HIDUPKATOLIK.COM – Ke Ujung Timur Indonesia, KSSY Medan berlayar. Mereka ingin memerdekakan anak-anak dari keterbelakangan dan iman umat kian bertumbuh.
SEJAK menerima undangan Uskup Keuskupan Agung Merauke (KAME) saat itu, Mgr. Nicolaus Adi Seputra, MSC, Kongregasi Suster Santo Yosef Medan (KSSY Medan) hadir dan berkarya untuk menjawab kebutuhan Gereja lokal.
Spiritualitas Imago Dei menjadi salah satu alasan KSSY Medan menerima permintaan Uskup untuk berkarya dan menjalankan perutusan di Tanah Papua secara khusus di Paroki Kimaam dan Wendu.
Saat itu Uskup Nicolaus mengatakan, KAME membutuhkan tenaga Suster KSSY mengingat wilayah KAME yang sangat luas. KSSY menerima tawaran itu. Mereka ambil bagian dalam pelayanan pastoral, katekese keluarga, dan pendidikan.
Awalnya KSSY mengutus dua orang anggotanya sebagai pembuka jalan. Keduanya menginjakkan kaki di Merauke pada Juli 2010. Selanjutnya kedua suster berangkat ke Pulau Kimaam untuk mulai menangani karya di bidang pastoral dan pendidikan. Kehadiran KSSY di Kimaam memberi warna tersendiri bagi Gereja di Kimaam yang sebelumnya hanya dilayani pastor.
Para suster aktif di bagian pastoral mendampingi umat doa lingkungan, bina iman anak; membantu di paroki dan stasi untuk pelayanan dengan medan dan jarak tempuh yang tidak mudah.
Hingga kini para Suster KSSY setia melayani di Kimaam. Dari waktu ke waktu, anggotanya silih berganti mengalami penggantian. Saat ini ada lima suster. Mereka adalah Sr. Yopiniana S. KSSY; Sr. Angelina Pane, KSSY; Sr. Mamerta Sinaga, KSSY; Sr. Mauritia Harianja, KSSY; dan Sr. Anselma Hasugian, KSSY.
Empat tahun terakhir, KSSY melebarkan sayapnya dengan mengirimkan anggotanya membuka komunitas baru untuk melayani di paroki Bunda Hati Kudus Wendu.
HIDUP menemui Sr. Vincentine Nainggolan, KSSY, sebagai Pimpinan Komunitas St. Lukas Wendu pada hari Jumat, 1/4/2022. Ia mengisahkan bagaimana para suster hadir dan ambil bagian dalam pelayanan pastoral dan pendidikan di wilayah Wendu yang terletak di pesisir pantai dengan mayoritas umat Katolik.
Selain Sr. Vincentine, di Komunitas St. Lukas Wendu terdapat tiga anggota, yaitu Sr. Dolorosa Sinaga, KSSY (Kepala TK); Sr. Valeria Tumanggor, KSSY; dan Sr. Martha Marbun, KSSY (membantu di SD YPPK Wendu). Para suster juga menangani bidang pastoral paroki karena sejauh ini KSSY belum memiliki karya yang dirintis sendiri.
“Saat awal tiba, kami harus siap mengadapi situasi riil yang ada di Papua, yang berbeda dengan palyanan kami sebelum datang ke sini. Di sini, kami ikut bertanggung jawab dalam kehidupan umat dan generasi muda dalam kehidupan menggereja,” kata Sr. Vincentine.
Menurut Sr. Vincentine, keadaan paroki yang berada jauh di pedalaman dengan medan pelayanan yang menantang, perlu proses penyesuaian diri. “Kami perlu menerima situasi dan hidup baru yang jauh berbeda dengan segala suka-duka, jatuh bangun. Kami juga menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Ini tentunya menjadi tantangan baru yang harus kami jalankan” tuturnya.
Harus Mekar
Budaya yang ada, bagi Sr. Vincentine, agak asing dan berbeda, namun hal itu tentunya tidak menjadi suatu halangan. “Kami harus mencintai setiap budaya. Ibarat bunga, kami harus mekar di mana pun kami ditanam. Kami harus bisa menyesuaikan diri. Hanya dengan demikian kami dapat melayani, mencintai, dan masuk dalam budaya dan situasi setempat,” katanya.
Sejauh ini, kata Sr. Vincentine, perbedayaan budaya tidak menjadi penghalang. Segala kekurangan, kecemasan yang ada ketika masuk ke tempat baru diyakini sudah disediakan Tuhan. “Kami berserah kepada penyelenggaraan Ilahi. Ini sikap iman yang terus kami asah. Ketika berserah, segalanya ditambahkan. Segala tantangan dan kesulitan menjadi ringan,” tuturnya.
Sr. Vincentine mengatakan, kehadiran KSSY di Wendu dan Kimaam menuntut pelayanan dengan ketulusan hati. “Hal ini penting. Untuk datang ke Papua, kami melihat bahwa sepertinya budaya lebih dipentingkan daripada kehidupan menggereja. Hal yang sama dengan pendidikan formal bagi anak-anak sekolah. Kondisi ini membawa sebuah keprihatinan yang sangat besar sehingga masih harus terus diperjuangkan,” urainya lebih jauh.
Sr. Vincentine dan kawan-kawan memulai sekolah alam di empat kampung sebagai sekolah nonformal. “Kami mengajarkan anak-anak mencintai alam. Sekitar 20 anak di setiap kampung mengikuti sekolah alam ini dengan usia TK, karena cuma ada satu-satunya TK Samb Kai Bunda Hati Kudus Wendu milik paroki. Makanya ditambah sekolah alam karena keprihatinan dan jarak yang begitu jauh,” tuturnya.
Di sekolah alam, kata Sr. Vincentine, selain belajar calistung, mengenal alam, bermain di alam, bersih-bersih, anak-anak juga dilatih dalam hal kemandirian sejak dini. “Selain itu, bina iman sangat penting. Pendampingan sekolah alam ini dilakukan empat kali seminggu. Apabila hujan, anak-anak tidak datang tetapi kami tetap bersemangat,” katanya.
Kadang para suster mengajarkan hal-hal kecil dan sederhana, semisal menjaga kebersihan dan kerapihan. “Kami menyiapkan tambahan kacang hijau dari ladang kami untuk tambahan gizi. Permen harus disiapkan sebagai daya tarik anak-anak dalam belajar,” imbuhnya.
Sr. Dolorosa Sinaga, KSSY memiliki pengalaman yang sama. Sebelum ke Wendu, ia bertugas di Kimaam. Ia merasakan bahwa keadaan di Kimaam dan Wendu tidak jauh berbeda. Sebagai Kepala sekolah TK Samb Kai Wendu, ia mengalami tantangan tersendiri. “Kadang ada anak yang tidak datang seminggu atau bahkan berbulan-bulan. Ini membuat anak-anak pasti akan ketinggalan pelajaran dari teman-temannya lain,” ujarnya.
“Keadaan seperti ini membuat saya prihatin karena saya ingin pendidikan anak-anak terus ditingkatkan lebih baik dari hari ke hari. Harus ada kerja sama antara guru dan orang tua,” tambahnya.
Sr. Dolorosa mengakui, orang tua Papua menganggap pendidikan berada di urutan kesekian, sama halnya dengan kehidupan menggereja. “Pendidikan mungkin urutan kesepuluh,” tuturnya.
Pelayanan Pastoral
Paroki Wendu memiliki lima stasi. Setiap suster mendampingi satu stasi sebagai pendekatan pelayanan pastoral. Di sini para suster harus kreatif untuk membangkitkan semangat umat, mendampingi calon Krisma, persiapan Komuni Pertama, Bina Iman, misdinar dan OMK.
“Seberat apapun keadaannya, kami hadapi dan pasrahkan kepada Tuhan. Di saat-saat hendak menyerah, kembali memotifasi diri untuk tetap berjuang dan tidak pernah berputus asa,” tutur Sr. Dolorosa.
Sr. Dolorosa mengakui, sejauh ini ia senang berkarya di Papua. “Saya lihat, sesederhana apapun saya memberi pelayanan, hal itu sangat bernilai bagi umat yang saya jumpai di Papua ini,” katanya.
Helen Yovita Tael (Kontributor, Merauke)
HIDUP, Edisi No. 15, Tahun ke-76, Minggu, 10 April 2022