HIDUPKATOLIK.COM – Keluarga Caritas berkesempatan untuk berbincang-bincang bersama dengan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) Indonesia dan Humanitarian Forum Indonesia (HFI) di Rumah Resiliensi Indonesia, Kawasan Bali Collection, Nusa Dua, Bali, 26 Mei 2022 dalam sesi Talkshow. Tema yang diangkat adalah Peran Organisasi Berbasis Keyakinan dalam Pemberdayaan Para Aktor Kemanusiaan Lokal.
Dipandu oleh Cipto Priyo Leksono, Kepala Kantor Indonesia, Caritas Germany, bincang-bincang diawali oleh Ari Nugroho, Program Officer, Caritas Asia yang menyampaikan tentang kampanye yang sedang dilakukan oleh Caritas Internationalis saat ini.
“Together We adalah kampanye global yang bertujuan untuk mengajak masyarakat luas bergerak bersama dalam membangun ketangguhan,” kata Ari.
Keluarga Caritas yang tersebar di lebih dari 160 negara, termasuk yang ada di Indonesia, berada di rumah yang sama dalam kehidupan bersama kita mendukung martabat komunitas atau masyarakat yang terdampak bencana.
“Sama halnya dengan semangat Pentahelix: bersama kita bekerja dan berkarya untuk kemanusiaan,” tambah Ari.
Karya pelayanan Caritas dielaborasi lebih dalam oleh Romo Fredy Rante Taruk, Direktur Eksekutif, Caritas Indonesia. Romo Fredy, dalam kesempatan kedua, menyampaikan bahwa Caritas Indonesia merupakan bagian dari Caritas Internationalis.
“Caritas merupakan ungkapan belarasa dan wujud keprihatinan Bunda Gereja untuk persoalan kemanusiaan,” kata Romo Fredy. “Kita menganggap bahwa semua umat manusia adalah satu keluarga yang mendiami bumi yang sama: One Human Family, One Common Home,” Romo Fredy menambahkan.
“Caritas Indonesia melayani 37 keuskupan yang tersebar di 34 provinsi dimana setiap keuskupan pun melayani unit yang lebih kecil lagi yaitu paroki,” kata Romo Fredy. “Ada 1200 paroki yang melayani hingga tingkat komunitas,” tambahnya.
Bentuk pelokalan dan pemberdayaan aktor lokal dalam karya pelayanan Caritas Nampak pada kerja bersama dan kerja kolaboratif yang bertingkat dari stasi, paroki, dekenat, keuskupan, hingga Caritas Indonesia berdasarkan skala dampak dan kapasitas. “Dan jika skalanya pun lebih besar lagi, maka keluarga Caritas anggota Caritas Internationalis (CIMOs) pun akan hadir untuk memberikan pendampingan.
“Prinsip yang dikedepankan adalah solidaritas dan subsidiaritas sebagai bentuk penghargaan pada kapasitas lokal sembari Caritas Indonesia menjalankan mandat animasi, koordinasi, dan fasilitasi di tingkat nasional,” Romo Fredy menjelaskan. “Fasilitasi dalam peningkatan kapasitas dan pendanaan, pembentukan jaringan relawan, kolaborasi dengan multi pihak termasuk pemerintah, menjadi bentuk mandat tersebut dijalankan oleh Caritas Indonesia,” ungkap Romo Fredy.
“Dan salah satu komitmen untuk mewujudkan masyarakat di tingkat lokal yang lebih tangguh, kami mencanangkan gerakan Paroki Tangguh Bencana untuk 5 tahun kedepan di seluruh Indonesia dan bermitra dengan pemerintah agar masyarakat lokal benar-benar bisa berperan serta dalam membantu pemerintah membangun ketangguhan di wilayahnya,” papar Romo Fredy.
Helmi Hamid, Manajer Program, Catholic Relief Service (CRS) Indonesia dalam kesempatan berikutnya menyampaikan bentuk dukungan CRS dalam pelokalan terwujud dalam pendampingan-pendampingan yang dilakukan. “Sebagai bagian dari keluarga Caritas, pelokalan tersebut dilakukan dengan pendekatan peningkatan kapasitas baik di bidang kebencanaan maupun di bidang lain seperti peningkatan kapasitas tentang pemberian bantuan tunai,” Helmi menjelaskan.
Bentuk pendekatan pelokalan lain yang dilakukan oleh CRS adalah Penguatan Lembaga, tidak hanya untuk lembaga Caritas namun juga lembaga lintas iman lainnya. “Dalam Penguatan Lembaga ini, pendampingan untuk menyusun Standard Operational Procedure (SOP) dilakukan,” tambah Helmi. Kemudian, pendekatan ketiga yang dilakukan adalah Pendampingan (Accompaniment). Pendampingan oleh tenaga-tenaga teknis diberikan CRS kepada para mitra.
“Hal yang terpenting dalam pembentukan ketangguhan adalah ketangguhan di tingkat lokal,” kata Helmi. “Di masyarakat yang plural, maka peran para pemuka agama sangatlah penting. Hal lain adalah jaringan yang luas dari Organisasi Lintas Iman bisa menjadi kekuatan tersendiri dalam mewujudkan ketangguhan bersama,” tambah Helmi.
Peran pemuka agama yang besar digarisbawahi pula oleh Direktur Humanitarian Forum Indonesia, Surya Rahman Muhammad. “Lembaga berbasis lintas agama mempunyai sumber daya yang luar biasa,” kata Surya. Dari data yang ada bahwa hampir 85% masyarakat di dunia adalah masyarakat beragama dan di Indonesia hampir 89% masyarakatnya adalah masyarakat beragama. “Oleh karenanya peran dari organisasi-organisasi keagamaan sangatlah besar,” tambahnya.
Kerjasama antar lembaga berbasis iman berjalan dengan baik dan bahkan sangat cair. Antar lembaga saling berinteraksi dan saling memahami ditunjang dengan lembaga payung seperti HFI. “Saling menghormati waktu untuk beribadah dan dalam menfasilitasi berjalan dengan sangat baik. Hal-hal ini yang dibangun dan karena berjalan dalam karya kemanusiaan maka kita semakin bersinergi” kata Surya.
HFI membantu mensinergikan peran dan potensi yang dimiliki para lembaga anggota berbasis iman sebanyak 18 lembaga yang jaringan dan sumber dayanya cukup besar serta mendorongnya hingga ke tingkat akar rumput sebagai first responder. “Walaupun yang dimiliki dan yang dilakukan sudah sangat mencukupi, namun kolaborasi dengan multi pihak terutama dengan pihak pemerintah tidak bisa dilupakan sehingga kerja-kerja kolaboratif ini bisa menjadi kunci dalam pelayanan kemanusiaan,” Surya menambahkan.
“Iman itu sifatnya personal, namun ketika berbicara tentang kemanusiaan maka hal itu bersifat sosial,” tegas Surya.
Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Pangarso Suryotomo sangat mengapresiasi gerak dan langkah lembaga-lembaga berbasis lintas iman, terutama dalam kegiatan kemanusiaan. “Berdasarkan mandate koordinasi, BNPB bertugas untuk mengkoordinasikan para relawan dan para lembaga ini agar dapat bekerja sama dalam penanggulangan bencana baik pada masa pencegahan maupun respon,” kata Papang, demikian ia biasa dipanggil.
Upaya Caritas Indonesia dalam membangun ketangguhan dari tingkat nasional hingga ke tingkat paroki digarisbawahi oleh Papang. “Untuk menjadi tangguh, 1 dari 7 objek ketangguhan adalah keluarga maka ketangguhan di tingkat keluarga perlu dibangun,” kata Papang. “Selain itu, ketangguhan juga perlu dibangun pada tempat-tempat ibadah dari semua agama di Indonesia juga masyarakat di sekitarnya menjadi tangguh,” tambahnya.
“Jika tadi disebutkan akan ada 1200 paroki yang dibangun ketangguhannya, jika 1 paroki ada 500 keluarga dan 1 keluarga terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 6 juta orang tangguh,” kata Papang. “Belum lagi nanti dari lembaga-lembaga berbasis iman lainnya. Maka ketangguhan bisa didorong melalui kolaborasi antar lembaga berbasis agama,” tambahnya.
“Kedepannya adalah bagaimana kita (pemerintah) mensinergikan dengan pihak-pihak lain seperti lembaga dunia usaha, media, unsur perguruan tinggi, dan dengan pemerintah sendiri,” Papang menyampaikan. “Agenda untuk menuju Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh menjadi aganda kita bersama. Tangguh dalam menghadapi kebencanaan bersama lembaga-lembaga berbasis iman untuk menuju ketangguhan bangsa,” pungkas Papang. (MDK)