web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sr. Theresia Supriyati, JMJ: Kesiapsediaan Apostolis di Persimpangan Jalan

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – PERAYAAN 200 tahun Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph (SJMJ atau JMJ) di tengah dunia dilalui dengan aneka tantangan dan harapan. Kongregasi yang didirikan Pastor Mathias Wolff, SJ di Belanda, 29 Juli 1822 hadir dengan ragam karya pelayanan. Dewan Pemimpin Kongregasi JMJ, Sr. Theresia Supriyati, JMJ merefleksikan perayaan 200 tahun ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mensyukuri rahmat Tuhan dalam perjalanan. Berikut petikan percakapan HIDUP dengan Sr. Theresia di Kompleks Biara Walterus, Tomohon, Rabu, 27/7/2022.

Apa pesan yang bisa disampaikan dari perayaan 200 tahun ini?

       Di Tomohon, ada satu patung yang biasa disebut Patung Tololiu. Kalau saya melihat patung itu seakan-akan menggambarkan Kongregasi JMJ berada. Kalau berdiri di patung itu kita sedang berada dalam pilihan jalan ke Manado (utara), ke Langowan (selatan), dan Tondano (timur). Persimpangan jalan itu mengingatkan saya pada Yeremia 6: 16, “Ambillah tempatmu di jalan-jalan dan lihatlah, tanyakanlah jalan-jalan yang dahulu kala, di manakah jalan yang baik, tempuhlah itu, dengan demikian jiwamu mendapat ketenangan.”

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Apa artinya bagi Kongregasi JMJ?

Perayaan ini membuat kami kembali menengok ke belakang, bersyukur kepada Tuhan atas pendampingan-Nya sampai 200 tahun ini. Selain itu refleksi bahwa perziarahan 200 tahun ini telah dilalui dalam suka dan duka, ada jatuh bangun. Dari situ kami menyadari, pertama, Tuhan setia pada janji-Nya bahwa Ia selalu menyertai kami. Kalau Tuhan tidak menyertai, tidak mungkin kami bisa sampai 200 tahun. Kedua, kami ingin merangkul kerapuhan kami. Bahwa sebagai manusia lemah, Kongregasi kami ada juga kesalahan-kesalahan dan kekeliruan di masa lampau. Untuk itu, kami mau mohon ampun kepada Tuhan. Supaya dari tonggak ini, Kongregasi kami mampu berjalan ke depan.

Apa saja program pengembangan ke depan?

       Program besarnya adalah bagaimana membentuk suatu persekutuan – persaudaraan. Seperti tema yubelium ini yakni “Menjadi Saudara”. Sebab untuk menjadi saudara, butuh proses. Para Suster JMJ dikumpulkan dari berbagai suku dan bangsa. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa “engkau satu darah dan daging dengan saya.” Hal ini menjadi program besar kami. Menjadi saudara, bukan hanya dalam komunitas, provinsi, dan seluruh kongregasi tapi juga bagi Gereja dan sesama serta alam ciptaan Tuhan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Bagaimana dengan program pembinaan para suster muda?

Menjadi saudara juga tidak lepas dari proses dasar pembinaan itu sendiri. Soal hal ini, pertama-tama para suster harus hidup dalam Roh. Semangat kami yakni kesiapsediaan apostolis yang senatiasa dapat menyesuaikan diri. Itu warisan dari pendiri kami. Untuk selalu siap sedia, membutuhkan disermen setiap saat. Maka kami dari awal diharapkan untuk menjadi manusia-manusia dalam Roh dan mampu membuat disermen soal kehendak Tuhan dalam setiap peristiwa. Kedua, kesiapsediaan itu membutuhkan keberanian. Pendiri kami menegaskan pelayanan itu harus merangkul empat penjuru dunia ke dalam hatimu. Ketika kamu lepe-lepe (lemah), tidak ada semangat, tidak inovatif, kreatif, maka pelayanan dan kesaksian hidup terasa hambar.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apa harapan Suster pasca 200 tahun ini?

       Sederhana saja. Pertama, setia kepada panggilan, jujur, transparan, berani, terbuka kepada siapa saja dan selalu terbuka untuk orang lain sehingga kehadiran Keluarga Kudus (Jesus, Maria dan Joseph) menjadi nyata dalam diri setiap Suster JMJ.

Berkaitan dengan kerasulan Kongregasi, maka dibutuhkan atitut, tingkah laku, perlu terbuka kepada kultur orang lain, kebiasaan orang lain, juga keberanian untuk menyapa, berkomunikasi dengan orang lain, dengan sesama yang bukan torang deng torang (umat dengan umat saja), tetapi dengan orang yang sangat membutuhkan.

Dalam konteks karya kerasulan, kami akan melakukan beberapa hal terkait dengan peningkatan kerja sama para suster dengan guru dan staf/karyawan di bidang pendidikan. Kalau dalam bidang kesehatan/rumah sakit, para Suster JMJ meningkatkan kerja sama dengan direksi dan staf. Begitu juga di tempat/tempat karya sosial dan pastoral lainnya.

Lexie Kalesaran (Manado)

HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles