web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Romo Petrus Sugiarto, SCJ: Era Digital yang Menggerus Seminari

5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Kendati jumlah calon menurun, tapi pembinaan tak pernah dikendorkan. Kualitas tak bisa ditawar.

Pesatnya perkembangan dunia digital memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk panggilan hidup selibat. Ini terjadi di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Betapa tidak, jika lima tahun lalu pihak Seminari mampu menjaring kisaran 70 pemuda. Sedangkan tahun ini, setengah dari itu pun tidak sampai. Penyusutan tidak terjadi langsung dalam setahun, melainkan perlahan tahun demi tahun.

“Dulu kita masih bisa ambil dua kelas untuk kelas 1 SMA. Masing-masing kelas kisaran 22 murid. Berarti setiap tahunnya lebih dari 40 anak yang kita terima, sementara test awal mencapai 70 anak. Untuk tahun ajaran ini, sudah buka test seleksi sampai gelombang ke-3 pun belum mencapai 20 orang yang mendaftar. Jadi menurunnya jauh sekali,” kata Romo Petrus Sugiarto, SCJ, Rektor Seminari Menengah Santo Paulus Palembang.

Romo Petrus Sugiarto, SCJ

Tentang penyebab, Romo Sugiarto menuturkan utamanya karena kemajuan digital. Semakin mudah dan banyaknya informasi yang diakses, membuat minat akan panggilan semakin menurun. Bagi mereka yang masih memilih panggilan hidup demikian, ini pun menjadi tantangan.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

“Kita tidak bisa memisahkan mereka dari dunia digital, dari gadget, dari internet, segala macam itu. Mau tidak mau, pengaruh dunia ke kepribadian mereka juga cukup kuat, sehingga pola pembinaan juga menghadapi tantangan yang lebih besar,” jelas kelahiran Wonogiri, 16 Desember 1972.

Menghadapi kenyataan semacam ini, Romo Sugiarto, para staf, serta formator Seminari terus mengupgrade diri. “Para formator, guru, pembimbing, staf juga harus mengikuti. Setidaknya mengerti keadaan anak yang sedang dalam dunia itu,” katanya.

Para seminaris menggunakan gadget, khususnya handphone dibawah pendampingan. Mereka juga dibatasi jam penggunaan. Selain itu, ada pula arahan tentang penggunaan gadget dalam berselancar di media sosial secara bijaksana.

Menurunnya jumlah panggilan, menurut Romo Sugiarto SCJ, berpengaruh terhadap kualitas panggilan di awal. “Kami tidak punya kesempatan menyeleksi dengan lebih bebas, berhubung dengan terbatasnya calon. Dengan seleksi yang sangat longgar pun kami masih kekurangan calon. Itu berarti kualitas awal tidak se-qualified dulu, seperti 5 tahun lalu, di mana kami bisa menyeleksi dengan lebih leluasa,” tutur imam yang telah berkarya selama 12 tahun di Seminari ini.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Tidak bisa banyak memilih calon yang masuk, tidak membuat para formator berdiam diri. Kendati ‘bahan dasar’ berbeda, kata Romo Sugiarto, namun proses pembinaan harus tetap dimaksimalkan.  “Kami bergerak di situ. Kami tidak mengendorkan tuntutan pembinaan. Kami bantu semaksimal mungkin, agar para calon tetap berkembang, sehingga kualitas lulusannya nanti, tetap dipertahankan dalam kualitas yang baik, yang mencukupi. Kalau memang tidak layak untuk diluluskan, kami memberi rekomendasi bahwa calon ini tidak layak,” kata Romo Sugiarto, yang telah 6 tahun menjadi rektor ini.

Tentang pembinaan formal, selama ini seminaris menempuh pendidikan formal di bawah reksa SMA Xaverius 1 Palembang. Artinya, segala kurikulum mengikuti standar SMA Xaverius 1. Ini berlangsung selama 3 tahun.  “Di tahun keempat, mereka memasuki kelas Retorika. Di sini dikenalkan pelajaran-pelajaran baru, seperti liturgi, Kitab Suci, agama, katekese, logika, Bahasa Latin, Inggris, dan Indonesia masih diperdalam lagi. Kami menyiapkan hal-hal praktis yang diperlukan ke jenjang berikutnya, entah di tahun rohani, maupun di postulat,” kata Romo Sugiarto.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Berhadapan dengan kuantitas panggilan yang semakin sedikit, Romo Sugiarto mengajak semua pihak terus mengenalkan panggilan hidup khusus ini. “Keluarga, bagaimanapun harus menjadi seminari pertama. Orang Katolik harus menjadikan keluarga mereka sebuah seminari, tempat panggilan disemai dan bertumbuh. Sapaan orang-orang berjubah itu juga sangat besar peranannya. Maka para imam, biarawan-biarawati harus bergerak dengan cara itu,” tuturnya.

Kristiana Rinawati (Palembang)

HIDUP, Edisi No. 26, Tahun ke-76, Minggu, 26 Juni 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles