HIDUPKATOLIK.COM – Kemarin aku menerima pesan WA berupa kiriman foto dari seorang sahabat. Nampak dia sedang tersenyum, berdiri bersama Romo Hardijantan di depan altar gereja.
Langsung saya balas sambil bertanya, “Ndaru ikut Misa Hari Raya Kenaikan Tuhan pukul 8.30 ya?”
Dia menjawab singkat, Ya. Tersenyum aku mengenang sahabatku ini. Dia seorang yang sangat ramah dan mudah tersenyum, padahal dia menyandang tuna rungu. Kiriman foto ini kembali menggugah aku untuk menulis guna berbagi pengalaman mengikuti misa tersebut.
Pagi itu, aku berangkat ke gereja selain ikut Misa, juga hendak menjalani tugas sebagai prodiakon. Beberapa menit sebelum misa mulai, aku baru tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda pada misa pagi itu. Paroki ternyata juga mengundang umat dengan karunia khusus untuk ikut misa bersama. Bahkan beberapa tugas liturgi akan dibawakan oleh mereka.
Aku jadi teringat akan Ardas (Arah Dasar) KAJ 2022-2026, di mana pada tahun ini KAJ mengusung nilai Penghormatan Martabat Manusia. Ada beberapa prokaritas (program karya prioritas) dalam Ardas tahun ini, salah satunya adalah Pembinaan Iman Umat Difabel.
Gereja KAJ berharap dapat memberi perhatian lebih kepada mereka dengan langkah awal mempersiapkan para pelayan pastoral difabel di bidang katakese, liturgi, dan fasilitator Kitab Suci.
Kelak setelah pembekalan selesai, para pelayan pastoral difabel ini akan terjun membina iman umat difabel. Dengan satu harapan, agar iman saudara-saudara kita yang memiliki karunia khusus ini dapat terpelihara dan mengalami pertumbuhan serta dapat berpartisipasi aktif dalam menggereja secara berkelanjutan.
Kembali ke suasana misa pagi itu. Setelah ritus pembuka selesai, aku duduk di barisan paling depan. Saat itu aku menyadari keberadaan seorang penterjemah wanita di panggung khusus, dekat patung Bunda Maria.
Ia duduk menghadap area kursi umat di sayap Bunda Maria, yang pagi itu disediakan khusus bagi rekan-rekan tunarungu. Inilah pertama kali, aku menyaksikan seorang penterjemah berbahasa isyarat secara langsung. Biasa aku hanya melihat di layar TV.
Sesaat kemudian, seorang bapak maju menuju ambo sambil menggandeng anaknya. Sang anak, bernama Brigitta Adeline Laetitia Lala, berusia 9 tahun, sejak dalam kandungan mengalami “achondroplasia”, sehingga tungkai dan lengannya tidak bertumbuh normal.
Dengan penuh kasih, sang bapak mengangkat anaknya untuk berdiri di kursi yang telah disiapkan dibalik ambo. Sesaat kemudian terdengarlah suara Adeline membacakan bacaan pertama dari Kisah Para Rasul. Suara indah khas seorang anak namun lantang dan berintonasi. Sama sekali tak nampak grogi, dengan lancar Adeline menuntaskan tugasnya. Luar biasa.
Setelah Bacaan Pertama selesai, Mazmur dinyanyikan. Aku sempat menengok ke area kursi yang dikhususkan untuk rekan-rekan tunarungu sekaligus tunawicara. Aku terpana akan apa yang kulihat, ternyata mereka semua ikut “bernyanyi”.
Ya dengan penuh semangat, mereka bernyanyi dalam sunyi dengan menggunakan isyarat tangan. Juga pada kesempatan tanggapan umat, aku sempat perhatikan mereka pun aktif menanggapi. Aku sungguh salut kepada mereka.
Bacaan Kedua, dibawakan oleh seorang wanita dewasa bernama Rechelle (maaf kalau salah menulis nama). Ia tuna netra. Namun bak lektris terlatih, suaranya terdengar sungguh indah. Sangking asyik mendengarkan, aku sampai tak sadar, bagaimana ia “membaca”.
Baru belakangan aku mengerti, setelah Romo Hardijantan di awal homili menjelaskan bagaimana Rechelle membaca. Rupanya ada alat kecil yang ditempelkan di telinganya, alat ini membisikkan isi bacaan, dan Rechelle mengulang menyuarakan dengan begitu indah. Diam-diam aku angkat dua jempol buat Rechelle.
Pengalaman menakjubkan masih berlanjut. Saat doa umat dilambungkan, tampil tiga remaja tuna grahita (semoga tidak salah duga). Dengan sedikit terbata-bata, mereka pun dapat menuntaskan tugas yang dipercayakan kepada mereka. Tidak sedikit pun nampak keraguan dalam diri mereka untuk ikut terlibat dalam misa pagi itu.
Selanjutnya ada perarakan persembahan oleh lima anak-anak lengkap dengan pendamping. Ada seorang menggunakan kursi roda, ada yang tunagrahita. Walau nampak para pendamping agak kesulitan, namun mereka berhasil sampai ke depan altar dengan membawa persembahan masing-masing. Sungguh aku kembali terharu.
Mengalami semua peristiwa ini, sejak awal Misa, aku sudah terbawa emosi. Berulang kali aku menghapus air mata yang muncul dari sudut-sudut mata. Kadang aku harus mengatur nafas guna menahan isak. Keharuan yang muncul dari rasa syukur boleh berada dalam misa bersama mereka. Dengan berbagai keterbatasan mereka, ternyata sungguh mereka mempunyai karunia khusus yang mengagumkan.
Saat itu sekaligus aku merasa ditegur. Tuhan memberikan aku fisik sempurna, tapi aku kalah. Aku kurang aktif terlibat dalam misa, terutama saat bernyanyi atau saat tanggapan umat.
Dalam hal tugas pelayanan aku pun kadang ragu, minder bahkan menolak untuk tampil. Aku yakin ke depan dengan makin sering misa bersama dengan mereka, aku akan belajar banyak hal dari sikap keteladanan mereka.
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang.