HIDUPKATOLIK.COM – LAUTAN masyarakat Kepulauan Kei menyambut kedatangan Uskup Amboina yang baru, Mgr. Seno Inno Ngutra di tanah kelahirannya. Kedatangan Uskup Seno di Bumi Larvul Ngabal didampingi sejumlah tokoh agama, di antaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, H. Abdullah Latuapo, Sekretarus Umum Sinode GPM Maluku, Pendeta I.S. Sapulette dan Ketua Budha Provinsi Maluku (Walubi), Wilhelmus Jauwerissa.
Kedatangan Uskup yang baru ditahbiskan bukan hanya disambut umat Katolik tapi juga umat Protestan, Muslim, Hindu, dan Buddha. Sambutan yang dilakukan masyarakat Maluku Tenggara (Malra) tanpa pandang agama tersebut menggambarkan kuatnya toleransi umat beragama di Maluku. Apalagi kedatangan Mgr. Seno bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1443 Hijriah.
Tiba di bandara Karel Sadsuitubun, Ibra Langgur, Mgr. Seno dan rombongan disambut ribuan massa serta dikawal GP Ansor Malra dan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM). Tak ketinggalan para raja di Kepulauan Kei menyambut kedatangannya dengan prosesi adat yang dilanjutkan dengan tarian adat yang dibawakan oleh siswa-siswa dari STM Siwa Lima Langgur, SMK Pariwisata, dan SMA Saka Langgur.
Usai diterima dengan proses adat, dari bandara, Mgr. Seno dikawal aparat keamanan, GP Ansor, AMGPM serta diiringi oleh umat Katolik menuju Unio Projo Langgur.
Berjalan Bersama
Melihat penjemputan demikian, Ketua MUI Maluku Abdullah mengatakan, Mgr. Seno bukan saja milik orang Katolik tetapi milik semua kalangan masyarakat. Ia diterima bukan karena berasal dari Kepulauan Kei, tetapi karena ada sesuatu yang tumbuh dalam hati masyarakat bahwa dia adalah saudara dalam kemanusiaan.
“Sebagai pimpinan umat Muslim, kami merasakan bahwa Mgr. Seno bukan milik orang Katolik saja. Umat Muslim akan sakit hati kalau umat Katolik menganggap Mgr. Seno hanya untuk mereka. Dia adalah saudara kami, pemimpin dan pengajar keutamaan hidup kepada kami. Secara fungsionaris dan jabatan tahbisannya, dia uskup bagi umat Katolik, tetapi secara kemanusiaan, dia adalah saudara kami,” ujar Latuapo.
Itulah kenapa, sebutnya lagi, setiap kali kunjungan kanonik setelah penahbisannya, Mgr. Seno mengharapkan semua tokoh agama harus menemaninya dalam kunjungan itu. “Mgr. Seno ingin menyampaikan satu pesan bahwa jika tokoh agama itu kuat dan mau berjalan bersama, maka tidak ada alasan untuk umat beriman bertengkar,” ujarnya.
Sejak terpilih sebagai uskup oleh Paus Fransiskus, Mgr. Seno tidak saja berbicara soal iman kekatolikan tetapi selalu mengajak umat menjadi duta damai. Menurutnya, persaudaraan yang kuat harus terwujud dalam setiap kegiatan agar menjadi cerita indah tentang toleransi bagi anak cucu ke depannya.
Soal ini, ada banyak kisah toleransi di Kepulauan Kei. Saat pengecoran gedung Gereja St. Kornelis Stasi Yamtimur, Paroki Hollat, Kei Besar, masyarakat dari 31 desa di Kei Besar yang berasal dari agama Katolik, Protestan, dan Islam baik dari Desa Reyamru sampai Desa Soin, termasuk Ohoilim dan Wulurat turun tangan untuk membantu pengerjaannya. Begitu sebaliknya ketika pengecoran Masjid Al Umrawi Wakatran, Elat, Kei Besar, atau juga pengecoran Masjid Nurul Huda di Desa Karkarit, Kei Besar. Masyarakat dari lintas agama turun tangan membantu pengerjaan masjid itu hingga selesai.
Wakil Ketua DPRD Maluku Tenggara, Bosco Rahawarin menjelaskan, cerita toleransi di Malra bukan cerita fiksi tetapi cerita yang benar-benar dialami masyarakat. Ia memberi contoh di Desa Ngadi dengan jumlah seribu jiwa, dihuni dua agama yaitu Islam dan Kristen. Meski berbeda keyakinan toleransi di Ngadi terjalin baik. Masjid An’nashar yang sudah berdiri 26 tahun berhasil dibangun kembali karena gotong royong umat beragama. “Selama ini semua berjalan dengan saling menghormati dan menghargai. Saling memberi dukungan misalnya dalam perayaan hari besar keagamaan, dan sebagainya,” paparnya.
Miniatur Toleransi
Berbicara soal toleransi, Kepulauan Kei tak habis cerita. Beberapa waktu lalu, Gubernur Maluku, Murad Ismail meresmikan tiga unit miniatur rumah ibadah yaitu masjid, gereja Protestan, dan gereja Katolik. Peresmian tiga rumah ibadah itu berlangsung di lapangan Lodar El, Kecamatan Dullah Selatan, Maluku Tenggara. Hadir dalam acara ini Wakil Wali Kota Tual, Usman Tamnge, dan Forkopimda Kota Tual juga Kabupaten Maluku Tenggara, serta para tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat Kota Tual.
Usman Tamnge dalam sambutan menjelaskan bahwa miniatur ini haruslah diwujudkan dengan sikap dan tindakan sehari-hari dan bukan hanya menjadi slogan semata. “Miniatur ini juga harus menjadi ikon wisata Kota Tual sekaligus tanda bahwa di tempat ini hidup dan berkembang toleransi antar umat beragama,” sebutnya.
Sementara itu, Murad Ismail menjelaskan pemerintah Provinsi Maluku menyampaikan terima kasih kepada pemerintah dan masyarakat Kota Tual atas tiga miniatur tempat ibadah ini. Ia menyampaikan bahwa dengan adanya miniatur ini, ada momen strategis untuk membangun rasa kebersamaan dan semangat persaudaraan di Maluku.
Ia juga menyebutkan, landasan solidaritas antarumat beragama di Maluku bersandar pada budaya persaudaraan yang kental. Karena itu, hidup dengan rasa aman dan saling menghormati menjadi kekuatan utama di Maluku. “Hal-hal baik dari agama hendaknya digunakan untuk saling menghormati dan menolong sesama. Maluku akan menjadi laboratorium toleransi karena budaya persaudaraan yang kuat,” ungkapnya.
Selain tiga miniatur gedung ibadah, di Kepulauan Kei juga ada Bukit Masbait. Bukit ini menjadi lokasi ziarah, tidak hanya bagi umat Katolik tetapi juga seluruh umat beragama di Malra. Bukit ini terletak di Desa Kelanit, Kei Kecil – sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil dari Kota Langgur.
Leonardus Renyaan, warga Desa Kelanit mengatakan bukit ini sudah ada sejak 1980-an. Ketinggiannya sekitar 300 meter di atas permukaan laut, dan menjadi titik tertinggi di Kepulauan Kei. Di tempat ini umat Katolik selalu mengadakan Jalan Salib karena ada 14 perhentian dari ujung tangga pertama Masbait hingga puncak.
Namun bukan itu yang menarik. Masbait dikelilingi tiga desa dengan mayoritas masyarakat yang berbeda keyakinan. Bukit ini menjadi tempat strategis untuk mengadakan perayaan hari-hari besar. Setiap kali Jumat Agung, umat Katolik mengadakan Jalan Salib. Bila Paskah, umat Protestan mengadakan kebaktian di situ, dan beberapa kali bila Idul Fitri umat Muslim menggunakannya untuk beribadah atau sekadar ziarah.
Bukit ini dikeliling tiga desa Muslim yaitu Desa Letman, Desa Dunwahan, dan Desa Singohoi. Di bawah kaki Masbait ada desa Katolik yaitu Desa Kelanit. Sementara desa Protestan yaitu Desa Ohoidertawun. “Semua perayaan hari besar dirayakan di situ. Dan kami umat Katolik Kelanit selalu terbuka untuk membantu bahkan menyiapkan segala keperluan umat beragama lain yang menggunakannya,” ujar Leo.
Di atas puncak Masbait, sebuah patung Kristus memberkati ditakhtakan. Patung itu diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II kepada masyarakat Kei atas dedikasi merawat toleransi, juga karena Kepulauan Kei memiliki sejarah panjang hadirnya Gereja Katolik di Nusantara.
Dukungan Pemerintah
Soal toleransi ini, Bupati Malra, M. Thaher Hanubun mengatakan sejak 2018 hingga 2021, Pemerintah Kabupaten Malra sudah menggelontorkan dana hingga 58 miliar. Dana itu untuk pembangunan rumah-rumah ibadah di daerah terluar. “Di Malra saya bertugas bersama Wakil Bupati sejak Oktober 2018 hingga saat ini, Pemkab dengan dukungan DPRD telah mengalokasikan 58 miliar bagi pembangunan rumah-rumah ibadah. Serta kegiatan keagamaan di daerah ini,” kata Thaher pada peresmian dan pemberkatan Gedung Gereja Santo Servasius Stasi Sathean, Paroki Faan, Kei Kecil, Januari 2022 lalu.
Mayoritas penduduk Malra yang Katolik, sementara Bupati seorang Muslim, tidak menjadi persoalan bagi pemerintah untuk memperhatikan gedung-gedung gereja atau masjid. Semua dibangun secara merata. Itulah kenapa Thaher mendapat julukan khusus “bapak toleransi Malra”.
Wakil Uskup Kei Kecil, Pastor Eko Reyaan menambahkan Gereja Katolik di Malra sangat bersyukur atas toleransi yang hidup. Menurutnya lewat gedung tempat ibadah secara fisik, orang akan melihat bagaimana toleransi yang kuat tampak di Maluku Tenggara. Tetapi lebih dari itu, kata Pastor Eko, toleransi itu harus dihidupi dalam kehidupan sehari-hari. Lewat perjumpaan antar sesama dan lewat kesadaran menghargai perbedaan.
Dirinya yakin bahwa radikalisme dan intoleransi tidak akan bertahan lama di Malra karena kesadaran yang kuat masyarakat tentang persaudaraan dan nilai-nilai budaya yang mengakar sejak dahulu hingga kini. “Selain itu ada juga kesadaran masyarakat Kei bahwa mereka berasal dari satu ‘rahim’ nenek moyang yang sama,” tuturnya.
Sementara itu, Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC mengakui bahwa pemerintah Provinsi Maluku maupun Pemkab Malra telah banyak menyelesaikan pembangunan rumah ibadah di daerah tersebut.
“Di masa pemerintahan Gubernur sekarang ini luar biasa, banyak rumah ibadah yang selesai dibangun, juga di masa Bupati ini juga luar biasa, banyak Gereja di Kei selesai dibangun,” ungkap Uskup Mandagi.
Ia mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah. Sudah membangun rumah-rumah ibadah, bukan hanya Gereja Katolik tapi juga gedung ibadah yang lain. “Saya pernah mengatakan kepada bupati, jangan cuma memperhatikan Gereja Katolik saja. Harus adil, cinta dan kasih memperhatikan juga masjid dan juga Gereja Protestan serta rumah ibadah lainnya,” tuturnya.
Mgr. Mandagi melanjutkan toleransi yang ada di Kepulauan Kei karena hubungan kekerabatan, hubungan darah, juga karena perkawinan, serta karena hubungan adat atau sebuah peristiwa sejarah. Maka tidak heran meski berbeda agama, mereka tetap saling mendukung.
Yustinus HendroWuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli 2022