HIDUPKATOLIK.COM – “Kami tinggal sendiri, tetapi tidak pernah sendirian. Kami kurang dikunjungi, tetapi jiwa kami tidak kesepian dan merana karena Tuhan tinggal di hati kami.”
SUDAH 30 tahun misi Katolik masuk di Desa Wambasalahin, Pulau Buru, Maluku. Selama itu pula belum pernah ada seorang uskup pun datang ke tempat itu. Untuk sampai ke desa itu, tidak ada transportasi lain selain berjalan kaki dua jam lamanya dari Desa Debu, dekat Kota Buru. Medan yang berbukit, lembah, serta sungai, dan jalan berlumpur membuat desa ini terisolir. Maka ketika Mgr. Seno Inno Ngutra menyatakan minatnya mengunjungi umat di Wambasalahin, semua orang bertepuk jidat. “Itu medan yang sulit, Yang Mulia,” tegas seorang umat di Desa Debu.
Atas dasar cinta, Mgr. Inno bersama para diakon dan katekis dari Sekolah Tinggi Pastoral Agama Katolik Ambon mengunjungi umat Wambasalahin, Desember 2021. Kehadiran uskup membuat haru seisi desa. Ia disambut dengan sukacita oleh kepala soa (desa) kepala adat, pendeta Gereja Sidang Jemaat Allah, Ketua Majelis Gereja Protestan Maluku (GPM), orang dewasa bahkan anak-anak. “Karena apa Bapak ke mari? Kedatangan Bapak menjadi sejarah bagi kami. Bapa datang untuk melihat kekurangan kami…” demikian penggalan lagu penyambutan kepada Mgr. Inno.
Tidak saja orang beragama, di desa pegunungan ini, Mgr. Inno bertemu dengan tetua adat yang belum beragama. “Mereka sangat rendah hati, terbuka, dan mau dekat dengan kami. Mereka mengajarkan saya untuk merunduk di depan mereka,” ungkap Mgr. Inno. Lanjutnya, Pulau Buru dan Seram adalah cinta pertama setelah terpilih sebagai uskup.
Kado dari Buru
Kepala Paroki St. Petrus Waipo, Buru, Pastor Andre Buarlele, MSC mengatakan umat begitu terharu dan makin bersemangat dalam hidup menggereja setelah kunjungan itu. Ada tetua adat yang belum beragama bahkan meminta supaya anak dan cucu mereka silakan dibaptis asalkan diperhatikan pendidikan dan masa depan mereka.
Pastor Andre melanjutkan meski umat hidup dalam kesederhanaan, tetapi militansi umat Katolik di Buru begitu kuat. Mereka menjadi minoritas tetapi relasi mereka dengan umat beragama lain sangat tinggi. Maka ketika Mgr. Inno mengetuk hati umat Buru, umat merasa begitu diperhatikan.
Rasa cinta kepada Gereja ini terungkap di Stasi Lele, daratan Waepo, Buru. Saat Mgr. Inno mengunjungi masyarakat di sana, para tetua adat dan dewan stasi memberikan “kado” terindah kepada Gereja Amboina. Mereka menghibahkan 1.5 hektar tanah kepada Gereja untuk mewujudkan cita-cita Mgr. Petrus Mandagi, MSC terkait pembangunan kolose dari TK-SMA berasrama. “Ini bukti mereka merasa Gereja benar-benar hadir dalam kehidupan mereka. Kerelaan umat untuk berkorban sangat besar,” ujar Pastor Andre.
Tidak saja dua desa yang dikunjungi Mgr. Inno. Ia juga berkesempatan mengunjungi dua desa lain yaitu Desa Batlale di Namlea, Buru dan Desa Waelo, dataran Waepo. Pada zaman Orde Baru, Desa Waelo adalah desa para tahanan politik (tapol). Sebagai tapol, banyak dari mereka dijauhi warga setempat karena dianggap orang jahat. Selama pengasingan, para tapol ibarat menelan racun yang menggerogoti tubuh setiap waktu. Mereka harus menghadapi kerasnya alam untuk bertahan hidup, membuka hutan dan mengolahnya jadi lahan pertanian produktif. Setelah para tapol dinyatakan bebas, sebagian memilih tinggal, sebagian lagi ke daerah asal. Status mereka yang tinggal berubah dari tapol menjadi transmigran swakarsa.
Kehadiran Mgr. Inno di Waelo, menghapus kesan seram dan menakutkan di wilayah ini. Ia diterima oleh umat beragama Islam yang mayoritas di desa itu. Semua orang bahu-membahu membuka tangan menolong umat Katolik Waelo. Ada perjumpaan antara anak-anak berbeda agama tanpa curiga. “Kita adalah saudara dari satu rahim Bupolo (Pulau Buru),” demikian moto perjumpaan itu. “Saya begitu terharu. Saya disambut dengan cinta, dihargai dalam adat dan budaya Buru, merasa lahir dari rahim yang sama,” sambung Mgr. Inno.
“Terima kasih, Yang Mulia sudah datang ke bumi kami. Tapi, siapa kami ini sampai Yang Mulia mengunjungi kami? Kalau Yang Mulia datang mengukir senyum di hati kami, kami mohon atas nama Gereja, berkatilah tempat yang kami pijak ini,” begitu harapan seorang umat. Dengan meneteskan air mata, Mgr. Inno mengangkat tangan dan memberkati mereka dengan bahasa setempat: opolastala berkate kimi huluk-huluk (Tuhan memberkati Anda dengan kelimpahan).
Kaos Oblong dan Sendal Jepit
Tempat kedua setelah Buru yang dikunjungi Mgr. Inno adalah Pulau Seram. “Bapak Uskup, 70 kilometer harus kutempuh dengan motorku untuk melayani jiwa-jiwa yang haus,” ceritau Kepala Paroki St. Maria Vianey, Wahai, Pastor Kundrado, SVD kepada Mgr. Inno. “Karena panggilan, antar aku bertemu jiwa-jiwa itu,” sambung Mgr. Inno.
Dari Desa Wahai, Mgr. Inno mengambil lintasan potong menuju Desa Labuan, Seram Utara. Perjalanan yang cukup melelahkan, tetapi terjawab ketika penerimaan umat yang begitu antusias. Ia diterima oleh Ibu Pendeta GPM dan berkesempatan berdialog denga Kepala Desa terpilih, Brudo Rado.
Di antara semua kesan yang ditampilkan di Seram Utara, kesan mendalam dirasakan Mgr. Inno adalah di Desa Oping, di pantai Utara Pulau Seram. “Yang Mulia datang dengan kaos oblong dan bersendal jepit. Kami merasa dia adalah salah satu di antara kami,” begitu Ketua Stasi Labuan memberi kesan. “Kami tinggal sendiri, tetapi tidak pernah sendirian. Kami kurang dikunjungi, tetapi jiwa kami tidak kesepian dan merana karena Tuhan tinggal di hati kami,” sebut umat lain dengan meneskan air mata.
Desa Oping ditempuh dari Desa Wahai sekitar 1 jam lebih dengan medan yang berlumpur. Masyarakat asli desa ini dibaptis tahun 1984 dan belum pernah dikunjungi seorang uskup pun sejak menjadi Katolik. Kehadiran Mgr. Inno memberi “nutrisi” kepada mereka untuk terus setia pada iman. Sukacita dan senyum mengembang di wajah polos yang merindukan tatapan, jabatan tangan, dan pelukan gembala mereka.
“Seumur hidup kami tahu kami ada uskup. Pernah lihat fotonya, tetapi belum pernah bertemu. Kini, hati kami tenang. Saya bisa berpulang dalam damai. Sebuah ungkapan tulus seorang kakek yang diberkati Mgr. Inno. Ia bak Zakharia dalam Kitab Suci yang ikhlas “berpulang” dalam damai setelah melihat Kanak Yesus.
Tetap Bertahan
Kunjungan ketiga adalah ke wilayah Pulau Teor dan Kesui, mulai 12-22 Februari 2022. Teor dan Kesui adalah wilayah di gugusan pulau-pulau kecil di ujung Timur Pulau Seram. Perjalanan dari Kota Ambon menempuh dengan kapal laut sekitar 2 hari dan 3 malam. Pusat paroki di Desa Karlomin dengan 3 stasi yaitu Stasi Wuning, Stasi Rumalusi, dan Stasi Ker-ker. Akibat kerusuhan berdarah tahun 1999, umat Katolik di paroki ini melarikan diri ada yang pulang ke Kei Kecil, Papua, dan Tanimbar. Baru tahun 2005, mereka kembali dan menyaksikan rumah mereka hancur berantakan. Ada rasa kesedihan mendalam, tetapi hati mereka dikuatkan oleh iman kekatolikan.
Kini tunas-tunas muda mulai mekar kembali. Iman kekatolikan mulai bergeliat kembali sehingga mencapai 1.646 jiwa dari 371 kepala keluarga. Daerah ini kaya akan pala dan cengkeh yang menjadi penopang ekonomi umat. Namun karena kesulitan transportasi sehingga umat terpaksa menjualnya dengan harga murah. Bahkan ada sebagian anggota masyarakat yang karena kesulitan ekonomi, menggadaikan hasil kebun pala dan cengkeh sebelum masa panen tiba.
Di Paroki Karlomin, umat telah memiliki Gereja yang baru diberkati pada 2013 oleh Mgr. Mandagi. Butuh waktu lama setelah kerusuhan Maluku untuk membangun lagi gereja yang sempat dihancurkan. Kini, mereka tidak saja membangun gereja dalam arti fisik, tetapi sedang membangun persekutuan umat Allah lewat perjumpaan dengan Mgr. Inno.
Ditampar Seorang Gadis
Kunjungan terakhir Mgr. Inno sebelum ditahbiskan jadi uskup pada 23 April mendatang adalah ke Paroki St. Fransiskus Xaverius Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Kehidupan umat Katolik di sini sangat indah. Walau menjadi minoritas dengan presentasi 0.42 persen, mereka tetap bangga mempraktikkan iman mereka.
Di paroki ini, Mgr. Inno berkesempatan mengunjungi stasi-stasi. Ada kisah menarik ketika mengunjungi Stasi Barataku, Kecamatan Loloda. Uskup diterima dengan acara adat membasuh kaki dan mengeringkannya dengan rambut atau disebut acara “joko kaha”.
Sebelum memasuki Desa Barataku, ia ditandu oleh empat orang lelaki, dan disambut oleh dua gadis mungil. Ketika tandu itu diturunkan, dua gadis itu berlutut di depannya. Seorang gadis memberi isyarat kepada Uskup untuk mengulurkan kaki ke hadapan loyang yang berisi air. Dengan ragu-ragu, Mgr. Inno mengulurkan kaki, dan ketika itu sang gadis membasuh kakinya dan mencuci debu-debu yang melekat.
“Jujur ada rasa tak layak menghantui batinku. Tangan tak berdosa harus menyentuh kakiku yang berlumuran noda dan dosa,” ujar Mgr. Inno. Tak terduga, tiba-tiba tangan mungil itu semakin merunduk dan mendekatkan wajah ke kakinya. Rambut hitamnya yang lebat segera disatukan. Dengan rambutnya itu, sang gadis mengeringkan kaki Uskup.
“Saat itu hatiku larut dalam penyesalan. Air mata tak tertahankan lagi, dan seluruh tubuhku terasa lemas. Yang tersisa hanya perasaan ketidaklayakan karena dosa-dosaku. Ingin menarik kaki, tetapi takut tetua adat tersinggung,” ujarnya. Gadis kecil ini membuatnya merasa malu. Ia mungkin pulang dengan bangga pernah membasuh dan mengeringkan kaki uskup, namun bagi uskup, ada rasa penyesalan mendalam. “Aku sedang ditegur oleh gadis itu untuk harus rendah hati,” ujar Mgr. Inno.
Di Halmahera, Buru, dan Seram, ada banyak tempat yang dikunjungi Uskup. Setiap tempat memberi pesan tersendiri dalam penggembalaannya. Ia bertemu dengan banyak suku-suku asli yang sudah/maupun belum mengenal Kristus. Meski hampir semua umat yang ditemui merasa sedikit menyesal, kenapa Mgr. Inno mampir di kampung kecil mereka tanpa jubah uskup. Mereka ingin membuktikan kepada umat beragama lain bahwa inilah gembala yang kami banggakan. “Selama ini mereka sangat haus akan perhatian Gereja. Kalau ada pastor atau gembala saja, mereka akan dengan bangga memperkenalkan gembala mereka kepada umat beragama lain,” ujar Mgr. Inno.
Akhirnya, merefleksikan semua perjalanan ini, Mgr. Inno mengatakan, “Saya percaya iman umat di Keuskupan Amboina sekeras ‘batu karang.’ Dalam kesulitan sekalipun, umat akan terus bertahan. Ini adalah modal awal dalam penggembalaan saya.”
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 14, Tahun ke-76, Minggu, 3 April 2022