HIDUPKTOLIK.COM – Tujuan utama keberadaan Seminari adalah untuk menjawab kebutuhan imam. Para eks Seminari pun perlu dirangkul.
SEMINARI Menengah Santo Paulus Palembang yang telah mencapai usia 75 tahun, sungguh disyukuri oleh Uskup Agung Palembang, Mgr. Yohanes Harun Yuwono. Seminari ini telah menghasilkan banyak alumni, baik yang menjadi imam, maupun yang tidak menjadi imam. Mayoritas alumni yang tidak menjadi imam adalah orang-orang yang peduli pada Gereja, serta menjadi aktivis di tempat masing-masing. Hal ini dilihat Mgr. Harun sebagai cerminan pendidikan yang diperoleh di seminari dulu.
Di masa pandemi, khususnya tahun ini sangat sedikit siswa yang mendaftar di Seminari. Namun hal ini tidak membuat Mgr. Harun pesimis. “Di awal berdirinya Seminari ini, bahkan sempat berpindah-pindah. dalam arti tertentu juga hanya mendidik beberapa orang yang pada akhirnya menjadi imam. Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ pun alumnus Seminari ini, termasuk saya,” tutur Uskup yang mengenyam pendidikan di Seminari ini pada tahun 1980-an.
Mgr. Harun tetap optimis bahwa pada tahun mendatang akan ada peningkatan kembali, karena animo dari kaum muda di paroki-paroki untuk menjadi imam masih sangat tinggi.
Dalam perjalanannya, Seminari ini berjalan seturut visi dan misi Keuskupan Agung Palembang (KAPal). “Kami selalu berkomunikasi dengan para pembina, rektor, dan staf Seminari. Kendati saya baru di sini, namun sudah beberapa kali berbicara untuk mengimplementasikan visi dan misi KAPal yang tentu saja sudah kita miliki, karena visi dan misi yang baru masih akan kita temukan dalam perjalanan sinode yang ketiga ini,” jelasnya.
Mgr. Harun melihat bahwa Seminari pasti mengikuti arah dasar dari pastoral KAPal. Sejak awal Seminari ini didirikan, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Keuskupan akan imam-imamnya. Tidak hanya dikhususkan untuk imam diosesan, namun juga imam Kongregasi SCJ karena pengelolaan Seminari yang dipercayakan pada SCJ. Juga tidak menutup kemungkinan jika para siswa akan melanjutkan menjadi bagian dari kongregasi lain, atau untuk imam diosesan keuskupan lain.
Ia berharap agar para imam tamatan Seminari ini maupun para awam, alumni dan para siswa yang sekarang sedang studi tetap bahu-membahu dalam menghidupi panggilannya dalam gereja. “Mari kita menyatukan langkah dan menghidupi Gereja kita secara sungguh-sungguh sebagai rasul-rasul yang mendapatkan panggilan khusus,” harapnya.
Mgr. Harun menyadari, para alumni tersebar di luar Sumatera, bahkan di seluruh belahan dunia. Dengan adanya internet, para alumni bisa menjalin komunikasi dan membuat jaringan untuk dapat bersilahturahmi dan berbicara mengenai ususlan-usulan bagi perkembangan Seminari ini.
Kepada para siswa, Uskup berpesan untuk tetap tekun dan teguh dalam menjalani panggilan sampai lulus mempunyai ketetapan hati untuk memilih ke mana akan melanjutkan panggilannya. “Semoga panggilan tetap terpelihara dan akhirnya menjadi imam yang baik,” imbuhnya
Uskup mengajak para imam agar tetap menggelorakan pelayanan pada Gereja tempat berkarya masing-masing sambil memberikan keteladanan yang baik bagi kaum muda, khususnya anak laki-laki yang mempunyai kemungkinan untuk terpanggil menjadi imam. Keteladanan ini penting untuk mendorong mereka menjadi penerus dan regenerasi para imam.
Uskup juga berharap agar para orang tua bisa merelakan anaknya yang terpanggil untuk mengenyam pendidikan di Seminari.
Mampu Menjawab Tantangan
Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ mulai mengenyam pendidikan di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang pada tahun 1958. Waktu itu, seminari masih menampung lulusan SD. Bersama dua belas orang temannya, ia berproses kira-kira tujuh tahun lamanya. “Ketika lulus ada enam orang. Yang jadi hanya tiga, saya, Romo Adi Suwarman, SCJ, dan Romo Cipto, SCJ,” jelas Mgr. Sudarso.
Meski banyak alumni yang tidak melanjutkan, Mgr. Sudarso tetap bangga kepada mereka. Menurutnya, pendidikan khas seminari yang mengedepankan kedisiplinan, moral, dan hidup doa rupanya menjadi bekal mujarab untuk para alumni. Ditambah lagi, mereka dibekali ijazah SMA Xaverius 1 Palembang.
“Banyak yang berhasil ketika melanjutkan di tempat lain, karena mereka sudah punya bekal. Kadang-kadang ketika di luar, mereka malah kelihatan lebih mampu daripada ketika di Seminari. Jadi pendidikan seminari, walaupun banyak yang tidak menjadi imam, pengaderannya tetap berguna untuk hidup di masyarakat dan pendidikan selanjutnya,” tuturnya.
Mgr. Sudarso berpesan kepada semua pihak yang terlibat di Seminari, agar selalu menggali apa yang menjadi tantangan dan kebutuhan Gereja di masa depan. Setelah mengetahui tantangan dan kebutuhan, para seminaris harus diarahkan ke situ. “Zaman sekarang banyak sekali pilihan, orang muda harus diarahkan untuk memilih yang baik. Mereka harus disiapkan menuju astra (bintang), yaitu kebutuhan Gereja di masa depan,” katanya.
Per aspera ad astra, melalui jerih payah menuju bintang, bagi Mgr. Sudarso adalah sebuah moto yang harus menggerakan keluarga besar Seminari. Aspera mencakup identifikasi tantangan zaman, sedang astranya adalah kebutuhan Gereja masa depan.
Maria Sylvia/Kristiana Rinawati (Palembang)
HIDUP Edisi No. 26, Tahun ke-76, Minggu, 26 Juni 2022