HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 7 Agustus 2022 Minggu Biasa XIX Keb18:6-9; Mzm. 33:1,12,18-19,20,22; Ibr. 11:1-2,8-19 (panjang) atau Ibr. 11:1-2,8-12 (singkat); Luk.12:32-48 (panjang) atau Luk12:32-40 (singkat).
“APA artinya melayani Allah dan melakukan kehendak-Nya? Tidak ada yang lain daripada menunjukkan belas kasihan kepada sesama kita. Karena sesama kita itulah yang membutuhkan pelayanan kita; Allah di surga tidak membutuhkannya.” Perkataan Martin Luther, salah satu reformator Protestan ini, cukup menggoncangkan, tetapi masuk akal juga. Sebab, sebagaimana Allah melayani ciptaan-Nya dengan terus mencipta dan memeliharanya, demikian juga manusia sebagai gambar dan rupa Allah, perlu melayani sesamanya dengan sepenuh hati.
Tugas manusia sejatinya memang menjadi pelayan atau hamba bagi sesamanya. Lantas, bagaimana menjadi hamba yang baik bagi sesamanya? Yesus mengajarkannya dalam sebuah perumpamaan dalam Injil Lukas (Luk.12:32-48).
Yesus menjelaskan tentang dua tipe hamba, yaitu hamba yang baik dan hamba yang jahat. Karakter hamba yang baik adalah selalu berjaga-jaga dan setia. Karakter hamba yang jahat adalah kebalikannya. Tentang hamba yang selalu berjaga-jaga? Yesus menjelaskan dalam sebuah kiasan: “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.”
Pinggang yang tetap terikat melambangkan sikap siap untuk bertindak melayani tuannya. Sama halnya, pelita yang tetap bernyala juga menandakan kesiapsiagaan. Sebab, seorang hamba harus memiliki cadangan minyak supaya api tidak pernah padam. Mengenai tipikal hamba yang setia, Yesus menyatakan demikian, “Berbahagialah hamba yang didapati tuannya sedang melakukan tugasnya ketika tuan itu datang.” Hamba yang setia adalah hamba yang tetap menjalankan pekerjaannya, entah itu diawasi atau tidak.
Berbeda dengan hamba yang baik, hamba yang jahat suka menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan oleh tuannya demi kesenangan dan kepentingannya sendiri. Injil Lukas melukiskan penyalanggunaan kekuasaan ini dengan tindakan seperti: memukuli hamba-hamba bawahannya baik laki-laki maupun perempuan, makan minum serta mabuk (berpesta pora dari harta tuannya). Hamba ini merasa diri berkuasa karena majikannya sedang tidak tidak berada di tempat dan tidak mengawasinya. Namun, cepat atau lambat, tindakan hamba ini tetap akan berujung pada hukuman sebagai konsekuensinya.
Dalam pengajaran ini, Yesus menyinggung sekilas tentang kedatangan Anak Manusia secara tiba-tiba. Ia mengajak para pengikut-Nya untuk bersikap seperti hamba yang baik supaya tidak terkejut saat Anak Manusia datang kedua kalinya. Memang, saat kedatangan ini sampai sekarang masih terselubungi kabut misteri.
Apakah kedatangan Anak Manusia dapat dihubungkan dengan kematian kita? Bisa jadi, meskipun kematian pun tetap sebuah misteri bagi kita. Hanya Allah Bapa yang tahu. Karena itu, pengikut Kristus tidak perlu terlalu sibuk untuk menerka-nerka hari tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana mengisi hidup sekarang dan di sini dengan tepat, benar dan bermanfaat. Salah satunya adalah dengan melayani sesama dengan setia dan penuh bakti.
Sebagai manusia, sejatinya kita adalah hamba dari Sang Pencipta, yang harus memberikan hasil kerja kita yang terbaik bagi Sang Pemberi Kehidupan. Allah telah meminjamkan kepada kita masing-masing, bakat, harta, kesehatan, dan tanggung jawab yang berbeda.
Tugas seorang hamba adalah memanfaatkan dan mengelola pinjaman Tuhan ini. Allah meminjamkan otak, tangan, dan kaki untuk bekerja demi bertahan hidup dan menolong sesama yang membutuhkan, gunakanlah itu. Malas untuk menggerakkan otak, tangan, dan kaki adalah akar munculnya hamba yang tidak setia.
Entah melalui pemungutan suara atau penunjukan dari atasan, Allah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada kita untuk menjadi pemimpin dalam level apapun. Jika kepercayaan ini disalahgunakan untuk kepentingan sendiri, seperti korupsi dan menindas orang, ia adalah hamba yang jahat. Kata-kata Yesus ini, “Barang siapa diberi banyak, banyak pula yang dituntut daripadanya” penting untuk dijadikan rambu-rambu untuk bersikap benar dalam hidup.
Tugas sejati pengikut Kristus itu sederhana tetapi tidak mudah dilaksanakan, yaitu memadamkan sikap egois dan menumbuhkan rasa welas asih kepada sesama, dengan menjadi hamba yang berjaga-jaga dan setia.
“Allah meminjamkan otak, tangan, dan kaki untuk bekerja demi bertahan hidup dan menolong sesama yang membutuhkan.”
HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-76, Minggu, 7 Agustus 2022