HIDUPKATOLIK.COM – MENJEMPUT sekolah anak-anak selama seminggu ini menjadi tugasku karena istriku ke Semarang. Bukan karena tugas dari kantornya, tetapi ia mengambil cuti untuk bisa menemani Eyang Noto, papinya yang gerah sepuh. Bhre dan Btari berbeda sekolah dan berbeda arah sehingga aku harus izin dari kantor pulang lebih awal untuk ke Jalan Sekayu dulu lalu ke Jalan Raden Saleh. Jangan sampai lebih lama begini ini, bisa-bisa aku ditegur boss karena terlalu sering pulang awal, batinku.
Bhre baru saja masuk mobil dan kami bergerak menuju Raden Saleh menjemput Btari. Tiba-tiba ada telepon masuk.
“Dari mama kali, Pa,”duga Bhre.
Benar dugaan Bhre. Istriku yang telepon. Begitu kuangkat, tangisnya pecah. Dalam isak yang tak keruan, ia mengabarkan papinya berpulang. Seketika Bhre menangis. Cucu lelaki pertama ini memang dekat dengan eyangnya. Ia panik dan menyuruhku segera menjemput kakaknya lalu berangkat ke Semarang sesegera mungkin.
“Cepat, Pa. Aku mau segera sampai Semarang, mau lihat Eyang,”buru Btari.
Jalanan memang agak tersendat. Biasa, jam pulang kantor, jalanan di Jakarta selalu seperti ini. Sebentar-sebentar Sekar menelepon memastikan kondisi anak-anak, menanyakan membawa berapa baju, apakah sudah menitipkan Canis, anjing pudel kami di de’Cruise Pet Center, baru melaju ke tol arah Semarang.
“Pa, kalau liburan kita ke Semarang lagi sudah tidak ada Eyang lagi, gimana ya rasanya? Pasti nggak enak nggak ada Eyang,” kata Bhre.
“Iya, tidak ada cerita wayang lagi. Tidak ada jalan-jalan ke kebun teh di Tambi,” keluh Btari.
Aku tidak terusik oleh keterburu-buruan dan emosi anak-anak. Bagiku, meninggalnya eyangnya anak-anak tidak cukup membuatku merasa harus memiliki kesedihan yang sama. Mertua lelakiku itu sudah berusia lanjut dan empat tahun belakangan ini sakitnya kambuh-kambuhan. Setahun terakhir ini, Sekar mondar-mandir Jakarta-Semarang untuk menemani papinya yang keluar masuk rumah sakit.
Kami masih merayap di Karawang karena ada truk trailer terguling di bahu jalan. Anganku tiba-tiba ke belasan tahun silam ketika mengenal Sekar. Gadis cerdas dan berpikiran terbuka itu membuatku terpesona. Beruntung, aku tidak bertepuk sebelah tangan. Sekar tidak canggung berkawan denganku, pemuda lereng Gunung Merapi yang bau harum rumput gajah dan kotoran sapi. Ketika aku berkesempatan ke rumah Sekar yang berbentuk pendopo lengkap dengan pringgitan dan gandoknya, aku terasa mengecil. Rumah bangsawan yang sepi dan adem ini pernah kulihat dalam bentuk gambar sebagai background di pentas-pentas ketoprak. Kunjungan pertama itu sekaligus membuatku berkesimpulan Eyang Noto tidak sepenuhnya lega aku berpacaran dengan putrinya. Maka ketika kedua orang tuaku datang berkenalan sebagai calon besan, meskipun aku telah berusaha keras agar suasana pertemuan ringan dan cair, tetap saja ada kekakuan di antara mereka. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa tidak menikah dengan Sekar sehingga menjadikan keluargaku sebagai orang asing di hadapan orang tuanya.
Libur sekolah menjadikan anak-anak memilih rumah Semarang sebagai prioritas dan ke rumahku di Sleman sebagai pilihan terpaksa. Sekar perlu membujuk anak-anak agar liburan juga perlu dihabiskan ke Sleman karena akan banyak pengalaman di desa tanpa harus ikut program sekolah alam. Keadaan yang sangat berbeda direspons berbeda pula oleh anak-anak. Mereka menolak minum air yang direbus simbahnya. Bau, katanya. Air bersih hasil ibu mengangsu di tuk dekat rumah itu direbus dalam dandang tembaga. Air minumnya memang jadi beraroma kayu bakar. Meskipun bagiku air minum itu terasa enak dan segar, bagi Bhre dan Btari justru sebaliknya. Sekar sampai tidak enak hati dengan ibuku gara-gara ulah anak-anak.
“Pergilah ke kota kecamatan. Beli air mineral untuk anak-anakmu. Kasihan mereka, di rumah simbahnya tidak ada air minum yang sehat,”kata ibuku.
Dengan segan aku melangkah pergi untuk membelinya sekadar meredam suara anak-anakku yang terus merajuk. Di perjalanan, kata-kata ibuku waktu aku hendak menikah kembali terngiang.
“Ibu sebenarnya senang punya menantu Jeng Sekar. Dia gadis yang cerdas, terampil, cekatan, namun tetap anggun dan luwes sebagai perempuan Jawa. Pikirannya maju dan menerimamu apa adanya. Punya menantu dia tidak pernah Ibu impikan. Tidak berani, tepatnya, karena kita wong ndeso. Hanya ketegaranmu dan ketulusan Jeng Sekar yang membuat Ibu tidak bisa menggeleng atas niat kalian menikah,” kata Ibu.
Belajar menjadi keluarga Sekar membuatku canggung. Tampaknya lebih mudah Sekar yang menyesuaikan dirinya dalam keluargaku. Aku masih juga belum bisa memahami ketika anak cucu Eyang Noto harus mendapat nasi berikut sayur dan lauk sisa dari piring keramik putihnya yang lebar dan berat bermotif bunga-bunga warna biru meliuk-liuk. Konon, setiap kali bersantap, Eyang selalu sengaja menyisihkan makan di piringnya.
“Biar kalian semua juga menerima rezeki dan berkat,” kata Eyang Noto ringan.
Menerima nasi benyek sayur dan remah lauk masing-masing dua sendok membuatku sedikit mengerutkan dahi tetapi anak-anak dan Sekar lega hati dan malah berebut berkat itu. Dari ujung mataku aku melihat gerakan sendok makan menggeserkan nasi benyek dari piringnya ke piring anak-anak. Sendoknya sedikit lebih besar dari sendok di rumahku, lebih halus berkilau, lebih berat, dan lebih panjang
“Kak, aku lapar,” keluh Bhre.
“Ah, kalau mampir makan, nanti kelamaan tiba di Semarang. Kasihan Eyang,” sergah Bhtari.
Sampai dekat rest area, aku tidak tahan melihat lesunya Bhre. Kuputuskan untuk berhenti sebentar agar anak-anak sempat makan. Lagipula aku harus meluruskan punggung sebentar sebelum kembali mengemudi. Kuharap 3 jam lagi tiba.
“Kita makan dulu. Daripada nanti tiba di rumah Eyang tapi kalian masuk angin karena belum makan,” kataku.
Bhre memilih burger dan Btari sama pilihannya denganku, donat. Keduanya makan makanan pilihannya lebih cepat dari biasanya. Secangkir cappucino terhidang di hadapanku. Setiap teguknya membawa kehangatan.
Sekar kembali menelepon. Ia melaporkan keadaan terakhir. Jenazah Eyang Noto sudah ganteng di dalam peti yang mungkin seharga sepeda brompton chpt3. Akan ada 4 pastor yang berkonselebrasi dalam misa requiem nanti. Peran dan keterlibatannya dalam Gereja memungkinkannya mendapat layanan istimewa itu, tampaknya. Ah, aku jadi teringat ketika Bapakku meninggal. Di paroki pelosok itu hanya satu pastor dan biasanya sibuk sehingga pemakaman guru SD swasta Katolik itu dipimpin prodiakon. Beda dengan Eyang Noto. Mertuaku itu mampu membuat uskup di keuskupan tetangga, datang dan memimpin misa konselebrasi hanya dari satu kali telepon Mas Adi, kakak Sekar.
Melewati gapura besar di jalan raya bertuliskan: Selamat Datang di Jawa Tengah, membuat Bhre dan Btari antusias. Suasana yang cukup senyap di mobil tadi kembali riuh dengan suara-suara mereka yang tidak sabar ingin segera tiba.
“Hampir kan, Pa?” tanya Btari.
“Iya, Kak. Mangkang ini,” kataku.
Malam ini kupandangi wajah Eyang Noto. Rupawan, dengan garis-garis wajah aristokrat. Kekerasan hatinya dan keinginannya tetap mempertahankan adat darah biru tampak pada wajah itu.
“Kamu datang juga ya,” kata wajah itu.
“Ya, Rama. Saya berduka, Rama meninggalkan kami semua,” kataku dalam bisik.
“Kita sama-sama tahu, masih ada sela lebar di antara kita. Tetapi marilah kita berdamai. Bukan terutama demi jalanku, tetapi demi kenyamanan hatimu. Jangan sampai ada ganjalan tentang relasi kita,” katanya.
“Inggih, Rama. Saya datang lebih karena ingin kita berdamai. Semoga kita telah sama-sama melembutkan hati,” bisikku.
Kupandangi wajah dan tubuhnya dengan kasih seorang anak terhadap ayahnya. Wajah yang pucat kaku itu tampak lebih landai pada menit-menit berikutnya. Aku membisikkan terima kasih di telinganya. Perlahan kubentangkan kembali kain tile putih yang menjuntai di petinya. Wajahnya menjadi lebih samar-samar di balik tile. Aku bergerak menjauh dan bergabung dengan para pendaras rosario yang kebanyakan ibu-ibu.
Oleh Lidwina Ika
HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli 2022