HIDUPKATOLIK.COM – Santo Thomas Aquinas mengatakan, “God therefore neither wills evil to be done, nor wills it not to be done, but wills to permit evil to be done; and this is a good.” (Tuhan tidak menghendaki hal yang jahat terjadi, atau menghendaki itu tidak terjadi, tetapi mengizinkan hal yang jahat itu terjadi, dan ini merupakan kebaikan). Bagaimana mengartikan kalimat ini, Romo? Apakah betul Tuhan mengizinkan hal yang buruk terjadi, seperti perang Ukraina-Rusia? (Paulinus, Jakarta)
UNGKAPAN St. Thomas ini terdapat dalam Summa Theologiae, bagian I, pertanyaan 19, artikel 9 sebagai jawaban atas pertanyaan: apakah Tuhan menghendaki kejahatan?
Untuk menjawabnya Thomas membedakan apa yang pokok dari apa yang mengiringinya. Di sanalah ada beda antara kehendak dan izin. Tuhan selalu menghendaki kebaikan. Dia juga menghendaki ciptaan-Nya menginginkan kebaikan, bahkan lebih lagi Dia menghendaki kebaikan ilahi. Sebaliknya Dia tidak menghendaki adanya kejahatan atau bahwa kejahatan dilakukan, karena kejahatan selalu berarti penghilangan kebaikan lain dan membatasi ketertitban sejati demi kebaikan ilahi itu.
Namun dalam mencapai kebaikan pokok itu melekatlah sarana tertentu yang bisa bersifat jahat. Diberikan contoh: salah satunya singa membunuh rusa. Singa membutuhkan makanan. Yang pokok adalah makanan. Membunuh rusa adalah sarana, yang melekat pada makanan. Tuhan menghendaki singa makan agar hidup. Namun untuk mendapatkannya singa harus mematikan rusa sebagai ciptaan baik lain. Membunuh adalah kejahatan dan itu tidak dikehendaki Tuhan dan juga tidak dikehendaki untuk dilakukan sebagai tujuan pokok, namun bahwa itu terjadi karena makanan ini, Tuhan mengizinkannya. Itulah tata ciptaan, dan sebagai tata ciptaan itu disebut baik.
Sekarang bagaimana pada manusia, misalnya dalam kejahatan perang? Pada manusia ada tata lain, yaitu akal budi dan kehendak bebas. Manusia juga menghadapi kebaikan pokok dan jalan untuk mencapainya. Berkat penciptaan Tuhan, manusia selalu menginginkan kebaikan: mencari keamanan, kemakmuran, kejayaan, kesenangan, kebahagiaan dan sebagainya. tetapi ketika menentukan jalan untuk mencapainya, manusia berhadapan dengan pilihan. Diperlukanlah peran akal budi dan kehendak bebas.
Misalnya seorang presiden mau mempertahankan keamanan negara, atau menghentikan penindasan suatu bangsa. Ini kehendak yang baik. Namun melawan kehendak Tuhanlah bila ia memilih senjata, menghancurkan rumah-rumah, membunuhi tentara-tentara dan rakyat, padahal ada jalan lain seperti diplomasi dan dialog. Apakah keamanan dikehendaki Tuhan? Pasti. Tetapi apakah Tuhan menghendaki atau setidaknya mengizinkan perang? Dua-duanya juga tidak, sebab dalam hal ini masih terdapat banyak pilihan lain.
Kapan Tuhan ‘mengizinkan’ kejahatan terjadi? Izin Tuhan terhadap kejahatan terjadi dalam tata ciptaan alami, hanya sejauh keburukan itu merupakan sarana kebaikan yang lebih tinggi dan di mana tiada pilihan lain, atau di mana kekurangan kehendak bebas.
Contoh, Seorang ibu melihat anaknya kelaparan, dan tiada cara lain selain mencuri pisang tetangganya, maka kejahatan ibu ini, karena membela kehidupan anaknya, dapatlah dimaklumi. Lain halnya bila ada pilihan: membeli, meminjam, atau memintanya.
Contoh lain, seorang dokter ‘terpaksa’ menggugurkan bayi untuk menyelamatkan nyawa ibu yang terancam. Tak ada pilihan lain. Tuhan selalu menghendaki yang baik. Dari manusia dituntut tindakan moral, yang tak lain adalah kerjasama jujur dengan Tuhannya demi kebaikan ilahi.
Masih tersisa pertanyaan: bayi mati, korban perang atau bencana tetaplah hal buruk. Bagaimana ‘nasib’ mereka? Kita berhadapan dengan misteri kebaikan Tuhan yang tak terselami, yang selain tidak pernah melupakan anak-anak-Nya, juga serentak dengan daya kreatif-Nya berkuasa mendatangkan kehidupan dari situasi kematian sekalipun.
HIDUP NO.15, 10 April 2022
Pastor Gregorius Hertanto, MSC
(Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.