HIDUPKATOLIK.COM – “WAAAAH.., Ibu curang…!” bisik Kinay mengamati kelakuan Ibu saat mengeluarkan gula sachet dari dalam tas. Lalu membuka kantong plastik kecil berisi sendok dan tisu sebagaimana biasa terdapat dalam nasi kotak. Perlahan Ibu mengaduk teh panas di hadapannya.
“Ini kreatifitas dalam perekonomian, bukan curang,” balas Ibu sambil terus mengaduk teh.
Kinay mengerutkan kening menatap Ibu. Geli dengar istilah Ibu soal kreatifitas dalam perekonomian. Lagaknya kayak Sri Muyani saja, padahal ini sekadar perbedaan harga teh tawar panas dan teh manis panas di restoran. Bak pengamat ekonomi sejati, Ibu selalu bilang kalau teh tawar itu 5000 rupiah, sementara harga teh manis 8000. Bedanya cuma soal sendok. Kalau teh manis ada sendok di gelas, teh tawar tidak. Jadi Ibu selalu pesan teh tawar ditambah pesan khusus, airnya harus mendidih, kepekatan sedang dan enggak boleh dicampur air dingin. Panas maksimal, bukan hangat. Begitu selalu Ibu mengeja pesannya ke pelayan dengan suara lembut tapi tegas.
Baru setelah itu perlahan Ibu mengorek-ngorek tasnya yang mirip kantong ajaib Dora Emon. Segala ada. Obat-obatan dari yang diminum maupun sekadar digosokkan sampai kancing baju, peniti, gula bubuk, teh celup, semua lengkap. Pokoknya berjalan bersama Ibu semacam berselancar di toko kelontong. Dalam keadaan terjepit Ibu selalu tampil sebagai pemberi jalan keluar meski dengan gerakan lambat dan suara lembut.
Seperti perihal teh panas. Dengan ketersediaan gula di tas Dora Emonnya, beliau menghemat Rp 3000. Apalagi gula-gula sachet itu bukan pula dibeli khusus, tapi kalau anak-anak mengajak Ibu staycation di hotel, pasti persediaan gula gratis di kamar dimasukin tas. Bahkan sabun pun ada di tas Ibu. Soal ini seringkali jadi bahan tertawaan anak cucu. Padahal mereka juga yang paling sering terselamatkan benda-benda dalam tas Ibu. Begitulah ibu selalu keluar rumah dengan tas besar, lumayan berat tapi selalu bawa sendiri meski sedikit kepayahan. Tapi teryata kebahagian Ibu sungguh tak terperi ketika muncul sebagai penyelamat dalam kesederhanaanya.
***
“Ibu makan bubur saja. Ini dagingnya keras. Ibu kan enggak punya gigi,” seru Kinayan mencoba menawarkan menu.
“Eehhh..jangan anggap remeh ya! Ibu mau Sirloin Steak dengan saus jamur pakai kentang goreng. Bukan kentang yang dilumat-lumatin itu. Apa namanya?”
“Mashed Potatoes.”
“Enggak mau yang itu ya. Kayak di fast food … yang panjang-panjang.”
“French Fries? Ibu nggak bisa gigit nanti.”
Ibu malah ngotot minta sesuai keinginannya. Akhirnya Kinay menurut, sebab pikirnya kalau nanti Ibu enggak habis, paling dia kebagian menyelesaikan. Itu menyenangkan juga, sebab pesanan Ibu kebetulan juga kesukaannya.
“Oh iya.. kentangnya pakai lumuran keju gitu ya. Bukan kentang biasa-biasa. Kalau tanpa keju ibu juga bisa bikin sendiri.”
“Cheese Fries?”
Ibu mengangguk tersenyum seperti ingin segera menyantap.
“Ibu kan enggak suka keju. Ngapain sih. Kentang goreng biasa sajalah. Itu pun Ibu belum tentu bisa gigit. Mau sok pakai keju pula. Lagian lebih mahal tuh. Teh panas selisih 3000 saja Ibu rewel.” Kinay berusaha menginagtkan. Bukan marah tapi memang seperti itu pola komunikasi mereka. Akrab, meski kadang buat sebagian orang terdengar Kinay kurang sopan. Padahal sekadar bentuk keakraban tak berjarak karena saling memahami.
Kinay memesan untuk dirinya segelas jeruk panas dan Macaroni and Cheese. Makanan ibu datang lebih dulu. Ibu mengajak berdoa dan benar saja, tak sampai 5 menit ibu berhenti makan setelah berusaha mengunyah satu French Fries dan brokoli terkecil sebagai penghias piring Sirloin Steaknya.
“Tuh kan..! Aku bilang juga apa. Ibu enggak bakal bisa makan ini. Suka sok gitu sih. Biasa juga makan bubur, ngapain pesan beginian. Banyakan gaya Ibu ah. Tahu gitu tadi enggak usah pesan buat aku. Pasti kebagian tugas habisin sisa Ibu,” Kinay bersungut-sungut.
“Ini bukan sisa Ibu. Ini makanan kamu.”
“Aku sudah pesan, Bu.”
“Semua pesanan Ibu makanan kesukaan kamu.”
“Memang.”
“Ibu mau traktir semua yang kamu suka. Kamu tahu kan Ibu nggak bakal pesan beginian. Tapi kamu juga pasti enggak bakal pesan ini karena maunya mendahulukan Ibu biar uangmu cukup.”
Kinay tersentak. Kenapa Ibu tahu sesungguhnya dia degdegan dari tadi dengan semua pesanan Ibu. Biasanya Ibu pilih menu paling sederhana. Bukan makanan tujuan utama Ibu, tapi kesempatan bisa bersama anak yang nyaris enggak pernah punya waktu mengisi sepinya.
“Ayo makan!”
Kinay tercekat, tak kuasa menyentuh makanan. Air mata keburu menetes bersamaan dengan pesanannya datang.
“Bungkus saja itu, Mas,” sela Ibu sebelum lagi pelayan meletakkan Macaroni Cheese berlapis lelehan keju menggairahkan.
“Kok dibungkus? Pesanan aku.”
“Kamu enggak suka. Itu kegemaran anakmu. Pasti nanti kamu colek sedikit lalu pura-pura tidak habis, terus minta dibungkus supaya anakmu bisa menikmati menu favoritnya.”
Kinay terpaku. Lagi-lagi Ibu tahu semua!
“Kinay, kita sedang sama-sama berperan sebagai ibu.”
Air mata Kinay mendadak deras mengalir, betapa Ibu sangat mengerti anaknya, tapi dia sebagai anak tak memahami Ibu. Betapa Kinay selalu berusaha memahami putri semata wayangnya, yang juga kerap kali tak peduli padanya. Tapi Kinay tetap penuh cinta serta berusaha membahagiakannya.
Ibu menatap Kinay penuh kasih. “Menjadi ibu tidak mudah, nak, tapi menyenangkan. Jadilah ibu yang baik, tidak rewel, jangan banyak menuntut. Cinta seorang ibu tidak pernah berbatas. Ibu tidak menuntut apa-apa, tapi satu ingin ibu sampaikan, ibu kesepian.”
Dari seberang meja tangan Ibu meraba pipi Kinan. Bibir Kinay bergetar, tak kuasa berucap sesuatu. Berusaha bangkit ingin memeluk tapi Ibu menghilang.
Kinay tersentak, terbangun sambil mendesis: “Ibuuuuu, kamu ada di sini? Ibuuu.., jangan pergi. Aku tahu Ibu di sini, aroma minyak kayu putih cap ayam yang selalu kubalur di jemari kaki ibu masih tertinggal.”
Seluruh ruangan terasa dingin meski tanpa pendingin ruang. Hanya Kinay merasakan pipinya hangat seakan tangan Ibu masih melekat. Jumat malam yang menghadirkan Ibu dalam kehangatan kasih yang tak pernah putus meski Ibu sudah tak lagi bisa dipeluk.
Jumat malam serupa yang akan selalu diharapkan Kinay berulang. Padahal dia tahu persis momen yang baru hadir dalam mimpinya adalah ritual kecil bila menghabiskan sabtu bersama Ibu. Pun tak setiap Sabtu dapat berlangsung. Ahh… sekarang tak lagi ada hari bersama Ibu. Beliau bisa datang kapan saja. Tapi apakah Kinay akan selalu punya waktu menyambut kunjungan Ibu? Sebagaimana selama ini?
Terduduk Kinay menangis pilu. Sangat paham sia-sia ada penyesalan sebab waktu tak pernah kembali. Waktu yang tak pernah cukup untuk ibu pun tak bisa diukir ulang. Menyesali tidak memanfaatkan waktu bersama Ibu semasa hidupnya pun sama sekali hampa. Semua berlalu. Kinay meraba sekali lagi pipinya. Berharap tangan Ibu masih di situ.
***
Lonceng gereja yang sudah lama tak terdengar menggema. Berat telapak kaki Kinay meniti undakan demi undakan. Sayup terdengar lagu Haec dies quam fecit Dominus; exsultemus etlaetemur in ea……..
Kinay nyaris menghentikan kaki, tak kuasa melangkah dan ingin berbalik. Tetapi seorang wanita tua menyentuh bahunya, minta tolong menuntun menapaki tiga undakan anak tangga lagi agar bisa masuk gereja. Spontan Kinay menuntun, dan wanita tua itu pun takut melepas genggaman. Akhirnya Kinay mengikuti langkah wanita tua tersebut dan duduk bersebelahan.
Kinay melirik wanita tua di sebelahnya sedang membuat tanda salib, tetap duduk karena tampak lututnya bergetar. Tak mampu berlutut. Kinay lalu memusatkan tatap ke altar lalu berlutut dan membuat tanda salib.
“Ini Paskah pertama tanpamu, Ibu…..!” batin Kinay sebelum memulai doa.
Susah payah Kinay menata hati sambil memusatkan perhtaian pada setiap rangakaian kalimat yang disampaikan pastor dari altar. Mendadak berharap mendapat kekuatan dari seseorang karena tubuhnya terasa bergetar merindukan Ibu ada di sisinya sebagaimana Paskah-Paskah lalu, Kinay perlahan mengegser tangan. Berusaha menggapai tangan keriput wanita tua di sebelahnya.
Betapa dia terkejut saat menoleh ke samping kanan, tak mendapatkan tangan keriput yang dicari. Tak ada siapapun di sebelahnya selain bangku kosong dengan tanda silang merah. Tanda setiap orang harus berjarak dalam masa pandemi.
Lagi-lagi Kinay terkesima dan menggumam: “Ibuuuuuu….”
***
Kinay mengambil secarik kertas dari tasnya yang sekarang pun semacam tas Dora Emon ibu, meski perlengkapannya tidak sekumplit ibu. Benar saja, tidak ada pulpen di tasnya, tetapi ada lipstik merah menyala hadiah buat ibu yang belum sempat diberikan akibat kesibukannya. Sekarang tak sempat lagi.
Dengan ujung lipstik Kinay mencurahkan isi hati lewat tulisan: “Sejak aku lahir, Ibu sudah memberikan seluruh waktunya untukku. Tapi kenapa aku tidak memberikan bahkan setengah saja waktuku untuk Ibu? Hingga Ibu tiada pun tetap menjadi malaekat utusan Tuhan selalu menemani. Maafkan aku, Ibu.”
Kinay berjalan ke gua Maria yang bersebelahan dengan gereja. Meletakkan kertasnya dan membakar sebatang lilin. Lalu berucap: “Selamat paskah, Ibu.”
Oleh Ita Sembiring
HIDUP, Edisi No. 16, Tahun ke-76, Minggu, 17 April 2022