HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 29 Mei 2022 Minggu Paskah VII Kis.7:55-60; Mzm.97:1, 2b, 6,7c, 9; Why.22:12-14, 16-17, 20; Yoh.17:20-26
“UNTUK memahami satu sama lain dan untuk berkembang dalam kasih dan kebenaran, kita perlu berhenti sejenak, menerima dan mendengarkan satu sama lain. Dengan cara ini, kita sudah mulai mengalami kesatuan. Kesatuan tumbuh dan berkembang sepanjang jalan, tidak pernah tidak bergerak. Kesatuan terjadi saat kita berjalan bersama,” Perkatan Paus Fransiskus akan pentingnya kesatuan di antara umat Kristiani ini disampaikan dalam homili Vesper kedua pada pesta pertobatan Santo Paulus 25 Januari 2015.
Kesatuan yang diharapkan oleh Paus ini juga sudah disinggung oleh Yesus dalam doanya menjelang peristiwa sengsara dan kematian-Nya di salib. Persisnya, pada perjamuan malam terakhir. Doa Yesus ini sering disebut sebagai Doa Imam Agung. Sebab, di sini Dia berperan sebagai pengantara bagi Allah, Bapa-Nya demi kebaikan para murid-Nya dan mereka yang akan menjadi murid Yesus, sekarang dan di masa depan (Yohanes 17).
Yesus sadar, tidak lama lagi, Dia akan meninggalkan para murid-Nya. Dia selanjutnya akan mempercayakan kepada para murid-Nya, pekerjaan dari Allah yang sebelumnya dipercayakan kepada-Nya. Namun, tampaknya mereka belum siap. Terbukti, selama hidup dan berkarya bersama Yesus, mereka sering kali salah memahami perkataan dan pekerjaan-Nya.
Meski begitu, mengapa Yesus berani menyerahkan pekerjaan Allah kepada kelompok murid yang belum matang ini? Sebab, Dia percaya, ketika diserahkan ke dalam tangan Allah, Sang Pemilik pekerjaan itu, semua akan berjalan dengan benar. Dengan pertolongan Roh Kudus, Allah akan mendampingi, menguatkan dan menuntun mereka untuk meneruskan pekerjaan-Nya.
Dalam doa-Nya, Yesus tahu, bukan hanya pertolongan Roh Kudus yang diperlukan, tetapi juga kesatuan di antara para murid-Nya. Konflik dan perpecahan adalah penghambat utama terlaksananya dan terselesaikannya suatu pekerjaan, bahkan yang bersifat rohani sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Yesus berdoa untuk terciptanya kesatuan di antara para murid-Nya: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu” (Yoh. 17:23).
Kelemahan dalam diri manusia, seperti sikap egois, iri hati, kesombongan, tidak dapat mengasihi dan mengampuni, dapat menghalangi terciptanya kesatuan sempurna. Karena itu, kesatuan seperti itu hanya mungkin tercipta jika Allah turut campur dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya, mengapa untuk menciptakan kesatuan di antara para murid-Nya, Yesus pun perlu memohonkannya kepada Allah.
Gereja mewarisi semangat kesatuan para murid Yesus. Namun, harus diakui, mempertahankan semangat ini bukanlah pekerjaan gampang. Sejarah telah membuktikan, bahkan dalam Gereja Katolik sendiri, dari tingkat internasional sampai tingkat paroki dan lingkungan, perpecahan di antara anggota gereja merupakan potensi tersembunyi yang membahayakan. Gereja tetap berada di bawah bayang-bayang perpecahan. Meski demikian, kesatuan Gereja adalah cita-cita sekaligus nilai tertinggi yang harus dipertahankan. Tanpa kesatuan gereja, pekerjaan Allah yang dipercayakan kepada Gereja, mungkin tidak akan berjalan maksimal.
Tetapi, mesti diingat, kesatuan tersebut dapat tumbuh, berkembang, dan bertahan karena pertolongan Dia yang adikodrati, yaitu Allah Bapa sendiri. Karena itulah, sementara anggota gereja mengusahakan kesatuan di antara mereka, jangan pernah dilupakan untuk terus menjaga kesatuan dengan Allah melalui Yesus Kristus. Ini adalah sumber dan dasar kehidupan menggereja.
Gereja memang hidup dan berkembang, serta terlihat bersatu dalam segala macam aktivitas rohani, sosial, kultur dan bahkan ekonomi. Pertanyaannya, apakah gereja sudah memperlihatkan kesatuannya dengan Allah dalam Yesus Kristus? Apakah aktivitas gereja itu telah membawa para murid Yesus zaman sekarang ini mengalami kedamaian dan keselamatan? Ataukah hanya sebatas aktivisme belaka? Relasi antara anggota gereja dengan Allah dalam doa adalah sarana untuk menjaga kesatuan tersebut sekaligus menyembuhkan dan memperbaiki kesatuan yang kiranya sudah terpecah-belah. Bagaimanapun juga, kesatuan gereja perlu mendasarkan pada sikap batin anggotanya yang selalu ingin bersatu dengan Allah dalam Kristus.
“Kesatuan Gereja adalah cita-cita sekaligus nilai tertinggi yang harus dipertahankan.”
HIDUP, Edisi No.22, Tahun ke-76, Minggu, 29 Mei 2022