HIDUPKATOLIK.COM – Dua diakon dari Tarekat Misionaris Keluarga Kudus (MSF) ditahbisakan menjadi imam pada Selasa, 12/7/2022. Keduanya adalah Benediktus Mbemba Budo Bedi dan Albertus Edwin Nur Istanto. Mereka ditahbiskan oleh Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang dan didampingi Romo Simon Petrus Sumargo, MSF, Romo Provinsial MSF Provinsi Jawa dan Romo Aloysius Yuli Dwianto, MSF, Rektor Skolastikat MSF di Gereja Keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta.
Suasana tahbisan ini agak unik. Kedua diakon berasal dari daerah dan pulau yang berbeda. Benediktus lahir di Maumere, sedangkan Edwin lahir di Yogyakarta. Tidak mengherankan dekorasi altar dihias dengan banyak ornamen dan ditata sedemikian rupa sehingga bernuansa Jawa-Flores.
Benediktus dan Edwin mengambil moto tahbisan “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yohanes 15:4). Moto yang telah dipilih ini berdasarkan pengalaman perjalanan hidup panggilan yang tengah diperjuangkan.
Bagi Benediktus, dasar panggilannya adalah belas kasih Allah. Asal paroki St. Martinus Nangaroro, Nagekeo, Keuskupan Agung Ende (KAE) menegaskan dalam refleksi panggilannya, ia ingin menjadi imam yang berbelas kasih, murah hati, dan siap sedia seperti yang diteladankan Kristus.
Sedangkan bagi Diakon Edwin, hal pantas untuk disyukuri adalah Allah yang memanggil senantiasa mengasihi dan memberikan kekuatan yang melimpah. Asal Paroki St. Petrus dan Paulus Minomartani, Yogyakarta, KAS ini, memiliki gambaran imamat yang hendak diperjuangkan yakni menjadi imam mengandalkan Allah serta mengikat diri pada kekuatan dari-Nya.
Dalam kesempatan ini, Mgr. Rubiyatmoko mengatakan, kehidupan zaman now sangat dinamis dan menuntut ada banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut berdampak pula pada kehidupan menggereja. Seorang pemimpin Gereja perlu menggembalakan umat ke arah yang tepat. “Menjadi seorang imam tidak ringan, banyak tantangan dan konsekuensinya, siapakah kedua diakon memanggulnya?” ujarnya.
Mgr. Rubiyatmoko berpesan “Tidak hanya mewartakan Injil dengan sukacita, tidak hanya merayakan misteri Tuhan dengan sakramental, kesulitan kita adalah tetap menyatukan diri dan bersatu dengan Kristus. Inilah yang menjadi perjuangan kita terus menerus. Rahmat tahbisan bukan untuk diri sendiri tetapi untuk keselamatan manusia”.
Laporan Fr. Filipus Bimo Perbowo, MSF