HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 03 Juli 2022 Minggu Biasa XIV Yes.66:10-14c; Mzm.66:1-3a, 4-5, 6-7a, 16, 20; Gal.6:14-18; Luk.10:1-12, 17-20 (panjang) atau Luk.10:1-9 (singkat)
SUDAH sangat lazim bahwa di masa kini banyak pemimpin politik mengerahkan “tim sukses” masing-masing untuk meraih perebutan pengaruh dan akhirnya kekuasaan. Perutusan 70 orang murid seperti diceritakan dalam Injil hari ini bukanlah sekadar pengiriman sebuah “tim sukses” dari Yesus. Perutusan itu tidak dimaksudkan untuk mewujudkan proyek perubahan sosial-politik di zaman-Nya. Yesus mengutus mereka mendahului-Nya untuk mewartakan perdamaian ke setiap desa dan kota.
Utusan dengan angka sebanyak 70 orang dibaca oleh banyak penafsir Kitab Suci sebagai angka simbolis untuk mengungkapkan bahwa para utusan dikirim ke semua bangsa, sesuai jumlah suku bangsa di dunia menurut kitab Kejadian 10. Mereka diutus berdua-dua agar kesaksian mereka memenuhi tuntutan Taurat. Keterangan dua saksi akan membuat kesaksian mereka tidak diragukan (Bdk., Ul. 19:15). Agenda kesaksian mereka adalah mewartakan “damai sejahtera” kepada penghuni setiap rumah yang dikunjungi dan mewartakan bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Bdk. Luk. 10: 5).
Untuk menjalankan tugas kesaksian itu para utusan diberi bekal yang tidak bersumber pada diri mereka sendiri. Sebaliknya mereka dilarang membawa hal-hal yang lazim dibawa orang dalam perjalanan jauh. Mereka tidak membawa bekal, pundi-pundi atau kasut (bdk., Luk. 10:4). Kepada Tim itu tidak diberikan “peluru” (baca: uang sogokan) agar mereka dapat membeli suara para konstituen. Perdamaian bukanlah hasil transaksi jual-beli kepentingan dan bukanlah prestasi mereka yang diutus merintis maupun memperjuangkannya.
Bekal mereka adalah jaminan kehadiran Allah sendiri melalui kemampuan untuk menyembuhkan orang-orang sakit dan penyerahan diri pada penyelenggaraan Allah yang akan memenuhi kebutuhan pewarta melalui orang-orang yang ditemui dalam perjalanan (bdk., Luk.10:8). Hal itu memperlihatkan bahwa karya mereka bukanlah hasil dari prestasi mereka tetapi semata karena kemurahan dan rahmat Tuhan yang mengutus mereka.
Indonesia sedang giat-giatnya menggalakkan penghayatan “moderasi beragama” dan dialog antar agama, budaya, dan seni maupun kegiatan serupa, agar terjalin hidup bersama yang toleran dan saling menerima. Diperlukan duta-duta yang mewartakan perdamaian agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tercipta perdamaian. Tetapi sebagaimana terjadi dengan para murid Yesus, jalan menciptakan dan mewartakan perdamaian tidaklah selalu mulus. Tantangan penuh ancaman selalu ada seperti perjalanan “anak domba ke tengah-tengah serigala” (Bdk., Luk.10:3).
Pewarta damai dengan demikian perlu memiliki kualitas yang menyertai perjalanannya. Kualitas itu tidak bergantung pada dirinya tetapi pada salib Yesus Kristus (Bdk., Gal. 6:14) dalam gaya hidup sebagai “ciptaan baru” (Gal. 6:15). Perdamaian yang ingin diciptakan melalui dialog dan moderasi akan kehilangan dasarnya jika tidak diiringi kerendahan hati untuk menerima “kebenaran” yang ditemukan dalam perjumpaan-perjumpaan pewartaan. Perdamaian yang tidak dilandasi nilai-nilai kebenaran akan mendegradasikan dirinya menjadi perdamaian palsu. Ia hanya akan berubah menjadi rangkaian seremoni dan wacana tanpa menjadikan hidup bersama menjadi baru, sebagai pantulan dari identitas diri sebagai “ciptaan baru” oleh penebusan Yesus Kristus.
Perdamaian sering sulit tercipta karena tidak dilandasi keterbukaan untuk menerima kebenaran karena kita sibuk memoles diri dengan perdamaian di tingkat lahiriah dan seremonial. Yesus sangat sadar bahwa pewartaan tentang perdamaian dan nilai-nilai Kerajaan Allah tidak akan diterima semua orang. Maka murid-murid yang diutus dibekali dengan nasihat agar “takaran kebenaran” yang mereka usung dalam pewartaan tidak diturunkan tingkatannya. Artinya, para pewarta tidak bisa bertindak seperti “tim sukses” para penguasa duniawi yang akan memberi iming-iming dan janji-janji palsu asal saja agenda politik atau kepentingan pribadi didukung publik. Yang diharapkan dari para utusan Yesus adalah sikap tegas kendati ditolak. Taruhannya adalah ancaman terhadap hidup sang pewarta dan juga penolakan terhadap Allah sendiri yang penghakimannya diserahkan kepada Allah (Bdk., Luk. 10: 10-12.16).
Sebuah “tim sukses” manusiawi akan diganjar dengan perolehan kekuasaan, jabatan, harta atau penghormatan. Para murid Yesus setelah perutusannya terjebak oleh pemikiran yang sama. Mereka mengukur keberhasilan misinya dengan membanggakan sesuatu yang tanpa disadari bukanlah jasa mereka. Mereka berseru, “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami” (Bdk., Luk. 10:17). Yesus mengingatkan mereka bahwa hasil seperti yang mereka banggakan itu benar adanya tetapi ada yang lebih penting dari hal itu yakni keselamatan yang akan mereka peroleh. Yesus berkata, “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga” (Luk. 10:20).
Para pewarta kristiani di masa kini hendaknya mengikuti pola perutusan para murid Yesus yang bekerja melampaui gaya bekerja “tim sukses” para politisi atau pejabat sosial-politik. Damai sejahtera dan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan para murid Yesus dilakukan dalam sikap ugahari. Panenan berlimpah yang dihasilkan semuanya milik Tuhan. Sang Pewarta hanyalah alat di tangan Tuhan, tetapi namanya tercatat di sorga.
“Yang diharapkan dari para utusan Yesus adalah sikap tegas kendati ditolak. Taruhannya adalah ancaman terhadap hidup sang pewarta dan juga penolakan terhadap Allah sendiri yang penghakimannya diserahkan kepada Allah.”
HIDUP, Edisi No.27, Tahun ke-76, Minggu, 3 Juli 2022