HIDUPKATOLIK.COM – SEPERTI kami tulis pekan lalu pada kolom ini (Lihat, Edisi No.32), situasi sosial di Belanda kurang kondusif 200 tahun lalu. Hal ini berdampak kepada eksistensi Gereja Katolik masa itu. Bahkan dikatakan, pada waktu itu keuskupan-keuskupan di Belanda tidak memiliki uskup. Gereja Katolik di Belanda langsung dibawah penggembalaan Vatikan melalui Propanganda Fide. Kuatnya tekanan yang dilakukan oleh gerakan Protestantisme dan Pemerintah yang berkuasa saat itu membuat kekatolikan mengalami kesulitan yang cukup besar. Sampai-sampai anak-anak Katolik pun tidak bisa mendapatkan pendidikan yang semestinya. Pendidikan iman pun berada dibawah pengawasan ketat negara.
Akan tetapi, situasi sulit ini tak mematahkan semangat para imam yang berkarya di Belanda. Adalah atas inisiatif Pater Mathias Wolff dan sejumlah imam lainnya, Gereja Katolik mulai bangkit dari situasi keterpurukan. Karena tidak bisa hanya berharap pada kebaikan hati Pemerintah atau pasrah pada keadaan.
Semangat kekatolikan dihidupkan kembali dengan mendidik sejumlah perempuan muda yang kelak melahirkan Kongregasi Jesus Maria Joseph (JMJ) dan Santa Perawan Maria Amersfoort – Zuzter van onze Lieve Vrouw (SPM). Perempuan-perempuan muda tersebut terdorong mengabdikan diri untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak, terutama anak-anak miskin. Bagi mereka, anak-anak miskin itu adalah juga citra Allah. Mereka pun punya hak yang sama dengan anak-anak lain untuk dimerdekakan dari kebodohan dan kemiskinan. Mereka, seperti manusia-manusia lain, berharga di mata Allah.
Spiritualitas SPM yang diformulasikan oleh ibu rohani, Julie Billiart dan Mere S. Joseph Marie Blin de Bourdon terus dihidupi para Suster SPM hingga saat ini. Kehadiran SPM di Indonesia (sekarang dua provinsi, Probolinggo dan Samarinda) selalu tertuju pada pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Tantangan yang dihadapi para Suster SPM tentulah tidak mudah. Pada awal-awal pembukaan setiap karya ada aneka banyak kesulitan yang dihadapi. Namun, dengan kerja sama dengan semua pihak yang terkait, secara perlahan karya-karya membuahkan hasil yang hingga kini terus dirasakan. Pendidikan adalah urat nadi kehidupan dan perkembangan bangsa. Peran SPM sangatlah besar di ranah ini.
Setelah 200 tahun hadir, tantangan bidang pendidikan dan bidang lain tidaklah makin mudah. Justru sebaliknya. Era modernitas yang diwarani oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat kita gamang. Di satu sisi, sebagian anak-anak dapat mengikuti perkembangan zaman, namun di sisi lain, terpadat pula anak-anak yang kesulitan bahkan tak mampu karena masalah ekonomi. Pandemi dan situasi global akibat salah satunya perang di Ukraina kian menambah tantangan yang dihadapi semua pihak, termasuk SPM dalam menjalankan karya-karya pelayannya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui gerakan koperasi dan lain-lain.
Kita berharap bahwa situasi tidak mudah ini –- seperti dulu saat SPM didirikan – justru akan mendorong para Suster menemukan langkah-langkah baru kian mewujudnyatakan spiritualitasnya yang sejati.
HIDUP, Edisi No. 33, Tahun ke-76, Minggu, 14 Agustus 2022