HIDUPKATOLIK.COM – Osaka, kota metropolis terbesar kedua di Jepang. Merupakan kota pelabuhan sekaligus kota perdagangan. Osaka dikenal juga sebagai metropolis air, karena banyak sungai mengalir membelah kota. Salah satunya ada di area Dontonburi, pusat perbelanjaan dan kuliner yang sangat meriah, apalagi di malam hari dengan lampu warna-warni mendominasi dan musik yang dilantangkan oleh beberapa kedai makanan.
Osaka pernah menjadi ibu kota Jepang, sehingga tak heran di Osaka juga terdapat istana. Istana ini dibangun oleh Toyotomi Hideyoshi selama 15 tahun mulai tahun 1583-1598.
Namun istana ini hancur dan baru dibangun kembali mengikuti bentuk aslinya pada tahun 1931 atas inisatif walikota Osaka. Sempat babak belur akibat perang dunia II, tapi sudah berhasil direstorasi kembali menjadi seperti saat ini.
Namanya Istana Osaka, dengan dinding berwarna putih dan atap berwarna hijau. Lengkap dengan dekorasi berwarna emas yang menghiasai atap. Sangat megah dan indah. Terlebih karena di sepanjang tepi sungai yang mengelilingi istana, bunga sakura sedang bermekaran. Sungguh memanjakan mata dan membuat hati terhibur.
Kota ini berjarak sekitar 515 km dari Tokyo, waktu itu jarak sejauh ini kami tempuh kurang dari 3 jam dengan kereta cepat legendaris Shinkansen. Kami tiba di stasiun Shin-Osaka pada sore hari, sehari sebelum Kamis Putih.
Tentu saja selain jalan-jalan dan kuliner, kami sudah merencanakan ikut misa Kamis Putih dan Jumat Agung selama kami di Osaka ini. Sasaran kami adalah Katedral Osaka.
Katedral Osaka
Katedral Osaka terletak di distrik Chuo-ku tak jauh dari Istana Osaka. Jarak keduanya hanya sekitar 1 km saja. Lokasi katedral, dulu adalah rumah kediaman keluarga daimyo bernama Hosokawa.
Keturunan keluarga ini menjadi pengikut Kristus, namanya Hosokawa Tadaoki karena mengikuti iman Katolik istrinya yang bernama Hosokawa Gracia (putri ketiga dari daimyo Akechi Mitshuhide).
Gracia memilih mengakhiri hidupnya dibanding menjadi tahanan perang Sekigahara pada tahun 1600. Menjadi tahanan perang saat itu, berarti ia akan disiksa dan diminta meninggalkan kepercayaannya. Gracia memilih mati demi imannya.
Lukisan Hosokawa Gracia pada hari terakhir hidupnya, kini terpampang di dinding samping altar gereja. Lukisan ini diberi judul “Lady Gracia on the Last Day”.
Selain lukisan, terdapat juga sebuah patung batu dirinya di halaman katedral. Patung ini seolah menjaga bangunan gereja, bersama sebuah patung batu lainnya yang mewakili tokoh Takayama Ukon, seorang daimyo katolik yang memilih dibuang ke Manila ketika diminta meninggalkan Yesus.
Katedral ini awalnya, yaitu sejak tahun 1894 adalah Gereja St. Anna, namun kemudian terbakar habis saat perang dunia kedua. Baru pada tahun 1963 dibangunlah gereja seperti sekarang ini dan menjadi Katedral Santa Perawan Maria Osaka atau juga dikenal dengan nama Katedral St Maria Tamatsukuri Osaka.
Bangunannya sederhana saja, berbentuk kotak. Namun warnanya cerah. Pada façade bagian tengah atas pintu utama ada coakan berwarna biru muda bertabur bintang. Sebuah patung bunda Maria cukup besar berwarna putih berdiri di dalam coakan ini. Sederhana namun sangat indah.
Kamis Putih, 13 April pagi hari kami mengunjungi Istana Osaka. Sebelum masuk kawasan Istana, kami naik kapal mengeliling Istana. Kapal ini unik, beratap kaca dimana atap ini dapat turun mendekati kepala, saat menyusur di bawah jembatan yang rendah.
Saat itu saya sempat panik, kenapa atap turun, seolah akan menekan kepala. Syukurlah setelah melewati jembatan, atap kembali naik. Dari dalam kapal ini, mata kami sangat dimanjakan dengan pemandangan istana dan bunga sakura.
Menjelang sore, kami melangkahkan kaki menuju Katedral. Tak sampai 15 menit sudah nampak bangunan khas ini. Lagi-lagi ada rasa janggal, hendak menghadiri misa Kamis Putih namun tak nampak antrian kendaraan yang hendak parkir, tak nampak kerumunan umat yang hendak rebutan kursi. Plaza gereja yang sangat luas, jelas bersih tanpa tenda.
Melangkah masuk gereja, saya lihat setengah gereja bagian depan terdapat deretan kursi panjang kayu untuk umat. Sedangkan bagian belakang diisi kursi-kursi lipat. Sepertinya antisipasi bila banyak umat hadir melampaui kapasitas kursi kayu. Karena setelah saya bandingkan dengan foto-foto gereja saat normal, kursi-kursi lipat ini tidak terpasang. Ternyata saat misa dimulai, hampir tidak ada kursi lipat yang dipakai umat. Kursi kayu pun masih lenggang.
Saat masuk gereja, saya sempat nanar mencari lokasi tabernakel, sambil bertanya-tanya kenapa tidak ada. Ternyata tersembunyi. Saya baru sadar, saat sebelum penerimaan komuni kudus, saya perhatikan beberapa imam masuk ke ruang samping panti imam. Ruang ini cukup besar berdinding kaca. Tampaklah imammembuka tabernakel di sana untuk mengambil sibori.
Dalam keheningan, setelah duduk dan berdoa, saya memperhatikan interior gereja. Ruang dalam gereja ini tinggi dan sangat terang.
Pada dinding kiri dan kanan terdapat banyak jendela besar dengan kaca patri yang membuat cahaya dari luar bebas masuk. Rangkaian jendela kaca patri ini menggambarkan kisah perjalanan hidup Yesus.
Pada dinding atas belakang meja altar terdapat lukisan berukuran sangat besar. Seorang wanita berpakaian tradisional Jepang sedang duduk memangku seorang anak.
Ini adalah gambaran Bunda Maria dengan kanak-kanak Yesus. Agak maju ke arah kursi umat, menggantung sebuah salib lengkap dengan corpus, tapi tanpa dibungkus kain ungu seperti saya ketahui selama ini.
Misa Kamis Putih sore itu dipimpin oleh Uskup Agung Osaka dan beberapa imam. Prosesi berjalan penuh hikmat dan sakral. Lagi-lagi saya merasakan keharuan dan bersyukur boleh merayakan Misa Kamis Putih di gereja yang besar dan indah, walau saya sama sekali tidak paham Bahasa Jepang.
Keesokan harinya, kami kembali datang ke Katedral ini untuk ikut ibadat Jumat Agung pada pukul 15.00 sore. Kali ini sudah tidak ada rasa janggal, sepertinya sudah terbiasa dengan suasana sepi walau ini adalah misa besar.
Ibadat Jumat Agung kembali dipimpin oleh Uskup Agung Osaka bersama beberapa imam. Saat melakukan cium salib, saya hampir tak kuasa menahan air mata. Sungguh terharu, berada di gereja ini, jauh dari negeri sendiri, namun diizinkan Tuhan untuk hadir dan menghormati salib-Nya.
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang