HIDUPKATOLIK.COM – BERDIRINYA Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis, Matris Misericordiae atau Kongregasi Frater Santa Perawan Maria, Bunda Yang Berbelaskasih (CMM) tidak lepas dari sang bapak pendiri yakni Mgr. Joannes Zwijsen.
Ia lahir pada tanggal 28 Agustus 1794, di Kerkdriel, Belanda. Putra pemilik penggilingan ini merupakan seorang pribadi yang penuh semangat dan idealis. Joannes menerima komuni pertama pada usia 11 tahun dan mengikuti pendidikan di Sekolah Latin di Uden, Helmond di biara Norbertin Prancis. Kala itu iman Katolik mengalami penindasan dan penekanan, ia justru memilih ditahbiskan menjadi imam.
Awal Mula Berkarya
Pada tahun 1832, Pastor Zwijsen berkarya di Paroki St. Dionisius ‘t-Heike, Tilburg. Ia dikejutkan dengan situasi kemiskinan, kebutahurufan, dan tidak adanya perhatian dalam bidang rohani bagi kaum muda bersamaan dengan munculnya industri saat itu. Banyak anak mengalami kesulitan mendapatkan pendidikan dan sarana yang terbatas untuk membantu orang sakit, lanjut usia, yatim piatu dan cacat. Ia memahami betapa semua faktor ini saling mempengaruhi dengan mulai mempersiapkan umat guna merespon situasi ini.
Melihat situasi itu, hati Pastor Zwijsen tergerak untuk membantu mereka. Ia mulai mengumpulkan beberapa anak untuk diajari membaca dan berhitung. Selain itu, ia juga mengumpulkan tiga putri untuk mengatur pendidikan bagi anak-anak wanita di parokinya. Dari sinilah terbentuklah sebuah kongregasi religius dalam Gereja Katolik. Inisiatif dari karya-karya ini terutama demi membantu orang miskin dan mendukung mendidikan Katolik. Pastor Zwijsen menyebutnya sebagai “karya karitatif” (liefdewerken) dan “karya belas kasih” (werken van barmhartigheid).
Kemudian ia mendirikan Kongregasi Suster Cinta Kasih (SCMM), kelompok ini berkembang dengan sendirinya dan di luar dugaan mengalami kemajuan. Namun, para suster lama-kelamaan kewalahan membimbing anak-anak terkhususnya yang laki-laki. Dengan adanya pengalaman ini, maka ia terbesit untuk mendirikan Kongregasi Imam dan Frater (CMM).
Pastor Zwijsen ditahbiskan menjadi uskup di Gerra pada tanggal 17 April 1842. Ketika bertugas sudah mulai sebagai uskup, ia mengumpulkan tiga calon yaitu Petrus van der Ven, seorang tukang sepatu, Laurentius Klaassen, seorang penambang, dan Yohanes van Drunen seorang pembuat bir. Tanggal 25 Agustus 1844, para calon diantar ke biara Trapis untuk pendidikan, bimbingan rohani dan menjalani masa novisiat. Peristiwa ini menandai berdirinya Kongregasi Frater Santa Perawan Maria Bunda Yang Berbelaskasih yang diakui secara resmi oleh Paus dengan nama latin Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis, Matris Misericordiae, disingkat menjadi CMM. Kongregasi ini merupakan komunitas religius non imam.
Tahun 1847 Mgr. Zwijsen ditunjuk Roma untuk mewakili Tahta Suci dalam urusan dengan pemerintah Belanda. Sebelas tahun sesudah ditahbiskan menjadi uskup, Mgr. Zwijsen diangkat menjadi Uskup Agung pertama Utrecht yakni pada tahun 1853.
Keprihatinan terhadap kemiskinan, kesenjangan sosial dan terlantarnya pendidikan anak-anak, membuat Bapak Uskup ini tergerak membuka suatu medan baru berbekal kepercayaannya akan Penyelenggaraan Ilahi dan penyertaan Roh Kudus. Ia berkeinginan seperti tercantum dalam nama yang diberikannya pada lembaga itu, untuk memberikan tempat utama pada “Belaskasih” dalam hidup dan karya para frater.
Diundang ke Indonesia
Frater Antonius Kodoatie, CMM, akrab disapa Frater Mantje, sudah 51 tahun hidup membiara di CMM. Ia bergabung di CMM pada tahun 1971 ketika dirinya tinggal di tanah Minahasa.
Frater Mantje menceritakan, Frater CMM pertama kali tiba di Indonesia yaitu di Padang, Sumatera Barat. Para frater bermisi di Indonesia, atas undangan Mgr. Mathias Bram, OFM Cap untuk berkarya di bidang pendidikan.
“Kalau saya lihat sejarah, memang CMM berkecimpung di bidang pendidikan. Kongregasi diidirkan oleh Mgr. Zwijsen untuk taraf hidup umatnya, mengangkat martabat kemanusian dan mewujudkan cita-cita luhur. Di Belanda, frater CMM sering dipanggilnya Frater Guru,” terangnya.
Undangan itu ditanggapi, kemudian dikirim lima orang frater dari Belanda ke Indonesia, yakni Fr. Theodatus, Fr. Severinus, Fr. Hermenigildus, Fr. Caudius dan Fr. Paulus. Mereka tiba di Teluk Bayur tanggal 21 Mei 1923. Tanggal ini dijadikan dijadikan permulaan Frater CMM bermisi di Indonesia yang dimulai di Padang (Sumatra Barat) kemudian mulai berkembang dan pada tahun 1924 melanjutkan karya di Manado dan Tomohon (Sulawesi Utara).
Perkembangan di Sumatera dan Sulawesi
Tanggal 1 Juli 1923 para frater siap mengajar di dua buah Sekolah Rakyat untuk anak-anak Tionghoa (HCS-Hollands Chinese School) dan sekolah anak-anak Eropa (Europese School), kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakyat I dan II. Beberpa tahun kemudian, tepatnya 1 Juli 1928 dibuka sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) untuk pria. Kepala Sekolah saat itu Fr. Nicander de Brouwer. MULO kemudian berkembang menjadi SMP FRATER.
16 bulan kemudian setelah Frater CMM tiba di Teluk Bayur, Mgr. C. Walter Panis, MSC mengundang Frater CMM untuk berkarya di Tomohon dan Manado. Tanggal 4 September 1924 Frater Ernest dan Fr. Radulf Bax tiba di pelabuhan Manado. Lalu, tanggal 11 November 1924 menyusul dua Frater tiba di Manado, yaitu Fr. Chromatius van Belkom dan Fr. Xaverius van de Gevel.
Menurut Frater Mantje Seharusnya mereka ke Tomohon. Namun karena di Manado, Kongregasi MSCt elah memulai dengan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa “Holand Chinese School” (HCS), maka untuk sementara kedua frater diminta untuk menangani sekolah tersebut, bersama anak asrama dengan 15 anak laki-laki. Disinilah para frater berperan baik dalam bidang pendidikan guru SD di Manado, Tomohon dan Balige.
Pada awal perang dunia ke II kota Padang diduduki oleh tentara Jepang. Tanggal 6 April 1942 mulai masa penahanan. Para frater, imam dan suster diinternir oleh tentara Jepang dan dimasukkan dalam kamp. Situasi tersebut mengakibatkan lebih dari 10 frater CMM meninggal dunia di camp Jepang, sebagaian besar di camp yang paling kejam yakni di Manado.
Setelah itu, masa kemerdekaan Indonesia justru membawa semangat baru kepada frater CMM di Indonesia untuk mengembangkan karya khususnya dibidang pendidikan. Pada waktu itu para frater mulai mengelolah beberapa sekolah yang cukup tersohor antara lain; Don Bosco Manado, Don Bosco Padang, Santo Thomas Medan, SMP Frater Makassar, dan persekolahan Katolik di Soposurung Balige.
Pada akhir tahun 1976 Dewan Umum menutup Komunitas Padang. Rumah frater kemudian dihibahkan kepada Mgr. Raimondo Bergamin, SX dan difungsikan menjadi rumah uskup keuskupan Padang. Sebelum Regio Sumatera disatukan dengan Regio Sulawesi menjadi satu provinsi, masih ada 4 komunitas CMM di Sumatera yakni: Komunitas Kristus Raja Medan didirikan 1 Juli 1927, Komunitas Perawan dari Fatima didirikan 31 Agustus 1950, Komunitas Frater Andreas Gunung Sitoli didirikan 6 Januari 1968 & Komunitas St. Vincentius, didirikan 6 Juli 1984.
Frater Pribumi
Frater Mantje menjelaskan, pada tahun 1952, ketika Mgr. Nicolaas Verhoeven menjadi Uskup Manado, ia mendirikan satu kongregasi yang bercorak pribumi, dinamakan Kongregasi Murid-Murid Kristus. Namun, karena kongregasi tersebut selama 10 tahun tidak begitu baik perkembangannya, Mgr. Nicolaas pun mengadakan perundingan dengan Kongregasi CMM agar. kongrehasi pribumi ini disatukan. Pada tanggal 19 Februari 1964 Roma menyetujui bahwa anggota Kongregasi Murid-Murid Kristus dapat bergabung dengan Kongregasi Frater CMM.
“Frater CMM sejak tahun 1924 – 1952 itu tidak ada frater dari Indonesia semuanya Belanda. Setelah penggabungan, Frater CMM mulai ada yang asal Indonesia dan semakin berkembang. Jadi sebetulnya klo mau lihat keadaan perkembangan Frater CMM khusus Indonesia itu baru dimulai pada tahun 1964,” tuturnya.
Persaudaraan dan Berbelas Kasih
Komunitas Frater CMM Indonesia kini tersebar di: Yogyakarta (Jawa), Medan, Pematang Siantar, Balige, Aek Tolang (Sumatra), Gunung Sitoli (Nias), Banjarmasin, Tarakan (Kalimantan), Manado, Tomohon, Palu, Ge’tengan, Makasar (Sulawesi), Ambon, Langgur (Maluku), Lembata, SoE (Timor Barat).
Bagi Frater Mantje kongregasi ini dibentuk atas dasar belas kasih melihat situasi umat yang berkekurangan khususnya anak-anak. Sehingga Kongregasi ini punya spiritualitas persaudaraan dan berbelas kasihHati yang dimiliki hendaknya mencontoh Sang Bunda Allah yang memiliki kerendahan hati. Rupanya, Mgr. Zwijsen tertarik dengan suatu karya yang dibuat St. Vincentius a Paulo pada abad 16, bagaimana ia menangani orang-orang miskin. Maka Kongregasi ini mengambil St. Vincentius sebagai pelindung karya dan Bunda Maria sebagai pelindung kongregasi.
“Dalam rangka merayakan 100 tahun kehadiran Kongregasi Frater CMM Indonesia, saya menghimbau terutama untuk para frater muda kami untuk mempelajari sejarah Kongregasi ini sehingga lebih menghayati kehidupan spiritualitas, juga kami perlu berterima kasih dan bersyukur bahwa walaupun ada tantangan, Kongregasi Frater CMM masih tetap dilindiungi oleh Tuhan,” tutup Frater Mantje.
Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No. 24, Tahun ke-76, Minggu, 12 Juni 2022