HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 10 Juli 2022 Minggu Biasa XV Ul.30:10-14; Mzm.69:14, 17, 30-31, 33-34, 36ab, 37 atau Mzm.19:8,9,10,11; Kol.1:15-20; Luk.10:25-37
“BELAS kasih adalah keinginan untuk melihat orang lain terbebas dari penderitaan.” Perkataan Dalai Lama, pemimpin spiritual tertinggi Tibet ini, secara tidak langsung mengungkapkan pesan bahwa belas kasih menjadi dasar terwujudnya kedamaian dan keselamatan. Akan tetapi, jauh sebelum Dalai Lama, Yesus Kristus sebenarnya telah mengajarkan kepada para pengikut-Nya tentang belas kasih sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Salah satu ajaran ini terungkap dengan jelas dalam perumpamaan yang sangat terkenal, yaitu orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37).
Perumpamaan ini bermula dari pertanyaan seorang ahli Taurat kepada Yesus, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Bagi masyarakat Israel kuno, hidup kekal dipahami sebagai kondisi hidup yang tenang dan damai di tanah yang diberikan TUHAN kepada mereka (Im. 18:5; Ul. 4:1, 40; 8:1; 16:20; 30:6, 16-20). Dalam perkembangan selanjutnya, hidup kekal kerap dihubungkan dengan “kehidupan yang akan datang” (setelah kematian). Namun, sejatinya, hidup kekal itu ungkapan lain dari keselamatan.
Dalam tradisi alkitabiah, keselamatan itu bersifat relasional. Artinya, orang mengalami keselamatan jika relasinya selalu harmonis dan tidak kacau, baik terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta, maupun Allah. Karena sifat yang relasional inilah, maka Yesus menyetujui pandangan bahwa jalan untuk mencapai keselamatan adalah kasih. Sebab, kasih itu sifatnya relasional, melibatkan dua belah pihak. Dia pun mengamini kesimpulan ahli Taurat bahwa cara untuk mencapai hidup kekal atau keselamatan adalah dengan mengasihi Allah dan sesama.
Selanjutnya, Yesus mengajarkan secara lebih spesifik mengenai keselamatan yang tercipta dalam relasi dengan orang lain dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Jika membaca lebih teliti perumpamaan ini, maka akan terlihat jelas, apa yang membedakan antara kedua petugas Bait Allah (imam dan Lewi) dan orang Samaria dalam memperlakukan korban perampokan yang sekarat itu adalah belas kasih: “ketika ia (orang Samaria) melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.”
Sejatinya, belas kasih itu adalah kesadaran, perasaan sekaligus perbuatan. Awalnya adalah kesadaran akan penderitaan orang lain. Dari kesadaran ini lahirlah perasaan yang menyatu dengan perasaan orang lain yang sedang menderita. Tetapi, lebih dari sekadar sadar dan merasa, mereka yang berbelas kasih umumnya akan melakukan tindakan untuk menyelamatkan sesamanya yang menderita.
Inilah yang dilakukan oleh orang Samaria itu. Ia merawat luka-luka si korban, membawanya ke tempat penginapan, dan mengeluarkan uang dari tabungannya sendiri untuk membayar biaya pengobatan orang itu sampai sembuh. Belas kasih jelas menuntut pengorbanan juga. Ia tidak pernah berpikir orang di depannya ini musuhnya atau bukan, atau dari bangsa apa. Ia hanya melihat orang di hadapannya sebagai orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Orang Samaria ini tampaknya menerapkan apa yang dalam Injil Matius disebut dengan hukum emas (golden rule). Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka “(Mat. 7:12).
Dalam sebuah khotbah tentang perumpamaan ini, Paus Fransiskus pernah mengatakan: “Imam dan orang Lewi, melihat tapi bersikap masa bodoh; mereka melihat tetapi mereka tidak menawarkan bantuan. Akan tetapi, tidak ada ibadah sejati jika ibadah tersebut tidak diungkapkan dalam pelayanan kepada sesama. Janganlah kita pernah lupa hal ini: di hadapan penderitaan banyak orang yang lelah karena kelaparan, kekerasan, dan ketidakadilan, kita tidak dapat hanya berdiri sebagai penonton.”
Perumpamaan orang Samaria ini akan selalu menantang kita dengan pertanyaan ini: apakah kita sedang menjadi penonton tanpa belas kasih atas penderitaan orang lain di dunia atau sebaliknya mengungkapkan belas kasih dalam perbuatan nyata? Sebagai pengikut Kristus, jawabannya sudah jelas, yaitu mempraktikkan belas kasih. Sebab, belas kasih adalah jalan menuju keselamatan.
Orang Samaria ini tampaknya menerapkan apa yang dalam Injil Matius disebut dengan hukum emas (golden rule).
HIDUP, Edis No. 28, Tahun ke-76, Minggu, 10 Juli2022