HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus menganalogikan Gereja sebagai rumah sakit. Rumah sakit, tempat semua orang sakit untuk disembuhkan, baik secara fisik maupun rohani (psikis). Visi besar Pengganti Petrus ini tentu saja tidak mudah diterapkan dalam kepemimpinan penggemblaan baik di tingkat episkopal maupun parokial. Di satu sisi, ranah penggembalaan para pemimpin Gereja adalah pada kehidupan rohani atau iman, sedangkan hal-hal yang terkait dengan kehidupan jasmani berada pada wilayah kepemimpinan para pengambil keputusan (otoritas pemerintah). Namun, Gereja pun, secara esensial dipanggil untuk mengupayakan kehidupan (kesejahteraaan) umatnya. Karena hal itu pula, Gereja melalui institusi atau lembaga sosial-ekonomi ikut hadir, memberdayakan umat melalui banyak kegiatan di akar rumput.
Uskup Manado, Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC tampaknya mencoba untuk mengupakan yang disebut di atas. Hal itu tampak dari tindakan tanggap darurat yang ia lakukan saat pandemi melanda. Ini sekadar contoh. Ia menggerakkan umat untuk menggarap lahan-lahan pertanian yang masih dapat dimasikmalkan. Supaya dalam masa krisis ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini, tidak sampai membuat umatnya terjun bebas ke dalam krisis ekonomi. Baginya, pertanian pun dapat dijadikan ‘altar’ persembahan kepada Allah. Melalui kegiatan ekomi, dalam rajutan kebersamaan alias berjalan bersama umat, atau memberdayakan umat, terutama yang miskin dan terpinggirkan, Allah akan semakin dimuliakan.
Tidak heran, sejak awal kepemimpinan penggembalaannya, Mgr. Rolly langsung menyelenggarakan sinode. Sebuah wadah besar, momen untuk refleksi mendalam untuk melihat, mengevaluasi, dan merencakanan reksa pastoral. Minimal untuk kurun lima tahun. Dan, tahun ini, Mgr. Rolly mengenang atau merayakan lima tahun tahbisan episkolpalnya itu.
Kepemimpinan penggembalaan yang turun ke tengah umat, domba-domba, terutama di pinggiran atau bahasa Mgr. Rolly, umat yang berada di perbatasan terluar wilayah Republik Indonesia di Keuskupan dengan terbentang di tiga propinsi. Untuk itu, ia mendatangi mereka. Merasakan dan melihat keseharian umatnya yang rindu akan sosok gembala yang peduli dan berbela rasa. Ia hadir untuk membawa dan menuntun, menerangi jalan sebagaimana tertuang dalam moto espiksopalnya, “Dalam terang-Mu, kami melihat cahaya.”
Lima tahun masa kepemimpinan penggembalaan tentu saja, bagi seorang uskup baru, di satu sisi belum memadai untuk mengenali medan keuskupannya. Kendati di sisi lain, lima tahun pertama menjadi kesempatan untuk merencanakan arah pastoral pada periode-periode berikutnya. Sinode tak lain adalah berjalan bersama untuk masa yang panjang. Menjaga dan memelihara kesinambungan tongkat penggembalaan dari para uskup pendahulu.
Tantangan yang akan dihadapi kini dan ke depan tidaklah mudah. Barangkali permasalahannya lebih kompleks. Manado sebagai salah satu provinsi yang disebut-sebut sebagai kota tertoleran di Indonesia, tampaknya dapat menjadi ‘modal’ ke depan untuk menghalau benih-benih intolerasi, radikalisme, dan terorisme di Indonesia. Virus-virus berbahaya ini harus diobati agar jangan sempai menyebar dan menjadi ‘penyakit’ bagi yang lain.
HIDUP, Edisi No. 27, Tahun ke-76, Minggu 3 Juli 2022