HIDUPKATOLIK.COM – Romo John Prior adalah seorang teolog penting abad ini di wilayah Asia Pasifik. Pendiri Gereja Centrum Maumere, Paroki Wolofeo dan beberapa gereja paroki lainnya di wilayah Keuskupan Maumere ini adalah pelopor Program Magister Teologi IFTK (STFK) Ledalero. Beliau konon adalah icon program Pasca Sarjana Teologi di Ledalero yg terkenal dengan Teologi Kontekstualnya.
John Mansford Prior sendiri lahir dari pasangan Vincent Thomas Prior dan Kathleen Mary Mansford di Ipswich, Inggris, pada 14 Oktober 1946.
Anak laki-laki kelima dalam keluarga ini menempuh studi Filsafat dan Sosiologi di Donamon Castle, Irlandia (1965-1968), Teologi dan Antropologi Sosial di Missionary Institute London, Inggris (1968-1972), meraih gelar Graduate Diploma in Religius Education dari Universitas Cambridge, Inggris (1973), lalu PhD dalam Teologi Interkultural dari Universitas Birmingham, Inggris (1987).
Pemakalah dalam lebih dari 165 Simposium, Konferensi dan Lokakarya ini pernah menjabat sebagai Pontifical Council for Colture-PCC (Penasihat Dewan Kepausan untuk Kebudayaan) selama 15 tahun (1993-2008).
Adapun PCC ini didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982. Beliau juga mendampingi Musyawarah Umum (Kapitel) beberapa Tarekat Biarawan/wati di kawasan Asia, dan ret-ret bagi Imam, Religius, dan Awam.
Selain menjadi Anggota Dewan Penyunting Asians Horizons (Bangalore, India) sejak 2014 hingga kini dan Anggota Dewan Penyunting Asians Chsristians Studies (Chennai, India) sejak 2016 hingga kini, Pastor dan Biarawan Societas Verbi Divini-Serikat Sabda Allah (SVD) ini juga menjadi Dosen di ST Atma Reksa, Ende (1990-1997), Dosen tamu di Yarra Theological Union Melbourne, Australia (1990-2009), Dosen tamu di STKIP St. Paulus Ruteng (1993), Dosen tamu di STFT Fajar Timur, Abepura (1996), Tamu Akademik di Melbourne Univercity, Australia (1997-2009), Dosen tamu di Catholic Theological Union, Chicago (1998), Asosiat Peneli Monash University, Australia (2007-2009), Peneliti Kehormatan Melbourne University of Divinity, Australia (2011-kini), Dosen tamu Program Pascasarjana Universitas Kristen Maluku (2014), Staf Pengajar dalam Forum Teologi Asia, Manila (2015), dan Staf Pengajar dalam Kursus Pembaruan di EAPI, Manilsa (2020).
John adalah penulis banyak buku, 145 artikel dalam jurnal (44 artikel diterbitkan dalam dua hingga enam bahasa), 79 bab dalam buku bunga rampai (ditambah 28 bab yang pernah terbit sebagai artikel dalam jurnal -total 104 bab dalam bunga rampai), peyunting 47 buku (38 dalam bahasa Indonesia, delapan dalam bahasa Inggris, dan dua dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Masing-masing dari enam buku tersebut terbit dalam dua atau lebih jilid).
Mungkin tidak banyak orang tahu, perjalanan panjang yang pernah ditempuh Pastor/Pater/Romo John Prior SVD ini ke Indonesia.
Penerbangan “marathon” pertama ditempuh Romo John Prior langsung dari London (Inggris) menuju Jakarta. Waktu tahun 1970-an baru ada pesawat Boeing 747 yang bisa membawa ratusan orang penumpang. Romo John mendarat selamat di Jakarta.
Karena tujuan terakhirnya adalah Flores di NTT, maka Romo John Prior SVD lalu meneruskan perjalanan terbangnya dengan pesawat lokal Indonesia. Dari jumbo jet Boeing 747 beralih ke pesawat kecil jenis Fokker F-28. Waktu itu baru ada F-28.
Romo yang adalah ahli sosiologi dari Inggris ini pun berhasil mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali.
Berikutnya adalah terbang dari Bali menuju Maumere, satu-satunya bandara yang eksis di NTT pada era tahun 1970-an. Romo John lalu terbang menaiki ‘adiknya’ Fokker 28, yakni F-27 dengan baling-baling. Bisa dibayangkan, pada waktu itu kondisi pesawatnya seperti apam
Nah, Romo SVD ini pun berhasil mendarat mulus di Bandara Maumere. Perjalanan ternyata masih jauh di depan. Bersama penduduk local, maka Romo John Prior pun harus rela naik ‘bus kayu’. Dalam kosa kata orang Flores waktu itu, yang dimaksudkan ‘bus kayu’ tak lain adalah truk terbuka dimana tempat duduknya berhadap-hadapan dengan papan kayu. Tanpa alas lebih empuk.
Perjalanan dari Maumere menuju kota dimana nanti romo misionaris ini akan ditempatkan ternyata makan waktu berjam-jam. Setelah tiba di kota kecamatan, masih harus jalan kaki melewati alur jalan setapak di perbukitan.
Jadi, ceritanya Romo John yang baru saja datang dari Inggris langsung dari London-Jakarta-Bali-Maumere kali ini harus rela memanggul kopernya sendiri, berjalan mengikuti alur jalan pedesaan di kawasan perbukitan. Beliau terbang marathon dan kini setelah naik ‘busk kayu’ berjam-jam masih harus memanggul kopernya menuju sebuah paroki desa.
Kisah ini menarik karena ingin menggambarkan betapa harus militant-nya seorang pribadi yang bekerja tanpa kenal lelah dan tak mau berfokus pada balas jasa. Ia bekerja demi Tuhan dan Gereja, bukan demi popularitasnya sendiri. Ia berjuang melaksanakan semangat berbelarasa dengan sekitarnya.
Pagi kemarin, 1 Juli di tahun 2022 ini, wajah sang misionaris ini tampak kemerahan. Sepertinya ia barusan mendayung sepeda atau renang di laut. Jantungnya tetap berdebar kuat. Dahinya memerah dengan suhu tubuh yang meningkat.
Namun, sejak seminggu yang lalu, matanya tidak terbuka lagi. Suaranya yang khas telah lama menghilang. Apalagi kesadarannya. Melihat dia di pagi yg cerah ini, rasanya kita sedang berada dalam pertentangan: John berdiri di ambang batas.
Pada tahun 2008, ia menulis sebuah karya penting “Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya.” Pada bagian pengantar dia seolah sedang menarasikan dirinya bahwa “seorang pewarta lintas budaya mesti membuka diri pada tapal-tapal baru …” (Prior, 2008). Senjata John untuk berdiri di tapal baru adalah kasih. Hari-hari ini, kekuatan kasih itu mengendap di dalam tubuh yang lunglai. Ia berbaring di tempat tidur dengan kondisi yang tak berdaya. Yang ada padanya hanya iman dan harapan.
Keyakinannya adalah tetap “berkelana ke dalam keseluruhan kosmos sebagai Penziarahan tanpa sandaran dan sanggaan.” (Ibid, 204). Di biara Simeon itu, John terbaring tanpa sadar. Dia berada tanpa sanggaan yang eksistensial, dan sandarannya pada kekuatan diri, kini menghilang.
Namun, kekuatan iman dan pengalaman kasih telah cukup baginya untuk menerobos batas eksistensial itu agar ia sanggup menuju yang transenden. John… kuat selalu! Kami bersamamu di ambang batas ini.
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It’s not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother’s there expecting me
Father’s waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There’s no break, there’s no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I’m just going home
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Selamat jalan Pater John Prior, SVD sang teladan kesederhanaan yang senantiasa bersedia menjawab pertanyaan sesederhana apapun itu. Masih teringat saat berbincang-bincang di sela-sela kesibukan dan hingar-bingar acara syukuran tahbisan pater Wempi Moän Jawa, di Watublapi pada 15 Oktober 2022. Ketika itu pater mengisahkan tentang peristiwa G30S dalam konteks “Maumere” dan pater mengatakan: “Kalau buku tentang riwayat alm. YAN DJONG sudah di-release di Belanda, saya akan menulis resensinya di salah satu media Indonesia.”
*Terimakasih atas semua pengabdianmu pater untuk kami semua terutama yang berkekurangan dan yang terpinggirkan. Kami ingat pesanmu “untuk selalu mencari jejak Allah dalam setiap langkah hidup kami” melalui perhatian kami kepada kaum miskin dan terpinggirkan. Selamat jalan pater.