web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Romo Tanto: Guru dan Sahabat

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN 1957 saya tertarik untuk memilih di Seminari Mertoyudan: aktif di pertanian, pertukangan, penulisan atau  musik. Saya memilih dua terakhir: sampai kini. Tanto, yang kemudian menjadi Romo Antonius Soetanta, SJ menjadi guru saya. Saya didorong masuk vokal dan violin. Gurunya violin adalah seminaris Soetanto. Mengesankan dan menyenangkan, karena adiknya, yaitu Susilo (nama lengkap) adalah teman seminaris sekelasku. Mas Tanto mengerti ilmu musik; praksis musik lengkap. Ia mampu violin, piano, organ, beberapa alat lain. Bila P. Smit van Waesberghe, SJ atau kemudian Romo Martodihardjo, SJ berhalangan, Tanto dirigen.

Saya mengaguminya, ketika ia melatih kami untuk Musik Donau yang agung itu. Kemudian ia masuk Serikat Jesus dan kemudian bersama saya studi di Eropa. Ia belajar musik di Nederland dan sesekali masuk/main di ruang musik ‘seni’ di Nederland.

Saya mengaguminya, setiap kali bercerita, bagaimana ia berlatih dan belajar mengenai ilmu musikologi dengan rekan-rekannya orang Belanda dan Belgia. Ketika pulang ke Indonesia, ia melanjutkan bakat musiknya dan menggubah banyak lagu liturgi serta melatih paduan suara untuk liturgi.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Karena ahli, maka ia juga mengajar di sekolah calon pendeta dan terkenal dalam hal musik.     Kalau di Mertoyudan ia lima tahun di atas saya, maka sejak 1986 menjadi rekan pelayanan pastoral dan sering merundingkan kebijakan musik-liturgi di Jakarta dan Indonesia.

Ia amat menginginkan lahirnya penyanyi dan paduan suara liturgis, yang tidak hanya mampu menyanyi, tetapi juga mahir main musik. Itulah sebabnya ia mendidik banyak pemusik gerejawi.

Paduan Suara Ascensio usai melayani Misa bersama Romo Antonius Soetanta SJ (kanan depan/pakai batik duduk)

Karena mempunyai minat serupa, maka Tanto sering mengajak berunding: dia dari segi musik dan saya dari segi teologis. Dalam perundingan sering kali muncul harapan Tanto, bahwa ada banyak orang (awam/klerus) yang menjadi pelaku pembaruan musik liturgi.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Dalam hal itu, kami amat menyadari, bahwa keanekaan budaya, mempengaruhi baik langgam maupun pengkalimatan musik liturgis. Itulah sebabnya, mengapa Tanto sering kali memilih lebih baik segera ‘menjalankan penyanyian dan penciptaan musik liturgis’.

Dia menginginkan pola Nederland, tempatnya studi-musik, yang mendekatkan liturgi dan pelayanan pastoral. ‘Ascensio’, paduan suara yang dilahirkannya, bukan hanya untuk mendidik anak-anak mahir ber-musik-liturgi-ria, tetapi juga untuk membangun jiwa liturgis dalam hidup menggereja. Tanjung Priok, Cililitan, dan Kampung Sawah maupun Jalan Proklamasi merupakan tempat-tempat yang menyaksikan pelayanan ganda Tanto: musik dan liturgi.

Melalui liturgi dan musik, Tanto membangun persahabatan dengan banyak pemusik dan pencinta liturgi; bahkan sampai ke ranah pelayanan pastoral. Ia mendidik anak-anak untuk memiliki suasana bersahabat, dengan Tuhan Yesus, yang menyambutnya sebagai sahabat (Yoh 15:15), khususnya sebagai saudaranya Ignatius dari Loyola.

Oleh sebab itu ia merupakan sahabat, yang mengulurkan tangan ke banyak arena, Katolik maupun lintas agama. Dengan cara itu, Tanto adalah pelaksana eukumene yang berharga. Demikianlah, ia juga menjalin dialog dengan orang dari Gereja dan agama lain: ya melalui kesukaan dan keahliannya dalam hal musik dan ibadah.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi mau mendidik para calon pendeta melalui musik. Romo Soetanto memperoleh kedudukan terpandang di antara para dosen mereka. Di sana persaudaraan tumbuh dan dikembangkannya: tidak kalah dibandingkan daripada di Keuskupan Agung Jakarta. Yang mengagumkan, adalah bahwa juga ketika tubuhnya sudah lemah, ia tetap rajin dan setia membimbing anak-buahnya.

Sekarang kita masih dapat menyapanya: Tanto, terima kasih untuk sumbangsihmu. Salamku buat almarhum Susilo, adikmu, yang pernah dekat semeja dengan saya di kelas selama di Mertoyudan.

Romo B. S. Mardiatmadja, SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta

HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles