HIDUPKATOLIK.COM – Perayaan 200 tahun Kongregasi JMJ adalah kesempatan untuk menyadari bahwa mereka siap diutus kemana saja dan siap menjadi ‘raksasa’yang bekerja tanpa kenal lelah.
KOTA Manado dan Tomohon, Sulawesi Utara (Sulut) menjadi tuan rumah perayaan 200 tahun Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph (JMJ) di dunia. Puncak perayaan dipusatkan di Paroki Hati Kudus Yesus Tomohon, Jumat (29/07/2022).
Dua hari sebelum perayaan puncak, tamu undangan telah berdatangan di Manado. Rombongan para suster, pastor, staf, dan tamu undangan lainnnya telah tiba di Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado. Setelah dijemput di bandara, tamu undangan disambut dengan Tarian Kabasaran dan berbagai atraksi di Provinsialat JMJ Paniki, Mapanget, Manado. Para tamu undangan dihibur dengan berbagai atraksi yang dibawakan pelajar SD St. Theresia; SMP. Pax Christi; dan SMA Rex Mundi Manado. Tak lupa musik kolintang, Tari Ampa Wayer, modern dance, dan line dance juga ikut menghibur.
Kasih Allah
Sr. Justien Tiwow, SJMJ Provinsial JMJ Provinsi Manado mengatakan, sekitar 700 tamu undangan yang diundang. Mereka berasal dari 22 daerah tempat karya JMJ. Terkait perayaan ini juga, delapan uskup yang hadir termasuk di antaranya Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC; Mgr. Joseph Theodorus Suwatan, MSC; Mgr. Petrus Canisius Mandagi (Uskup Agung Merauke), MSC; Mgr. Christiphorus Tri Harsono (Uskup Purwokerto); Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF (Uskup Agung Samarinda); Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX (Uskup Padang); dan Mgr. Petrus Boddeng Timang (Uskup Banjarmasin) serta Uskup Amboina Mgr. Seno Inno Ngutra.
Senada dengan ini, Sr. Monica Suparlan, JMJ, Ketua Panitia Lokal mengatakan sebelum puncak acara, perayaan ini diawali dengan Salve Agung (Vesper Agung) di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Tomohon, Kamis, 29/7/2022.
Adapun tema perayaan ini adalah “Menjadi Saudara”, dengan Sub Tema, “Kongregasi JMJ Dipanggil untuk Membangun Persaudaraan dalam Dunia yang Terluka”. Vesper Agung ini dipimpin Uskup Manado Mgr. Rolly Untu, MSC dengan lagu madah serta pendarasan mazmur dari para Suster JMJ. Hadir juga di tengah Vesper Agung ini Mgr. Tri Harsono.
Perayaan 200 tahun ini dipuncaki dengan Misa kudus. Mgr. Mandagi dalam kotbahnya mengajak para suster agar terus melayani seperti “raksasa”. Para Suster JMJ harus siap diutus kemana saja. Tidak perlu mengeluh, bekerja tanpa kenal lelah, tidak bermalas-malasan dan mudah putus asa.
“Para suster harus siap sedia, pantang mundur, tidak banyak bertanya saat diutus, tetapi ketika diutus harus menjadi raksasa di tempat pelayanan. Harus membawa pengharapan kepada dunia, menyembuhkan orang sakit, melayani mereka yang kecil dan tak berdaya. Dan inilah panggilan dan perutusan Yesus yang dilanjutkan para Suster JMJ,” sebutnya.
Mgr. Mandagi menyebutkan lewat karya-karya pendidikan, kesehatan, dan karya pastoral para suster mengikuti teladan Yesus dan terus melayani tanpa lelah. “Para Suster JMJ menjadi ‘raksasa’ yang menanamkan semangat melayani dan digerakan oleh Roh Kudus. Mereka harus berpikir seluas jagad, mereka harus pergi kemana saja dibutuhkan,” tegasnya.
Pengalaman Dicintai
Perjalanan Kongregasi JMJ hingga hari ini tak lepas dari kesediaan hati untuk melayani yang datang dari ketulusan hati para suster sendiri. Sr. Suze Lases, JMJ yang saat ini bertugas sebagai Dewan Pimpinan Regio Belanda mengatakan, seorang Suster JMJ sejati dia harus tanpa syarat bermisi membawa Kerajaan Allah kepada orang-orang dari budaya lain.
Ia ingat ketika para Suster JMJ melayani di Tanzania, Afrika. Permintaan ke Afrika datang dari Presiden Tanzania, Julius Nyerere. Presiden mengingingkan ada sekolah antar-ras di Mwangza, dan Uskup Mwangza, Mgr. Joseph Blomjous, M.Afr meminta para suster mendirikan RS di Kibara, Pulau Ukerewe. Kemudian hari ia meminta para Suster JMJ berkarya di Geita di bidang pemberdayaan perempuan dan menjadi perawat.
“Dengan bantuan rahmat Tuhan, misi ini berhasil. Di Kibara dan Mwangza para suster berkarya. Di Geita misi juga tercapai dengan pemberdayaan perempuan dan kehadiran suster-suster pribumi yang melayani di seantero Afrika,”cerita Sr. Suze.
Cerita yang sama datang dari Sr. Mary Paterina Sohiyen Ontonye, JMJ dari Ghaba, Afrika Barat yang juga kini tinggal di wilayah Provinsi Manado untuk belajar teologi. Ia bercerita bahwa menjadi suster adalah keinginan terbesarnnya dan dirinya bersyukur telah mengikrarkan kaul sementara sebagai Suster JMJ tahun 2016.
Sebutnya lagi bahwa kehidupan spiritual seorang religius sangat penting baik itu doa dan sharing pengalaman iman sebagai sumber kekuatan. Karena itu ketika diminta belajar teologi dalam bahasa Indonesia, ia sempat takut. Tetapi sebagai misionaris, ia menerima tugas ini sebagai rahmat dari Tuhan.
“Saya hampir menolak tanggung jawab ini. Pasalnya, setelah sebulan belajar bahasa Indonesia, saya hampir tidak bisa mengekspresikan diri. Saya juga tidak pernah berpikir untuk belajar teologi. Tetapi dengan taat saya menerima tugas ini meskipun jauh di dalam diri saya, ada perasaan campur aduk apakah saya mampu menjalankannya,” ujarnya.
Sukacita dan Harapan
Tak kalah menarik pengalaman Sr. Natalia Angela Bella, JMJ dari komunitas JMJ Yogyakarta. Ia mengatakan hanya satu kata memakna perayaan 200 Kongregasi SJMJ yaitu syukur. Ia bersyukur atas penyelenggaraan Tuhan dalam perjalanan panjang kongregasinya. “Waktu belajar sejarah kongregasi di Novisiat, saya mulai menghitung, jika Tuhan berkenan, saya akan sampai pada perayaan 200 tahun ini. Tuhan masih menjawab bahwa saya masih sebagai generasi yang merasakan perayaan ini,” kisahnya.
Ia mengakui bahwa karya Allah begitu luar biasa dalam kongregasinya. Tentu ada jatuh bangun dan kecemasan, ada gembiraan dan harapan, tetapi para suster bisa menjalaninya dalam kekuatan Roh Kudus.
Dalam buku Peraturan-Peraturan Dasar Rohani Pater Mathias Wolff, SJ Bab 1 nomor 13, Pastor Wolff, SJ menulis: Yang percaya kepada Allah dan mempercayakan diri kepada-Nya telah membangun di atas tanah yang kokoh. “Saya bersyukur bahwa kepercayaan seperti ini, telah ditanamkan oleh Pastor Wolff dalam diri Suster SJMJ terbangun dengan kokoh dan tetap berdiri dan menjalankan perutusannya sampai 200 tahun dan seterusnya.”
Hal yang sama disampaikan Sr. Josephine Kewo, JMJ. Ia merasa dirinya beruntung karena perayaan yang terjadi 29 Juli 1822 kini bisa dirasakan dirinya sebagai suster muda. Dirinya membayangkan sebuah kongregasi dipimpin oleh suster-suster kaul sementara, tetapi nyatanya itu terjadi dalam sejarah JMJ. “Ini amazing dan tentu lebih mengagumkan pada saat-saat genting tahun 1840 yaitu memilih berpisah dari para Suster SPM, para suster mampu membuat keputusan penting bagi perjalanan kongregasi kami.”
Sebagai generasi penerus kongregasi, Sr. Josephine menegaskan bahwa dirinya bersama para suster muda lainnya harus memiliki kekuatan hidup rohani, memiliki prinsip hidup, dan daya juang yang tinggi. “Jika kita hanya memiliki mentalitas lemah, kita salah pilih bergabung dalam kongregasi yang mewarisi semangat bekerja bagai raksasa. Kami harus siap sedia menerima setiap perutusan dengan iman yang kokoh, tetap berkomitmen menjadi suster-suster SJMJ yang sejati,” kata suster yang kini berkarya di Kupang, NTT.
Sr. Jeannette Tumuju, JMJ dari Komunitas St. Joseph Manado juga memiliki cerita menarik. Dirinya bergabung dengan Suster JMJ tahun 1988. Setelah 10 tahun masuk JMJ, ia mengalami pergulatan batin yang cukup besar sehingga berpikir untuk meninggalkan biara. “Saya akhirnya memutuskan mengundurkan diri dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Pineleng, Manado,”ceritanya.
Saat lulus dirinya bekerja sebagai guru honoror, dan kemudian diangkat PNS dan ditempatkan di Sekolah Negeri Kepuluan Sangihe, Talaud lalu pindah ke SMAN 1 Manado. “Dalam petualangan itu batin saya terusik hingga menulis surat ke Pemimpin Umum di Belanda agar diberi kesempatan kedua. Puji Tuhan saya diterima dan berproses hingga tahun 2013 saya merayakan Pesta Perak sebagai Suster,” sebut anggota Komunitas St. Joseph Manado ini.
Merayakan 200 tahun Sr. Jeannette mereflesikan merasakan mengapa Pastor Wolff meminta para Suster JMJ melakukan kehendak Allah. Berangkat dari pengalamannya, mengikuti kehendak sendiri akan membuat hidup jauh dari Allah dan pada akhirnya kembali pada rancangan Allah.
Yustinus Hendro Wuarmanuk/Laporan Lexi Kalesaran (Manado)
HIDUP, Edisi, No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Agustus 2022