HIDUPKATOLIK.COM—Saat menderita sakit yang menyebabkan dirinya bisu total, ia dianjurkan keluar dari biara oleh sang dokter. Namun, dengan tegas ia menolak usul tersebut.
EMPAT bulan sudah suaranya terkunci. Bisu total. Bahkan beberapa dokter sudah ia datangi untuk berobat, namun tak juga kunjung sembuh. Sampai suatu hari, seorang dokter malah menganjurkannya agar keluar saja dari Biara pertapaan. Hatinya mencelos, tapi daya dalam dirinya begitu kuat. “Daripada harus keluar, lebih baik saya mati sebagai seorang Karmelite. Siapa yang bisa menjamin, kalau saya keluar dari Pertapaan akan sembuh?,” Tanyanya pada sang dokter secara tertulis.
Begitulah awal perjalanan iman Sr. Dorothea Yekti Handayani, O.Carm, seorang Rubiah Karmel. Pengalaman sakit tersebut dialaminya ketika menjalani hidup sehari-hari di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” Batu Malang. Pergulatan dalam dirinya terasa semakin hebat di saat ia sudah menyerahkan diri sepenuhnya untuk Tuhan dan Gereja, tulus hidup dalam klausura (area tertutup dalam biara) dan melepaskan diri dari ‘dunia luar’ untuk masuk dalam keheningan lahir-batin (silentium magnum) serta doa yang tiada henti.
Di tengah arus perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup yang mengagungkan hedonisme dan konsumerisme, menjadi seorang Suster Kontemplatif adalah sebuah pilihan yang radikal. Tidak banyak orang memilih. Penyangkalan diri dan melepas semua atribut yang dimiliki untuk hadir dengan hati murni dan sederhana di hadirat Tuhan adalah prasyarat mutlak. Hal itulah yang dilakukan oleh Suster kelahiran Singosari, 19 Januari 1966 ini.
Penyangkalan diri dan melepas semua atribut yang dimiliki untuk hadir dengan hati murni dan sederhana di hadirat Tuhan adalah prasyarat mutlak
Bergulat dengan Sakit
Setelah menyelesaikan kuliah di Akademi Koperasi (AKOP) Malang, Ani, begitu sapaan masa kecilnya, sempat bekerja. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dijalani. Ia ingin hidup sejahtera. “Saya ingin mencari penghasilan yang lebih baik demi masa depan,” kenangnya.
Dibalik kerja kerasnya, anak kelima dari sembilan bersaudara ini tidak bisa membohongi diri. Panggilan menjadi seorang biarawati begitu kuat menggema dalam sanubari. Setiap kali berusaha untuk mengabaikan, suara itu semakin keras memanggil. Tak kuasa menahannya, ia memutuskan untuk menjadi biarawati. Pilihan harus diambil. “Saya mau menjadi suster pertapa, supaya sakti,” ujarnya mengenang motivasi awal menjadi seorang pertapa.
Meninggalkan pekerjaan dengan segala penghasilannya, Ani memasuki biara pertapaan Karmel “Flos Carmeli” Batu Malang, tahun 1991. Hidup dalam doa dan kesederhanaan. Hanya jubah coklat, membalut tubuhnya. Sehari-hari ia berkawan dengan keheningan dan doa dalam tembok biara. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan duniawi. Hidupnya tak lagi sama.
Memasuki Novis ke-2, tenggorokannya mulai bermasalah. Keadaan fisiknya pun mulai sakit-sakitan. Namun keadaan ini tidak menyurutkan semangatnya untuk hidup sebagai rubiah Karmel. Tidak ada penyesalan terhadap keputusan yang diambil. Ia bahagia dengan cara hidup ini. Maka ketika dokter menganjurkan untuk pindah atau keluar, ia teguh pada pilihannya. “Dok, untuk pindah itu tidak gampang. Sebagai seorang rubiah, kami mempunyai aturan atau hukum stabilitas loci (tidak pindah-pindah). Dan kalau harus mati, saya mau mati sebagi seorang karmelite,” tegasnya.
Lulusan SMA St. Albertus Dempo Malang ini berkisah. Setelah beberapa dokter mengobatinya, ia lalu menjalani pengobatan pada seorang dokter THT, selama dua tahun. Suatu ketika, sang dokter THT berkata kepadanya. “Suster, carilah udara yang panas. Dan itu ada di Kalimantan. Apakah suster mempunyai biara di Kalimantan? Kalau ada, coba dulu. Siapa tahu cocok,” ujarnya menirukan sang dokter.
Bunda dan Cahaya Karmel
Anjuran dokter itu ia sampaikan kepada pemimpin Biara Pertapaan. Kemudian Suster Dorothea, sapaannya kini, diberi kesempatan ke Kalimantan, sebagai peninjau. Pimpinan berpesan, “Kalau tidak bisa juga di sana, kembali saja ke Malang.” Berbekal restu itu, berangkatlah ia ke Biara Pertapaan Karmel St. Joseph, Tangkiling, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Tiga bulan meninjau kehidupan di pertapaan tersebut, Suster Dorothea menegaskan untuk memperpanjang masa penyesuaian hingga tiga tahun. “Selama masa itu, setiap pagi saya mengunjungi Gua Maria. Tidak jauh dari biara, tapi berada di bukit. Maria, Bunda dan Cahaya Karmel, nama Gua tersebut,” ucapnya. Disana Tidak henti-hentinya ia memohon, “Bunda tolonglah. Sembuhkan saya. Saya ingin berkarya di sini dari dulu, tapi saya sakit-sakitan.”
“Bunda tolonglah. Sembuhkan saya. Saya ingin berkarya di sini dari dulu, tapi saya sakit-sakitan.”
Seiring berjalannya waktu, Suster Dorothea kian merasa nyaman dan bahagia bisa bercerita apa saja dengan Bunda Maria. “Bunda, saya ingin berkarya, merawatmu di tempat ini. Pimpinan mengatakan di Kalimantan dokter sulit. Wong di Malang yang dokternya banyak saja tidak bisa sembuh juga. Apalagi di Kalimantan,” kisahnya menirukan doanya kepada sang Bunda Yesus.
Letak Gua Maria itu sendiri berada di ketinggian bukit Karmel. Kompleks itu dilengkapi dengan stasi-stasi Jalan Salib. Memang banyak peziarah yang mengunjungi Gua Maria itu. Dari penuturan mulut ke mulut, banyak peziarah mengisahkan doa-doa mereka dikabulkan. “Kata orang doa-doa mereka dikabulkan berdoa kepada Bunda Maria tersebut. Kebanyakan dari mereka ingin memiliki keturunan dan doa mereka terkabulkan. Bahkan yang beragama lainpun banyak berziarah kesini. Itu menurut cerita mereka. Namun bagi saya, Bunda Maria menjadi teman curhat dan penolong sejati,” ungkapnya tulus.
Tabernakel
Selain itu, Suster yang mengikrarkan kaul kekal pada 2 Februari 2001 ini juga rajin mengunjungi Tabernakel untuk memohon kesembuhan pada Yesus. Setiap kali berada di Tabernakel, ada suara dalam hati yang muncul berulang-ulang, “Aku haus.” Inilah kata-kata yang diucapkan Yesus ketika berada di atas kayu salib. Suara itu begitu mengusik batinnya. Yesus seakan-akan berkata padanya, “Aku menunggu cintamu di Tabernakel.” Sebuah undangan Yesus untuk mengunjungi-Nya.
Undangan kekasih jiwanya itu pun ia tanggapi. Bersimpuh di depan Tabernakel, sekali lagi ia melambungkan doa pengharapannya. “Tuhan sembuhkanlah aku. Kalau Engkau menunggu cintaku di Tabernakel, buatlah aku sembuh,” pintanya penuh iman.
Iman, pengharapan, dan kasih itu pun berbuah manis. Ketika tiga tahun masa penyesuaian hampir habis untuk bisa menjadi anggota definitif, mukjizat terjadi. Suster Dorothea sembuh. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi suara yang menggema dalam dirinya, “Aku Haus”. Tuhan sungguh telah menyembuhkannya.
Bergegaslah ia dengan riang dan takjub menuju gua Maria. “Sekarang bunda saya di sini. Setiap hari saya akan membersihkan rumah dan pekaranganmu. Saya bilang begitu seperti anak kecil,” kenangnya. Tidak hanya itu, selama tiga tahun, selain bertugas di kompleks gua Maria, setiap hari ia juga mengunjungi Tabernakel. “Tabernakel, tempat tersembunyi, namun Yesus ada dan sungguh hidup. Mengalirkan rahmat dan kekuatan yang menghidupkan,” ujarnya lirih dengan sorot mata penuh kasih.
“Tabernakel, tempat tersembunyi, namun Yesus ada dan sungguh hidup. Mengalirkan rahmat dan kekuatan yang menghidupkan.”
Batas yang Tidak Membatasi
Kini, sudah 30 tahun Suster Dorothea hidup sebagai seorang Rubiah. Baginya ini adalah sebuah jalan hidup yang membebaskan. Hidup dalam batas yang tidak membatasi. Ia pun menuangkan refleksi pengalaman hidupnya dalam buku “Sinar Jiwa’” terbitan Karmelindo. Dalam salah satu puisi berjudul “Batas” ia merangkum makna hidupnya sebagai seorang rubiah Karmel:
“Hidupku dalam batas klausura. Ruang gerakku terbatas. Mataku melihat sangat terbatas. Telingaku mendengar juga terbatas. Berbicarapun sama halnya. Namun kehidupanku sunguh tak terbatas.
Tanganku merangkul dunia. Hatiku menjadi seluas samudra. Karyaku sederhana. Tetapi butuh iman, cinta dan kesetiaan yang besar. Hari-hariku seutuhnya untuk Gereja. Kegembiraan, kepahitan hidup, semua menjadi persembahan cinta.
Mazmur dan kidung pujian merupakan napas dan semangat hidupku. Aku bangga dan bahagia, hidup dalam batas klausura karena pelayananku menjadi tak terbatas. Doa dan korban yang terus-menerus, bagai dupa yang membumbung tinggi adalah persembahan cinta sebagai seorang rubiah Karmel.
Saat ini, Suster Dorothea menjadi Priorin atau Pimpinan Biara Pertapaan St. Joseph Karmel Tangkiling, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dalam Biara Pertapaan tersebut terdapat tujuh suster yang sudah menjadi anggota devinitif, satu Suster Yunior, satu Novis, dan satu Aspiran. Dari dalam klausura, para Rubiah ini menjangkau dunia dan memeluk Gereja lewat karya-karya sederhana dalam keheningan, doa, dan laku tapa.
RP. Yoseph Pati Mudaj, MSF
Majalah HIDUP Edisi 09 Tahun 2021 Terbit 28 Februari 2021