web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketika Asimilasi Hancurkan Masa Depan Suku Indian, Paus Fransiskus Meminta Maaf agar Proses Penyembuhan dan Rekonsiliasi Dapat Berlanjut

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – ADALAH Christopher Columbus yang menjelajah dunia baru. Dia berlayar untuk mencari rempah-rempah dan bahan mentah lainnya yang menjadi bahan utama makanan dan industri di Eropa. Bersama rombongannya, dia tiba di Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Ketika berjumpa dengan masyarakat adat (asli) dia memberikan nama indios (Indian) kepada mereka. Nama Indian itu berasal dari India yang sebenarnya menjadi tujuan utama pelayarannya.

Masyarakat adat yang diberinya nama Indian itu menyebar dari Alaska hingga Chili di Amerika Selatan. Mereka terdiri dari berbagai suku yang mereka sebut sebagai bangsa atau nation. Misalnya, First Nation, Sioux Nation, Inuit Nation, Apache, Creek, Cheeroke, Navajo, Kiowa, Iroquois, Comanche, Lakota, Pueblo, Aztec, Inca, Maya, Red Skin, Tarahumara, dan Mandan.

Suku-suku Indian telah bermukim di Benua Amerika sejak 15.000 tahun lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Asia memasuki benua ini melewati Selat Bering yang waktu itu masih satu daratan sebelum es mencair. Mereka melarikan diri dari musuh dan mengikuti hewan buruan.

Suku Indian kemudian menetap dan mengembangkan kebudayaan menjadi berbagai suku yang tersebar di berbagai belahan Benua Amerika. Bangsa Indian termasuk ras Mongoloid yang memiliki ciri-ciri rambut hitam lurus, kulit cokelat kemerahan, mata hitam, tulang pipi menonjol, dan memiliki wajah lebar. Keberadaan penduduk asli Amerika ini mulai terancam sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 yang dimulai oleh Christopher Columbus.

Bangsa-bangsa Eropa lain menyusul ke Amerika. Mereka menyebar dari Amerika Utara hingga Amerika Selatan. Pada awal-awal hidup mereka, di Amerika Serikat dan Kanada yang masa musim dinginnya lama misalnya, mereka mengalami kekurangan makanan. Mereka belum memiliki penghasilan. Suku-suku Indian menolong mereka dengan memberi mereka makan kalkun, pumkins (sejenis labu) dan hasil bumi yang lain. Kehidupan mereka pun dapat berlanjut.

Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam perayaan Thanks Giving oleh kaum imigran Eropa. Setiap bulan November Thanks Giving dirayakan secara meriah oleh bangsa-bangsa pendatang. Bagi mereka, Thanks Giving merupakan sebuah perayaan syukur atas keselamatan. Namun bagi suku-suku Indian, Thanks Giving menjadi sebuah perayaan penderitaan. Mengapa? Karena banyak hak-hak mereka dirampas seperti tanah, mereka tidak boleh menggunakan budaya dan bahasa mereka. Bahkan di Amerika Serikat mereka ditempatkan di berbagai reservasi dengan kondisi hidup yang menyedihkan.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Sekolah Berasrama

Di Kanada, sistem Sekolah Berasrama Indian dikembangkan menjadi sebuah jaringan sekolah asrama bagi masyarakat adat. Jaringan tersebut didanai oleh Departemen Urusan Indian pemerintah Kanada dan dikelola oleh Gereja-Gereja Kristen, termasuk lembaga-lembaga Katolik yang mengelola 66 sekolah berasrama.

Sistem sekolah ini diciptakan untuk mengisolasi anak-anak Pribumi dari pengaruh budaya dan agama asli mereka sendiri untuk mengasimilasi mereka ke dalam budaya Kanada yang dominan. Selama sistem ini berlangsung, lebih dari seratus tahun keberadaannya, sekitar 150.000 anak-anak ditempatkan di sekolah-sekolah berasrama secara nasional.

Pada tahun 1930-an sekitar 30 persen anak-anak Pribumi diyakini bersekolah di sekolah-sekolah berasrama ini. Jumlah kematian terkait sekolah masih belum diketahui karena catatan yang tidak lengkap. Perkiraan berkisar dari 3.200 hingga lebih dari 90.000 anak-anak yang hidupnya berakhir di sekolah-sekolah ini.

Paus Fransiskus berdoa di kuburan di Pemakaman Ermineskin Cree Nation di Maskwacis, Alberta, selama kunjungan kepausannya di Kanada pada Senin, 25 Juli 2022.

Sistem ini berasal dari undang-undang yang diberlakukan sebelum Konfederasi, tetapi terutama aktif sejak disahkannya Undang-Undang Indian pada tahun 1876, dibawah Perdana Menteri Kanada, Alexander MacKenzie. Dibawah Perdana Menteri John A. Macdonald, pemerintah mengadopsi sistem sekolah industri berasrama Amerika Serikat, kemitraan antara pemerintah dan berbagai organisasi gereja.

Amandemen Undang-Undang Indian pada tahun 1894, dibawah Perdana Menteri Mackenzie Bowell, membuat kehadiran di sekolah harian, sekolah industri, atau sekolah berasrama wajib bagi anak-anak Bangsa Pertama (Fisrt Nation). Karena sifat banyak komunitas yang terpencil, lokasi sekolah berarti bahwa bagi beberapa keluarga, sekolah berasrama adalah satu-satunya cara untuk mematuhinya.

Sekolah-sekolah tersebut sengaja ditempatkan pada jarak yang cukup jauh dari masyarakat adat untuk meminimalkan kontak antara keluarga dan anak-anak mereka. Komisaris Indian Hayter Reed berpendapat bahwa tujuan keberadaan sekolah-sekolah dengan jarak yang lebih jauh untuk mengurangi kunjungan keluarga, yang menurutnya menetralkan upaya untuk mengasimilasi anak-anak Pribumi. Kunjungan orangtua selanjutnya dibatasi oleh penggunaan sistem izin yang dirancang untuk membatasi masyarakat adat mengadakan kontak dengan anak-anak mereka.

Sekolah berasrama terakhir yang didanai pemerintah federal, Kivalliq Hall di Rankin Inlet, ditutup pada tahun 1997. Sekolah beroperasi di setiap provinsi dan wilayah kecuali di New Brunswick dan Pulau Prince Edward.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Merugikan Pribumi

Sistem sekolah berasrama merugikan anak-anak Pribumi secara signifikan dengan mengeluarkan mereka dari keluarga mereka, merampas bahasa leluhur mereka, dan membuat banyak dari mereka mengalami pelecehan fisik dan seksual. Siswa-siswi juga menjadi sasaran pemberian hak secara paksa sebagai warga negara yang ‘berasimilasi’ yang menghilangkan identitas hukum mereka sebagai orang Indian. Terputus dari keluarga dan budaya mereka dan dipaksa untuk berbicara bahasa Inggris atau Perancis, siswa-siswi yang menghadiri sistem sekolah berasrama sering lulus karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan komunitas mereka, tetapi tetap tunduk pada sikap rasis dalam masyarakat arus utama Kanada.

Sistem tersebut pada akhirnya terbukti berhasil dalam mengganggu transmisi praktik dan kepercayaan Pribumi lintas generasi. Warisan sistem telah dikaitkan dengan meningkatnya stres pasca-trauma, alkoholisme, penyalahgunaan zat, bunuh diri, dan trauma antargenerasi yang bertahan dalam komunitas Pribumi saat ini.

Sementara itu, komunitas agama mengeluarkan permintaan maaf pertama mereka atas peran mereka masing-masing dalam sistem sekolah berasrama pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Pada 11 Juni 2008, Perdana Menteri Stephen Harper menyampaikan permintaan maaf publik pertama atas nama kabinet dan para pemimpin Dewan partai federal lainnya di House of Commons. Sembilan hari sebelumnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk untuk mengungkap kebenaran tentang sekolah-sekolah tersebut. Komisi tersebut mengumpulkan sekitar 7.000 pernyataan dari para penyintas sekolah berasrama melalui pertemuan publik dan pribadi di berbagai acara lokal, regional, dan nasional di seluruh Kanada. Tujuh acara nasional yang diadakan antara tahun 2008 dan 2013 memperingati pengalaman mantan siswa-siswi sekolah asrama. Pada tahun 2015, KKR diakhiri dengan pendirian Pusat Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi dan penerbitan laporan multi-jilid yang merinci kesaksian para penyintas dan dokumen sejarah pada saat itu. Laporan TRC menyimpulkan bahwa sistem sekolah sama dengan genosida budaya.

Penembuh dan Rekonsiliasi

Upaya yang sedang berlangsung sejak 2021 telah mengidentifikasi ribuan kemungkinan kuburan tak bertanda di tanah bekas sekolah berasrama, meski tidak ada sisa-sisa manusia yang belum digali. Selama ziarah pertobatan ke Kanada pada Juli 2022, Paus Fransiskus mengulangi permintaan maaf Gereja Katolik atas perannya dalam mengelola banyak sekolah berasrama.

Dalam perjalanan pulangnya dari Kunjungan Apostolik selama satu minggu di Kanada, Paus Fransiskus menandaskan bahwa dia telah setuju dengan pandangan bahwa pemindahan paksa anak-anak Pribumi dari keluarga mereka dan perlakuan mereka pada sistem sekolah berasrama Kanada adalah bentuk “genosida budaya.”

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Berbicara kepada wartawan di pesawat kepausan pada 30 Juli, paus menjelaskan bahwa dia tidak menggunakan istilah “genosida” selama permintaan maaf publiknya atas pelanggaran masa lalu yang dilakukan oleh umat Katolik dalam sistem, karena tidak terpikirkan.

Sistem sekolah berasrama Kanada, yang dirujuk Paus Fransiskus, berjalan selama lebih dari 100 tahun. Sistem ini berhasil membasmi budaya dan bahasa asli secara sistematis, seringkali dengan mengeluarkan anak-anak dari keluarga mereka secara paksa. Organisasi Katolik menjalankan setidaknya 60% dari sekolah asrama yang didanai pemerintah.

Paus berusia 85 tahun itu berbicara di akhir perjalanan selama seminggu ke Kanada di mana dia melakukan perjalanan ke Edmonton, Québec, dan Iqaluit tentang apa yang dia sebut “ziarah pertobatan” untuk meminta maaf. Paus Fransiskus berulang kali mengungkapkan rasa malu dan kesedihannya kepada masyarakat adat negara atas peran yang dimainkan Gereja Katolik dalam sistem tersebut.

Paus berdoa bersama warga Indian.

Pada tahun 2015, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi negara itu menyimpulkan bahwa sistem sekolah berasrama di negara itu merupakan “genosida budaya.”

“Saya meminta maaf. Saya meminta maaf untuk pekerjaan ini, yang merupakan genosida,” tandas Paus Fansiskus.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang berlangsung dari 2008-2015, menyimpulkan bahwa ribuan anak meninggal saat menghadiri “Sekolah Berasrama Indian”, dan menyerukan tindakan pada 94 poin.

Permintaan maaf kepausan adalah salah satu dari empat poin komisi yang ditujukan kepada Gereja Katolik.

“Saya datang sebagai peziarah, terlepas dari keterbatasan fisik saya, untuk melangkah lebih jauh ke depan bersama Anda dan bagi Anda. Saya melakukan ini agar kemajuan dalam pencarian kebenaran, sehingga proses penyembuhan dan rekonsiliasi dapat berlanjut, dan agar benih harapan dapat terus ditaburkan untuk generasi mendatang — baik pribumi maupun non-pribumi — yang ingin hidup bersama, dalam harmoni, sebagai saudara dan saudari,” kata Paus kepada para delegasi yang mewakili sembilan bangsa Pribumi, Jumat, 29/7/2022).

Frans de Sales, SCJ (dari Berbagai Sumber)

HIDUP, Edisi No. 33, Tahun ke-76, Minggu, 14 Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles