salah satu guru berdedikasi tinggi itu Bu Ester. Nama lengkapnya Ester Roro Astuti. Setiap hari menuju sekolah, Bu Ester selalu mengayuh sepeda dari arah selatan kota. Berjarak dua belas kilo meter. Tas warna hitam diselipkan pada keranjang depan sepeda jengkinya. Rambut Bu Ester dibiarkan tergerai sebahu. Ada sedikit lipstik menghias bibirnya.
Suaranya halus, tutur katanya santun ketika mengajar. Aku menikmati semua pelajaran apabila Bu Ester yang berdiri di depan kelas. Apalagi kalau Bu Ester mengajar sejarah. Gaya bertutur Bu Ester, membuat imajinasi kami para murid berkelana melewati zaman. Zaman kerajaan, kemerdekaan, Orde Lama, hingga Orde Baru.
“Ken Arok itu manusia pemberani. Dia hanya pencuri kecil. Ketika Ken Arok melihat kecantikan Ken Dedes, ia bersumpah menikahi Ken Dedes. Ia curi keris buatan Mpu Gandring. Ditusukkan keris itu ke dada Mpu Gandring. Selanjutnya keris itu ditikamkan ke dada Tunggul Ametung. Ken Arok menjadi raja.” Dengan tuturan lembut Bu Ester, kekuasaan yang dibangun oleh Ken Arok dari tetesan darah seperti kekuasaan yang agung.
Bu Ester, masihkah di umur lima puluh enam tahun mengajar? Bagaimana kehidupan keluarganya? Dengan siapa Bu Ester menikah? Berapa anaknya? Dulu, pikiran bocah SD seperti kami, terlalu panjang berimajinasi. Kami, murid-murid berkhayal, Bu Ester cocok bila berpasangan dengan Pak Sarjono. Sosok Pak Sarjono dengan segala kelucuannya saat mengajar. Dengan jiwa kebapakan sehingga dekat dengan kami, para murid. Serasi dengan Bu Ester yang bersahaja, lembut namun ada aura anggun pada wajahnya.
Berdiri dua belas menit di halaman sekolah. Tersedot masa silam. Akhirnya aku berjalan menuju kantor guru. Pandemi berkepanjangan, tiada murid hadir. Pun ketika aku ketuk pintu, perlu waktu sebelum pintu dibuka penjaga sekolah.
“Selamat pagi, apakah Bu Ester masih mengajar?” aku bertanya kepada penjaga sekolah.
“Setahun lalu sudah pensiun. Tetapi beliau masih diperbantukan,” ucap penjaga sekolah.
“Saya lulusan sembilan satu. Mau bertemu Bu Ester,” kuutarakan maksudku. Penjaga sekolah mempersilahkan aku duduk menunggu. Foto para kepala sekolah sejak awal mula sekolah ini berdiri, berjejer memenuhi tembok. Rak buku dipojokan dengan koleksi buku aneka pengetahuan. Berdampingan dengan berbagai macam piala para murid. Bahkan piala ketika aku juara membaca puisi sekota Yogya, masih terawat dengan bersih. Bekas sekolahku di kampung yang jauh dari aneka fasilitas dibanding sekolah nasional, ternyata banyak murid yang berprestasi.
Dekak-dekak suara sepatu terdengar dari dalam. Sesosok perempuan sepuh muncul. Rambutnya memutih. Ada keriputan disana-sini. Tetapi tidak bisa menghapus wajah teduhnya.
“Selamat pagi Ibu,” aku berdiri, mengucapkan salam.
“Selamat pagi. Siapa ya? Hmmm…..” Bu Ester menyelidiki wajahku,”Agung Wijayanto?!”
Aku mengangguk.
“Oh, anakku…..,” Bu Ester langsung mendekap tubuhku. Sebuah dekapan hangat yang kembali kurasakan setelah lulus tiga puluh tahun lampau. “Maafkan Ibu, bila lupa padamu.”
“Tidak Bu. Saya yang pantas memohon maaf bila bertahun-tahun tidak mengunjungi Ibu.”
“Berapa tahun?”
“Tiga puluh tahun.”
“Tiga puluh tahun? Angkatan sembilan puluh dua. O ya, Ibu masih ingat kamu satu angkatan dengan Rita, Petrus, Yuwono, Widya, Tutik, Sihombing. Di mana mereka sekarang?”
Aku lalu bercerita tentang teman-temanku. Tentu bercerita kesuksesan para murid yang pernah dididik di sekolah ini. Aku bercerita pula kawan-kawan menyuruh aku mengunjungi sekolah. Peringatan tiga puluh tahun lalu lulus dari sekolah ini. Gantian aku bertanya tentang para guru. Begitu malunya aku di hadapan Bu Ester. Bu Ester masih hapal dengan murid-muridnya. Sementara aku tak tahu kalau Pak Mitro pensiun. Bu Palupi menjadi kepala sekolah di Sleman. Bu Lastri meninggal dua tahun lalu karena gagal ginjal. Pak Sarjono mengikuti anaknya, pindah ke Bali karena tidak mau diperpanjang pensiunnya. Ramalan kami tentang hubungan Bu Ester dan Pak Sarjono, tak terbukti. Sebatas khayalan anak-anak.
Bu Ester, guruku. Setelah tiga puluh tahun. Kembali memeluk diriku. Aku tetap terlalu kecil di hadapannya. Profesiku sebagai konsultan manajemen yang bertungkus-lumus dengan teori dan praktik bisnis dari para maestro seperti Peter Drucker, Michael Porter hingga Bill Gates dan Elon Musk terasa kecil dihadapan Bu Ester. Aku yang karena pekerjaan, hari ini sarapan dan makan siang di Singapura namun makan malam sudah di Tokyo. Tetap sebagai murid Bu Ester. Tidak lebih. Dekapan Bu Ester, sorot mata lembut Bu Ester, membuat aku seperti kanak-kanak kembali.
Dua jam aku bertemu dengan Bu Ester. Tiga puluh tahun kami lulus. Sebagai apresiasi kepada semua guru karena membentuk karakter kami sehingga kami anak-anak kampung sederhana mampu bersaing menjalani kehidupan. Kusodorkan cek dari teman-teman dengan angka enam puluh juta rupiah. Hasil dari kompromi kami, tiga puluh tahun kali dua. Air mata terkumpul di mata Bu Ester ketika menerima cek dari teman-teman. Tiada habis-habisnya Bu Ester mengucapkan terima kasih. Para guru mendapat rezeki berlimpah yang belum pernah didapat dari manapun.
Aku berpamitan. Kembali Bu Ester memeluk diriku. Suara lembut Bu Ester masuk ke rongga telingaku. “Anakku, Ibu akan selalu berdoa untukmu dan murid-murid yang lain. Roh Kudus selalu menyertaimu.”
Pada jari manis Bu Ester tiada cincin melingkar. Aku tanya kepada penjaga sekolah ketika keluar dari halaman sekolah. Kata penjaga sekolah, Bu Ester selama hidup tidak menikah. Hidup sendiri di rumah masa lalunya. Dua belas kilometer dari sekolah. Sampai sekarang masih mengayuh sepeda dari rumahnya menuju sekolah.
Dua puluh empat hari kemudian, aku kembali datang ke Yogya. Tugas kantor menyebabkan perjalanan panjang harus aku lakoni. Dari Paris, transit ke Abu Dhabi, menuju Jakarta. Dari Jakarta langsung terbang ke Yogya. Setangkai bunga paling indah ada di tanganku. Kutuju pusara, empat belas kilometer arah selatan kota Yogya. Pusara yang belum kering tanahnya. Bunga aku taruh di atas pusara. Tangan menangkup di dada. Kudaraskan sepotong doa. Doa untuk kebahagiaan kekal. Doa untuk tidur abadi dalam ketenangan.
Ester Roro Astuti, nama yang tertera pada pusara. Kemarin menghadap Sang Pencipta. Sepulang dari sekolah, siang hari. Ada mobil lepas kendali. Menabrak sepeda Bu Ester.
Oleh A.M. Lilik Agung
HIDUP, Edisi No. 34, Tahun ke-76, Minggu, 21 Agustus 2022