web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Seminari Menengah St. Paulus: Jawaban bagi Kebutuhan Imam Sumbagsel

4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Jalan panjang nan berliku seminari ini kini telah melahirkan uskup, imam, dan para awam yang tangguh.

DALAM lakon pewayangan yang mengisahkan tokoh Gatotkaca, ada sebuah tempat bernama Kawah Candradimuka. Diceritakan bahwa para Dewa merebus Gatotkaca di kawah Candradimuka agar ia memiliki tubuh perkasa, tulang yang keras seperti besi, ototnya kuat seperti kawat, kebal terhadap segala senjata dan dapat terbang tinggi di Kahyangan. Setelah keluar dari Candradimuka, Gatotkaca tampil menjadi sosok ksatria tangguh sakti mandraguna di antara para dewa di Kahyangan. Kisah tentang Gatotkaca pun kini sedang menjadi buah tutur karena cerita super hero ini diangkat dalam film layar lebar berjudul Satria Dewa: Gatotkaca, garapan Hanung Bramantyo.

Seminari Menengah St. Paulus Palembang saat ini.

Seminari Menengah Santo Paulus Palembang merupakan rumah pembinaan bagi para seminaris calon imam milik Keuskupan Agung Palembang (KAPal). Meminjam istilah dalam kisah pewayangan di atas, maka bertahun-tahun sejak berdirinya, seminari ini telah menjadi sebuah kawah Candradimuka, menjadi  tempat pembinaan dasar bagi para orang muda Katolik yang ingin mewujudkan panggilannya menjadi seorang imam. Di tempat ini dalam bingkai 4 S, Sanctitas (Kesucian), Sanitas (Kesehatan), Scientia (Pengetahuan), dan Socialitas (Sosialitas) sebagai pilar utama pembinaan, mereka belajar, menempa diri, memurnikan motivasi, mengolah diri agar memiliki karakter pribadi yang baik, setia dan tangguh dalam menjalani setiap tahapan pembinaan panggilan sebagai calon imam, gembala umat masa depan.

Berawal dari Tanjung Sakti     

Berbicara tentang berdirinya Seminari Menegah St. Paulus Palembang tentu tak bisa lepas dari sejarah awal mula lahirnya iman Katolik di Sumatera bagian Selatan. Kehadiran Gereja Katolik di wilayah ini merupakan karya Tuhan yang nyata melalui seorang misionaris bernama Pastor Joan van Meurs, SJ.

Jesuit kelahiran Amsterdam, Belanda ini, pada tahun 1887 datang ke sebuah desa kecil di kaki Bukit Barisan bernama Tanjung Sakti, di wilayah Pasemah, Ulu Manna, Karesidenan Bengkulu. Sebelum memulai karyanya di Sumatera Selatan, ia telah lebih dahulu berkarya melayani umat di Minahasa, Sulawesi Utara.

Tanjung Sakti berada di wilayah Prefektur Apostolik Sumatera yang berkedudukan di Padang dalam lingkup pelayanan Vikariat Apostolik Batavia. Pada masa awal pelayanannya, Pastor van Meurs didampingi oleh Bruder Vester, SJ. Sejak saat itu silih berganti para imam dan bruder Jesuit datang melayani umat di tempat misi yang baru ini.

Pada tanggal 30 Juni 1911, Vatikan mengeluarkan dekrit tentang pemisahan Prefektur Apostolik Sumatera dari Vikariat Apostolik Batavia dan mengangkat Mgr. Liberatus Cluts, OFMCap menjadi Prefek Apostolik Sumatera yang pertama. Selanjutnya karya pelayanan misi yang telah dirintis Jesuit ini dilanjutkan oleh para imam Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap/Kapusin). Pastor Sigebertus, OFMCap dibantu oleh para suster Kongregasi Belas Kasih hadir melayani umat di Tanjung Sakti. Selanjutnya, pada bulan Agustus 1920 Pastor Mathias Brans, OFMCap datang menggantikan Pastor Sigebertus, OFMCap yang mendapat tugas perutusan baru ke Padang.

Karya misi para imam Kapusin di Tanjung Sakti berlangsung hingga tahun 1923. Hal ini ditandai dengan surat keputusan dari Vatikan pada tanggal 27 Desember 1923 tentang pemisahan wilayah Sumatera Bagian Selatan dari Prefektur Apostolik Sumatera. Prefektur Apostolik Sumatera berubah menjadi Prefektur Apostolik Padang dan wilayah Sumatera Bagian Selatan menjadi Prefektur Apostolik Bengkulu.  Dasar pemilihan nama ini adalah karena Tanjung Sakti yang merupakan pos utama misi terletak di wilayah Karesidenan Bengkulu.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

SCJ Datang

Sejak diputuskan bahwa Sumatera Bagian Selatan menjadi wilayah baru yang terpisah dari Prefektur Apostolik Padang, maka Vatikan mempercayakan karya pelayanan umat di wilayah Prefektur Apostolik Bengkulu kepada Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Misionaris SCJ pertama yang datang ke Indonesia adalah Pastor H.J.D. van Oort, SCJ; Pastor K. van Steekelenburg, SCJ dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ.

Pastor Joannes van der Sangen SCJ

Para misionaris perdana ini memulai karya pelayanan di Tanjung Sakti pada bulan September 1924. Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 1926, Mgr. Harrie L. Smeets, SCJ diangkat menjadi Prefektur Apostolik Bengkulu yang pertama. SCJ melayani lima pos karya misi, yaitu Tanjung Sakti, Palembang, Bengkulu, Tanjung Karang-Teluk Betung, dan Jambi.

Pada tanggal 19 Januari 1927 Mgr. H. L. Smeets, SCJ kembali ke Eropa, oleh karena itu tugas pelayanan sebagai Prefek Apostolik Bengkulu kemudian dilanjutkan oleh Pastor H. van Oort, SCJ.  Pada tanggal 19 Januari 1934, Pastor Henri Martin Mekkelholt, SCJ menjadi Prefek Apostolik ketiga menggantikan Pastor H. van Oort SCJ. Dalam masa kepemimpinannya, pada tanggal 13 Juni 1939 Vatikan berkenan menetapkan Vikariat Apostolik Palembang sebagai pengembangan dari Prefektur Apostolik Bengkulu. Vatikan mengangkat Mgr. H.M. Mekkelholt, SCJ menjadi Vikaris Apostolik yang pertama.

Mgr. Henricus Norbertus Mekkelholt SCJ

Ketika Vikariat yang baru berdiri ini mulai bersiap untuk berbenah Perang Dunia II terjadi dan berkecamuk antara tahun 1939-1945. Situasi ini semakin diperparah dengan penderitaan yang timbul selama masa pendudukan Jepang. Para misionaris Belanda yang berkarya di wilayah Palembang, Jambi, Lahat, Bengkulu, Metro, Teluk Betung dan Pringsewu di Lampung menjadi korban. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp interniran di antaranya kamp Talang Semut dan kamp Puncak Sekuning Palembang, kamp Kepahiang Bengkulu, kamp Lebak Budi dan Durian Payung Lampung, kamp Belalau Lubuk Linggau dan kamp Muntok Bangka. Banyak misionaris yang meninggal dunia selama periode ini.

Di bawah kendali Jepang Gereja Katolik di Indonesia termasuk di Sumatera bagian Selatan mengalami periode kegelapan. Bukan hanya tidak lagi mempunyai gembala, tetapi bangunan gereja pun ditutup. Bangunan-bangunan milik karya misi dialihfungsikan untuk kepentingan tentara Jepang, ada yang dirusak bahkan dibakar. Situasi itu berdampak juga bagi pelayanan umat. Ketiadaan gembala dan situasi ekonomi serta keamanan yang sulit membuat banyak umat akhirnya memilih meninggalkan imannya.

Seminari Lahir

Setelah Perang Dunia II dan masa pendudukan Jepang berakhir, karya pelayanan di Vikariat Apostolik Palembang pun berangsur pulih kembali. Saat itu Vikariat ini melayani umat yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung. Harapan untuk segera memulihkan karya pelayanan itu terkendala dengan kenyataan wilayah yang luas dan jumlah imam yang sangat terbatas.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Selain karena banyak yang meninggal, para imam misionaris juga banyak yang kembali ke kampung halamannya karena alasan kesehatan dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Kondisi ini menginspirasi dan memotivasi Mgr. Mekkelholt dan Pastor van Der Sangen, SCJ sebagai Superior Regio SCJ di Sumatera untuk membuka sebuah seminari yang diharapkan dapat melahirkan imam-imam lokal yang berasal dari daerah misi.

Setelah melalui proses akhirnya pada 24 April 1947 seminari ini berdiri dan diberi nama Seminari Menengah St. Paulus. Karena belum memiliki tempat yang memadai maka pembinaan seminaris dilaksanakan di salah satu bagian bangunan pastoran Hati Kudus Talang Jawa. Seminaris pertama yang menjalani pembinaan di Talang Jawa adalah Petrus Sabirin Darmo Seputro, Marcellinus Suratmo, Sunardi dan Ramelan. Pendampingan para seminaris dilaksanakan oleh para imam SCJ dan Frater Bunda Hati Kudus (BHK) dan dibantu oleh para Suster Charitas yang ikut ambil bagian memenuhi dan memperhatikan kebutuhan konsumsi para seminaris.

Periode Lampung

Pastor Johannes Padmosepoetra, seorang imam diosesan dari Vikariat Apostolik Semarang yang diutus oleh Mgr. A. Soegijapranata untuk membantu pelayanan umat di Vikariat Apostolik Palembang khususnya di wilayah Lampung pada tahun 1947, berinisiatif mendirikan sebuah seminari di Pringsewu. Seminari ini berdiri pada 2 Februari 1948 dengan nama Seminari St. Yosep.

Pada awal berdirinya seminari ini memiliki 8 orang seminaris, mereka adalah A.M. Badroen Effendhie; F.X. Prandjana; St. Sudadi; Petrus Abdullah Hasan; Dionisius Urip; Lukas Wakidi; Petrus Suhadi (Pastor Petrus Abdi Putraraharja, SCJ) dan Andreas Suwijata (Mgr. Andreas Hendri Soesanto, SCJ). Beberapa Suster Denekamp (Kongregasi Suster Fransiskanes dari St. Georgius Martir) membantu Pastor Padmo dalam kegiatan pendampingan para seminaris. Pada tahun 1949, karena alasan keamanan dan politis para pendamping dan seminaris mengungsi ke Padang Bulan dan tinggal di beberapa rumah umat.

Bergabung Menjadi Satu

Pada tahun 1949, Mgr. Hendri Mekkelholt dan Pastor Van Der Sangen, SCJ menganjurkan kepada Pastor Padmo agar proses pendampingan seminaris disatukan di Palembang. Kendati tempat pembinaan seminaris telah menjadi satu, Vikariat Apostolik Palembang belum memiliki bangunan permanen untuk seminari. Oleh karena itu pembinaan masih tetap dilaksanakan di Pastoran Talang Jawa.

Pada tahun 1950 terdapat 10 orang seminaris yang menjalani proses pembinaan. Ada situasi sulit yang terjadi pada periode ini. Para seminaris yang hampir menyelesaikan pendidikan di MULO Xaverius terancam tidak dapat mengikuti ujian kelulusan. Hal ini terjadi karena lembaga ini belum memperoleh izin untuk menyelenggarakan sendiri ujian kelulusan. Karena alasan itu, maka Pastor van Der Sangen  berinisiatif memindahkan para seminaris ke Lahat agar mereka bisa mengikuti ujian akhir di MULO St. Yosep milik Suster CB yang telah diakui pemerintah. Para seminaris berangkat ke Lahat dan tinggal di bekas asrama tentara Belanda (KNIL). Pada 21 Agustus 1950 para seminaris memulai pendidikan dan persiapan ujian yang didampingi oleh para Suster CB.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Setelah menyelesaikan ujian akhir dan masa liburan, para seminaris kemudian kembali ke Palembang dan tinggal di salah satu bagian bangunan Frateran BHK dan didampingi oleh para frater BHK di antaranya adalah Frater Monfort BHK. Tak lama kemudian para seminaris pindah menempati sebuah bangunan di kompleks RS Charitas. Di Palembang mereka meneruskan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) Xaverius dengan tujuan memperoleh ijazah pendidikan yang lebih tinggi.

Kompleks Baru

Pada 7 Mei 1951 Mgr. Mekkelholt membeli sebidang tanah di Jln. Bangau Palembang. Ia mulai membangun gedung seminari berdampingan dengan bangunan SMA Xaverius. Kompleks bangunan seminari yang baru diberkati oleh Mgr. Mekkelholt pada 15 Mei 1953. Selanjutnya pada 24 Juni 1954, Pastor Johannes van Beek SCJ diangkat menjadi rektor menggantikan Pastor Van Der Sangen.  Ia didampingi oleh Pastor MJ. Weusten, SCJ; Pastor Joseph H. Soudant, SCJ; Pastor Boonen, SCJ dan Pastor Piet Middeldorp, SCJ. Sejak saat itu pembinaan para seminaris berlangsung di tempat ini hingga sekarang.

Sejak awal berdirinya hingga saat ini, Uskup Keuskupan Agung Palembang (KAPal) mempercayakan pengelolaan lembaga pembinaan calon imam ini kepada SCJ. Sejak bulan Juli 1994 warna pembinaan seminaris juga diperkaya dengan kehadiran para Suster Kongregasi Suster Fransiskanes dari St. Georgius Martir (FSGM). Sr. M. Lusia, FSGM dan Sr. M. Joanni, FSGM mengawali karya FSGM di tempat ini.

Kehadiran para suster dalam pembinaan diharapkan dapat memberi sentuhan seorang ‘ibu’ sehingga menghadirkan suasana khas yang dapat membantu perkembangan seminaris dalam perjalanan panggilannya menjadi seorang imam. Salah satu pemrakarsa kehadiran para suster FSGM dalam pembinaan di seminari ini adalah Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, yang saat itu menjadi Superior Provinsial SCJ Indonesia. Selain itu, sejak beberapa tahun yang lalu imam diosesan Keuskupan Agung Palembang pun sudah turut ambil bagian dalam pembinaan para seminaris.

Dua Uskup

Kini bangunan di kompleks Bangau 60 telah berdiri dengan dinding tembok yang kokoh, menjadi saksi bisu kisah perjalanan awal para calon imam yang telah menamatkan pendidikannya di tempat ini. Ada ratusan imam alumni seminari ini yang tersebar di banyak keuskupan dan tarekat, dua di antaranya menjadi uskup, yaitu Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ (Uskup Emeritus KAPal) dan Mgr. Yohanes Harun Yuwono (Uskup Agung Palembang).

Mgr. Aloysius Sudarso SCJ

 

 

Mgr. Yohanes Harun Yuwono

Ada pula ratusan alumni awam yang ikut ambil bagian dalam karya pelayanan di tengah Gereja dan masyarakat. Perjalanan panjang candradimuka itu telah dimulai dan akan terus berlanjut dengan segala kisahnya, membina para calon imam yang kelak menjadi imam dan melayani Gereja khususnya di Sumatera bagian Selatan. Per aspera ad astra (Melalui Jerih Payah Menuju Bintang).

RD Titus Jatra Kelana (Palembang)

HIDUP, Edisi No. 26, Tahun ke-76, Minggu, 26 Juni 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles