HIDUPKATOLIK.COM – Setelah kita mengaku dosa, biasanya ada penitensi, entah diminta doa dari Puji Syukur/Rosario. Apa yang terjadi jika setelah mengaku doa, penitensi tersebut tidak saya dilakukan? Apakah dosa saya tetap diampuni? (Sando, Purwokerto)
PENITENSI dalam arti umum adalah suatu silih atau ungkapan salah atau penyesalan atas segala dosa atau kesalahan yang dilakukan. Semua itu menyatakan tidak saja rasa sesal namun pula penyataan tobat atas dosa dan kesalahan seseorang. Penitensi memang biasanya berupa dalam bentuk doa, namun juga bisa dalam bentuk tindakan amal kasih, mati raga ataupun tindakan yang dipandang sesuai dengan intensi pertobatan orang yang mengaku dosa. Di sini bukanlah suatu tindakan penghukuman, namun lebih berupa ungkapan atau pernyataan pertobatan seseorang. Diharapkan dengan penitensi yang diberikan seseorang terbantu untuk menghidupi rahmat pertobatan, sehingga rahmat pengampunan tumbuh dalam dirinya, rekonsiliasi dengan Allah, sesama, Gereja maupun dirinya sendiri bisa tertanam. Diharapkan dengannya kita menghasilkan buah sesuai dengan pertobatan kita (Lih. Mat. 3:8; Luk 3:8).
Memang absolusi dari imam dalam pengakuan dosa menunjukkan kuasa pengampunan serta rekonsiliasi yang dianugerahkan Tuhan kepada Gereja-Nya, namun juga penitensi yang dijalankan menunjukkan kesungguhan seseorang yang mengaku dosa untuk semakin layak menerima rahmat sakramen pengampunan tersebut. Dalam tradisi Gereja ada ungkapan sesal karena cinta, sehingga silih dilakukan lebih didasarkan pada cinta akan Allah, demi semakin diperdamaikan dengan Allah maupun dengan sesama, dan ini merupakan langkah yang panjang dan menuntut kepenuhan dari diri sendiri (Lih. Mat. 18:21-35; Luk 17:4).
Katekismus Gereja Katolik tentang ini menuliskan bahwa dengan melakukan silih kita diajak untuk semakin menyerupai Kristus, yang telah berkorban demi dosa-dosa kita. Dia telah wafat dan bangkit demi memperdamaikan kita, terutama dengan-Nya, maka kita melakukan silih demi Dia yang telah mengorbankan diri-Nya bagi kita. Silih atau penitensi, bila demikian, adalah suatu tindakan pemulihan atau rekonsiliasi, yang berangkat dari kesadaran akan kerapuhan atau keberdosaan kita. Ini merupakan tanda pertobatan. Menjalankah silih atau penitensi dari pengakuan dosa dengan demikian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertobatan, kehendak kuat untuk melakukan rekonsiliasi.
Gereja, setidaknya sejak Konsili Trente, menempatkan penitensi ini sebagai tindakan kasih. Menjalankannya pun berlandaskan dan berdasarkan pada kasih. Sesal dan pertobatan diperkukuh dengan kesadaran untuk menjalankan silih, dan karenanya rahmat pengampunan semakin hidup dan tumbuh. Bisa dibayangkan bahwa pengampunan tidak akan hidup dan berdaya tumbuh kalau tindakan silih atau penitensi diabaikan. Bagaimana pun penitensi adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses serta kenyataan sakramen pengakuan dosa.
Sakramen rekonsiliasi tersebut merupakan saat di mana rahmat pengampunan Allah diterima dan dirayakan. Yang menjadikan kita layak, bukan terutama tindakan pengakuan kita, namun terlebih rahmat Allah yang dicurahkan-Nya kepada kita, lewat belaskasihan pengampunan-Nya. Oleh karena itu, Dia sangat menghargai dan mengharapkan langkah-langkah kecil kita untuk kembali kepada-Nya, menyambut uluran tangan kasih-Nya yang menyambut kita kembali (Lih. 15:20-24). Kita mungkin bisa menyimak kisah Zakheus, perjumpaannya dengan Yesus membawa dia kepada tindakan silih, penitensi atas kesalahannya (Lih. Luk. 19:1-10), atau pula kisah Daud (Lih. 2 Sam. 12:16-17). Penolakan untuk melakukan silih malahan bisa menghambat tertanam dan hidupnya rahmat pengampunan dalam diri seseorang. Menjalankannya akan membantu kita untuk menyusun langkah pertobatan sungguh dan rekonsiliasi sejati, sehingga penataan hidup dalam terjalin.
Allah memang bisa mengampuni tanpa syarat, akan tetapi pengampunan itu akan makin berdaya kalau dari pihak kita ada kehendak serta kehendak untuk menunjukkan penyesalan serta pertobatan. Kalau tindakan silih diabaikan, entah sengaja ataupun tidak, maka kita perlu lagi datang kepada-Nya. Dengannya kita menyatakan kekurangsungguhan kita dalam menapakkan jalan rekonsiliasi dengan Allah, sesama maupun diri sendiri. Melupakannya apalagi mengabaikannya, bisa berarti kita kurang sungguh mau kembali kepada-Nya.
HIDUP NO.19, 8 Mei 2022
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
(Teolog Dogmatik)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.