HIDUPKATOLIK.COM – Gereja hadir dalam diri sosok mungil dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi (PI). Ia dikenal sebagai “Suster Kargo” karena tiada lelahnya melayani dan menolong korban human trafficking.
LAZIMNYA seorang suster biasa ditemui di gereja atau biara, tetapi tidak dengan Sr. Susilawati Laurentia, PI. Kepeduliannya terhadap human trafficking (perdagangan manusia) membuatnya setiap minggu harus ke bandara Eltari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menunggu dan mengurus jenazah para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dipulangkan ke NTT.
“Sudah lima tahun terakhir, saya mendedikasikan diri membantu pemulangan jenazah PMI dari NTT, baik dalam maupun luar negeri,” ujarnya.
Para pekerja migran meninggal dengan ragam persoalan baik kekerasan, kecelakaan kerja, maupun sakit. Semua itu ia rawat dengan kasih sayang, termasuk jenazah yang tidak memiliki identitas dan dibiarkan begitu saja di kargo.
“Rata-rata jenazah yang kami urus banyak yang nonprosedural,” ungkapnya.
Nilai kemanusiaan membuat Sr. Laurentia terpanggil membantu para korban. Ia juga peduli dan memberi pendampingan spiritual kepada keluarga korban yang meninggal. Panggilan luar biasa ini membuat ia disapa “Suster Kargo”.
Suster Kargo
Suster Kongregasi PI ini sejak 2016 sudah menjadi relawan di Selter Bambu Apus dan ditugaskan sebagai koordinator antipergadangan manusia NTT. Tugas ini membuatnya dekat dengan jenazah dan keluarga para korban pekerja migran. Selain karena mandat dari Kongregasi, ia mengatakan juga karena panggilan kemanusiaan untuk antihuman trafficking khususnya di Kupang.
Selama pengalamannya, ia menyebutkan, tugas paling berat adalah melayani jenazah yang tidak jelas identitasnya, nonprosedural, termasuk yang alamatnya tidak jelas. Beberapa kali ada jenazah yang terlantar begitu saja. Meskipun human trafficking adalah persoalan klasik, tetapi tetap saja ada yang terus terjerumus dalam persoalan kemanusiaan ini.
“Ada banyak alasan tetapi tekanan ekonomi hingga memaksa orang mencari jalan keluar negeri untuk bekerja adalah alasan utama. Saat ini paling penting adalah bagaimana memberi edukasi tentang cara menjadi migran yang benar dan mencari pekerjaan yang layak tanpa harus ditipu orang,” ungkap kelahiran Temanggung, 52 silam ini.
Paling tidak, sebutnya, orang mau menjadi pekerja migran harus diketahui kepala desa setempat dan mengikuti pembekalan oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Hanya saja banyak calon atau perusahaan ilegal pekerja migran tidak ingin mengikuti prosedur demikian karena merasa akan dipersulit dengan ragam dokumen. Hal inilah yang menjadi alasan orang lebih tertarik pada tawaran calo yang tidak non-prosedural.
Menurutnya banyak sekali modus yang dilakukan pelaku trafficking untuk menjebak calon tenaga kerja. Misal, menjanjikan pekerjaan yang terkesan mudah dengan gaji besar. Beberapa jenis pekerjaan yang sering dijadikan umpan adalah asisten rumah tangga, penjaga anak, serta pelayanan di hotel dan restoran.
Para calo trafficking pun mengupayakan pemberangkatan tenaga kerja dengan jalan tak wajar, namun terkesan murah dan mudah. Salah satunya dengan menyediakan paspor palsu, atau bahkan tidak perlu menyiapkan apa-apa selain punya niat untuk mau bekerja.
Alih-alih mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan setiba di luar negeri, para korban kebanyakan malah nelangsa. Mereka tertipu karena kemudian dijadikan pekerja seks atau dipukuli, dan aneka macam kekerasan fisik serta verbal lainnya. Termasuk beberapa juga yang dibunuh dan organ tubuhnya dijual di pasar gelap.
Misi Kemanusiaan
Pemahaman Sr. Laurentia tentang perdagangan manusia mulai terasah saat mengikuti pembekalan di Counter Human Trafficking Commission di Malino, Sulawesi Selatan, 2012 silam. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri, Jakarta Selatan pada 2014 dengan mengambil jurusan Kesejahteraan Sosial.
Awal keterlibatannya sebagai pencari keadilan bagi korban trafficking sempat diragukan banyak orang. Badan kecil, kurus, dan “tidak bertenaga” membuat orang merasa ragu akan perjuangannya melawan “gurita” human trafficking di seantero Indonesia khususnya di NTT. Tetapi lewat perjuangan panjang, banyak orang kini pelan memahami dan gerakannya ini mendapat dukungan berbagai pihak. Ia setia hadir di berbagai paroki di NTT untuk memberi edukasi tentang dampak buruk trafficking. Kini, banyak orang angkat topi kepadanya karena menjadi musafir keadilan bagi korban trafficking.
Ia mengatakan, pekerjaan kemanusiaan itu tidak mengenal agama dan budaya tertentu. Kemanusiaan adalah bahasa universal yang didalamnya terkandung nilai keadilan, kasih, persaudaraan, kedamaian tanpa kekerasan. Menolong orang lain, termasuk yang sudah meninggal harus didasarkan pada panggilan bahwa kita semua bernilai di mata Tuhan. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan menderita atau meninggal dalam keadaan tidak layak.
Sr. Laurentia menambahkan nilai kemanusiaan itu tidak saja dilakukan para biarawati tetapi panggilan semua orang yang menyebut diri kaum beriman. “Kita semua harus terpanggil untuk menghargai harkat dan martabat manusia tanpa melihat agama, budaya, bahasa, dan suku seseorang,” tegasnya.
Pengalaman penghargaai terhadap harkat dan martabat manusia sebenarnya telah tumbuh dalam hati Sr. Laurentia sejak kecil. Ia terlahir dalam keluarga dengan kepercayaan berbeda-beda. Sang ayah membebaskan delapan anaknya untuk memilih agamanya.
“Saya dilahirkan dari orang tua yang berbeda-beda iman, dan ibu saya Muslim. Bapak saya tidak menghendaki harus agama apa. Semuanya dibebaskan asal dijalani dengan penuh tanggung jawab. Maka itu dari delapan bersaudara ada yang agamanya Muslim, Budha, Protestan, dan Katolik,” ujarnya.
Sr. Laurentia baru dibapis saat duduk di bangku SMP. Setelah tamat SMP ia bekerja di Panti Jompo Wreda Karitas di Kelurahan Cibeber, Kecamatan Cimahi Selatan, Bandung. Di tempat inilah ia mendapat pengalaman iman, dan jiwa kemanusiaan kepada mereka yang kecil dan menderita menggebu-gebu.
“Ada dua penghuni panti yang memberi kesan tersendiri yaitu seorang oma dari Malang, seorang gelandangan yang dicari keluarganya tidak ditemui. Satunya lagi seorang oma dari Cimahi. Dua orang ini memberi warna dalam perjalanan panggilan saya kelak menjadi seorang suster,” tuturnya.
Dukungan Semua Pihak
Dalam perjalanan waktu, tahun 2010, ia ditempatkan di Maubesi, NTT. Di sana untuk pertama kalinya ia dikontak jejaring pekerja kemanusiaan dari Jakarta untuk membantu memulangkan jenazah korban trafficking asal Desa Tuamau, Kecamatan Maubesi. Sejak saat itu, ia terpanggil untuk melakukan pelayanan dalam upaya anti perdardagangan manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, NTT mendapat rangking teratas, didaulat sebagai daerah asal korban tindak pidana perdanganan manusia.
“Perdagangan manusia sudah lama sebetulnya memang di NTT. Provinsi itu mempunyai jiwa merantaunya sangat tinggi. Kemudian infrastrukturnya yang kurang juga sehingga mereka mencari pekerjaan di tempat yang lain. Itu sudah sekitar tahun 1970 atau 1980-an ada namanya migrasi kultur dari nenek moyang mereka,” tuturnya.
Sadisnya human trafficking itu tidak saja terjadi pada orang-orang produktif, tetapi juga anak-anak di bawah umur.
“Jelas bahwa faktor lapangan pekerjaan juga mempengaruhi. Mereka butuh lapangan pekerjaan tetapi infrastruktur di NTT belum memadai. Itulah kenapa banyak mafia perdagangan manusia tampil sebagai pahlawan kesiangan dari kota hingga ke desa-desa,” paparnya.
Atas perjuangannya ini, pada Desember 2021 lalu, ia diundang dalam acara Kick Andy di Metro TV. Ia mengatakan dirinya tidak akan lelah memberi edukasi dan melakukan pendekatan persuasif bagi para korban, keluarga korban, atau kaum muda NTT agar tidak cepat terpikat bujuk rayuan para calo.
“Tentu saya berharap tidak saja dukungan datang dari Gereja tetapi semua orang termasuk pemerintah yang memberikan perlindungan dan keamanan untuk para pekerja. Pemerintah provinsi dan daerah perlu membuka lapangan pekerjaan sebanyaknya dengan gaji setara agar kaum muda produktif tidak menjadi korban di kemudian hari,” ujar Sr. Laurentia.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No.18, Tahun ke-76, Minggu, 1 Mei 2022