HIDUPKATOLIK.COM – “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu,“ (Kejadian 12:1). Firman Tuhan kepada Abraham, sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian sangat tepat untuk menggambarkan situasi Sr. Bene Xavier.
Ia pergi meninggalkan Indonesia, menuju Jepang untuk bergabung dengan Kongregasi MSsR (Missionariae Sanctissimi Redemptoris = Suster-suster Misi Sang Penebus MahaKudus) dan kemudian pindah ke Austria dan mengucapkan kaulnya di Jerman pada 23 April 2022 lalu. Perikop dari Kitab Kejadian 12:1-12 inilah yang memang ia pilih sebagai Bacaan Pertama Perayaan Ekaristi kaulnya.
Sedangkan sebagai Injil ia memilih Lukas 17:7-10 dan memilih ayat „Saya adalah hamba yang tidak berguna; saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan“ (Lukas 17:10) sebagai moto kaulnya. Tentu saja ayat ini merupakan ayat yang tidak biasa dipilih ketika seseorang menjadi imam atau suster. Namun ternyata ia memiliki alasan tersendiri dalam memilih ayat tersebut.
Alasan pertama memilih ayat tersebut adalah karena itu memiliki makna spiritualitas hamba yang sangat dalam. Ya, sebagaimana Bunda Maria yang mengatakan „Aku ini adalah hamba Tuhan,“ bagi Sr. Bene ayat tersebut benar-benar menggambarkan dirinya yang merasa bahwa apa yang dilakukannya bukanlah atas kehendaknya sendiri, melainkan sebagai ketaatan sebagai seorang hamba untuk menjawab panggilan Tuhan.
Selain karena kesukaannya berdevosi pada Bunda Maria, rupanya alasan kedua adalah pengalaman hidup di Jepang telah membuat Sr. Bene begitu mengagumi karakteristik samurai yang setia dan taat sampai mati kepada tuannya. Begitu juga yang dihidupinya sebagai seseorang yang mau taat dan setia pada Tuhan.
Perayaan Ekaristi dipimpin Pater Hans Hütter, CSsR dari Austria dan konselebran Pater Thomas Julivadistanto dari Indonesia, yang merupakan ketua KKIA (Keluarga Kristen Indonesia di Austria).
Keinginan Sejak Kecil
Dalam khotbahnya Pater Hütter mengatakan bahwa Sr. Bene telah berkeinginan menjadi seorang biarawati sejak kecil dan ia berusaha mewujudkannya dengan mempelajari banyak hal seperti studi filsafat dan teologi, seni, teater, manajemen serta multimedia. Membiasakan diri dengan budaya dan cara hidup yang sama sekali berbeda juga bukan tugas yang mudah bagi Sr. Bene.
Pada saat yang sama Pater Hütter menekankan keberanian para suster untuk menerima tantangan dan juga menerima perempuan dari benua yang sebelumnya asing ke dalam komunitas. Ia mengutip teolog Regina Polak, yang mendefinisikan misi dalam pemahaman terkini sebagai “pernyataan cinta kepada orang lain.“ Sebagai Gereja, kita mengatakan kepada orang-orang dari generasi lain, budaya, negara, dengan minat lain, “Aku merindukanmu!” Kehidupan dalam Gereja bisa begitu berwarna dan beragam.
Nuansa Indonesia Mendominasi
Sr. Bene merupakan orang Indonesia pertama dan masih satu-satunya dalam Kongregasi MSsR. Kongregasi ini berada di 6 negara, yaitu Jerman, Jepang, Chili, Bolivia, Austria dan Ukraina.
Sebelum Sr. Bene bergabung, kebanyakan para suster tidak terlalu mengenal Indonesia. Tapi sejak Sr. Bene bergabung, barulah para suster mengerti dan mengenal lebih dalam tentang Indonesia.
Bagi suster-suster Eropa hal ini merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk mengetahui betapa Indonesia merupakan negara yang besar, luas, kaya akan kebudayaan dan bertoleransi tinggi.
Momen perayaan kaul sekaligus dijadikan Sr. Bene sebagai kesempatan untuk lebih memperkenalkan Indonesia kepada dunia internasional. Mengapa begitu? Karena Perayaan Ekaristi kaul tersebut disiarkan secara live streaming untuk bisa ditonton oleh umat di 6 negara di mana MSsR berkarya dan juga tentu saja agar bisa disaksikan oleh umat di Indonesia.
Walaupun berlangsung dalam Bahasa Jerman, namun Sr. Bene memilih untuk menyanyikan “Bapa Kami“ dalam Bahasa Indonesia. Para suster Eropa terdengar begitu fasih menyanyikan tersebut.
Tidak ketinggalan pula Sr. Bene memasang bendera Merah Putih di dinding kapel, berdampingan dengan bendera Jepang, Austria dan Jerman. Sebagai bentuk kecintaannya pada Indonesia, Sr. Bene bahkan memilih mengenakan kebaya putih dalam acara tersebut, dipadukan dengan rok dan selendang merah.
Pemilihan warna merah dan putih bagi Sr. Bene untuk merepresentasikan Indonesia (dari mana ia berasal), Jepang (di mana dia memulai hidup dalam Kongregasi MSsR) dan Austria (di mana dia sekarang bertugas).
Tamu-tamu undangan sebagian besar adalah orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda, Jerman, Austria dan Slovakia. Mereka hadir dengan mengenakan pakaian tradisional.
Toleransi merupakan pesan yang ingin disampaikan Sr. Bene dalam perayaan tersebut. Hal ini terlihat dari para tamu undangan yang berasal dari berbagai suku berbeda serta agama yang juga berbeda-beda.
Hadir pula sahabat Sr. Bene yang merupakan pemeluk agama Islam. Walaupun mereka sedang menjalankan ibadah puasa, mereka tetap pergi dari Austria ke Jerman untuk ikut menghadiri Perayaan Ekaristi tersebut.
Dalam kesempatan ramah tamah, Sr. Bene memperkenalkan sahabatnya tersebut kepada para tamu dan menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat 5 agama dan masyarakatnya hidup dengan rukun dan penuh toleransi.
Selain itu, tamu lain yang hadir adalah para sahabat dan rekan kerja Sr. Bene yang merupakan orang-orang Austria dan Hungaria.
Pesta Budaya
Usai Perayaan Ekaristi, acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Para tamu yang berasal dari berbagai negara berbaur dengan para suster Jerman, Austria dan Chili. Masing-masing tamu diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang busana tradisional yang dikenakannya. Begitu juga dengan para suster yang mengenakan pakaian tradisional Jerman.
Makanan yang tersaji pun merupakan perpaduan Eropa dan Asia. Tamu-tamu orang Indonesia datang membawa makanan khas Indonesia yang sangat disukai para suster Eropa, seperti risoles, kue dadar gulung, bihun goreng dan kerupuk udang. Tentu saja hal ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi para suster untuk dapat merasakan makanan Indonesia.
Di akhir pertemuan, para tamu menyaksikan pemutaran video ucapan bagi Sr. Bene dari berbagai negara, mulai dari pembimbing rohaninya ketika semasa remaja dulu, hingga orang-orang yang dikenalnya selama perjalanan hidupnya, juga perwakilan keluarga di Indonesia. Setelah itu tamu-tamu pun diajak untuk berkeliling di dalam biara rumah induk MSsR di Stadl, Bayern. Tidak ketinggalan para tamu bersama para suster pun menari Poco-Poco dan Tobelo khas Indonesia timur, yang dipimpin oleh Pater Thomas Julivadistanto.
Keberanian dan Kepercayaan Diri
Sementara itu, dalam wawancara melalui WhatsApp dengan hidupkatolik.com, Provinsial MSsR Jerman-Austria, Sr. Ruth Maria mengatakan, pengikraran kaul yang dilakukan Sr. Bene menunjukkan seberapa besar keberanian dan kepercayaan yang dimilikinya. “Perjalanan panjang yang dilakukannya untuk bergabung dengan kongregasi kami di Jepang dan kemudian ke Austria dan Jerman, membuktikan tekadnya yang kuat, yang tidak terhalang oleh perbedaan bahasa dan budaya,“ ujarnya.
Menrut Sr. Ruth, kaul yang diikrarkannya telah menunjukkan kepada saya bahwa jalan Tuhan tidak terduga dan dapat melampaui apa yang kita bayangkan.
“Bagi kami sebagai provinsi, setiap ada suster yang berkaul berarti merupakan karunia, sekaligus tugas. Setiap suster yang bergabung dalam kongregasi kami membawa kekayaan bagi komunitas dengan kepribadiannya, kekuatan dan bakatnya, pengalaman hidupnya dan banyak lagi. Semoga kekayaan ini bisa terbentang dan terpancar dalam pengabdian kepada sesama. Namun, setiap suster yang berkaul juga menjadi tugas kami sebagai provinsi untuk mencari tempat dan tugas dengan masing-masing individu suster, agar masing-masing dapat berkembang secara spiritual dan manusiawi. Dengan Sr. Bene tentunya juga ada konteks budaya sebagai orang Indonesia, yang artinya kita bisa lebih mengenal satu sama lain dari kedua belah pihak agar bisa lebih memahami satu sama lain. Timbal balik antara Sr. Bene dan para suster lainnya itu penting, bukan hanya soal budaya, tapi juga bagi gereja dan masyarakat kami di Austria dan Jerman,“ papar Sr. Ruth lebih jauh.
Sr. Ruth mengatakan, MSsR adalah komunitas kecil di seluruh dunia. Ketika tarekat ini pergi bermisi ke Jepang, Bolivia, Chili, dan Ukraina, adalah karena ada permintaan dari sana, yang ditanggapi setelah melakui proses intensif.
“Kita tahu bahwa kini dunia menjadi lebih global, jarak dan waktu tidak lagi menjadi soal ketika media sosial menghubungkan kita di seluruh dunia. Namun pada saat yang sama, keragaman budaya juga merupakan tantangan, bahkan di dalam suatu negara dan terlebih lagi dalam sebuah kongregasi internasional. Menjalani kehidupan antarbudaya dengan baik membutuhkan sikap saling hormat dan saling pengertian. Saya ingin membiarkan jalan yang kami mulai sekarang bersama Sr. Bene ini berkembang. Saya percaya bahwa akan ada perkembangan lebih lanjut. Dengan kaul yang baru saja dilakukan Sr. Bene, maka kami baru memulai perjalanan pribadi Sr. Bene. Jika ada wanita muda tertarik yang tertarik untuk bergabung dengan kami, tentu mereka bukan hanya harus menyadari bahwa akar dari kongregasi kami berada di Jerman, tetapi juga memiliki spiritualitas dan citra diri yang membentuk kongregasi ini, mau mengikuti apa yang menjadi komitmen bersama, dan lain-lain. Titik awal ini harus jelas dan diterima,“ ujar Sr. Maria.
Ketika ditanyakan kemugnkinan melebarkan sayap ke Indonesia, Sr. Ruth mengaktan, beberapa hari setelah pengikraran kaul Sr. Bene, ia telah merencanakan masa depannya tetap berada di Provinsi Jerman-Austria. Ini berkaitan dengan perkembangannya dalam kehidupan di komunitas sebagai seorang anggota provinsi.
“Pertimbangan jangka panjang lebih lanjut tentu saja dapat berkembang di tahun-tahun mendatang. Saya percaya bahwa Tuhan akan menunjukkan kepada kita ke arah mana Dia ingin memimpin kongregasi kami. Selangkah demi selangkah. Seperti yang saya katakan di awal, saya senang dengan keberanian dan kepercayaan Sr. Bene. Sebagai orang Kristen, kita memiliki tugas penting untuk menjadi saksi kabar keselamatan Yesus Kristus dalam berbagai cara di seluruh dunia. Dan saya mau melakukan itu,“ ujar Sr. Ruth. FHS