web page hit counter
Kamis, 19 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Helen Keller Indonesia: Meningkatkan Martabat Penyandang Disabilitas

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Pelayanan cinta kasih kepada sesama yang lemah, kecil, miskin dan difabel

“Aku jarang berpikir mengenai keterbatasanku dan mereka tidak pernah membuatku bersedih.” Salah satu motto Helen Keller semasa hidupnya. Ia merupakan orang pertama yang memiliki keterbatasan ganda, yaitu buta, bisu dan tuli. Kendati demikian ia sanggup mendobraknya dengan dukungan orangtuanya dan sang guru, Anne Sullivan. Helen menjadi sosok yang paling berpengaruh di dunia, khususnya untuk para disabilitas. Ia dikenal berani bermimpi dan tekun dalam menghadapi keterbatasannya. Dengan mengambil inspirasi dari Helen Keller, pada tanggal 25 Juni 1996 lahirlah sekolah khusus bagi anak- anak berkebutuhan khusus tunarungu-tunanetra.

Cabang Dena Upakara

Lahirnya SLB/G-AB (untuk berke- butuhan khusus ganda, tunanetra & tunarungu) Helen Keller Indonesia (HKI) Yogyakarta serta Asrama Helen Keller tidak bisa dilepaskan dari berdirinya SLB B (tunarungu) Dena Upakara, Wonosobo, Jawa Tengah. Para Suster Misionaris dari Kongregasi Suster – Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef (PMY) telah memulai karya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus tunarungu, di Jl. Mangli No. 5 Wonosobo. Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu yang didirikan pada tanggal 15 Maret 1938 ini masih aktif hingga sekarang.

Ketua Yayasan Dena Upakara Cabang Yogyakarta Suster Patricia Casiana Lestari, PMY, akrab disapa Suster Patris mengisahkan, suatu kali, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-58 Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu, kongregasi ditawari oleh Yayasan Helen Keller Belanda untuk memperluas karya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus, tidak hanya tunarungu saja. Ketika itu, tawaran ini menjadi sebuah tantangan bagi PMY.

Atas Penyelenggaraan Tuhan, salah satu siswi dari SLB B Dena Upakara mempunyai hambatan pada pendengaran, penglihatan (low vision) serta hiperaktif. “Siswa-siswi di Wonosobo adalah pure penyandang tunarungu, intelektual dan attitudenya baik. Maka penanganan pada siswi ini agak berbeda dan rupa-rupanya situasi inilah yang menjadi cikal bakal dari sekolah dan asrama Helen Keller Indonesia,” jelas Sr. Patris. Sehingga diputuskan pada 25 Juni 1996 dibukalah sebuah SLB/G-AB HKI dan Asrama Helen Keller yang merupakan cabang dari Dena Upakara.

Semangat Helen Keller

Baca Juga:  Air Sumber Kehidupan: Pelajaran Berharga dari Desa Sumber

Awalnya sekolah dan asrama ini berlokasi di Wonosobo. Namun, menurut Sr. Patris, berhubung ada perbedaan dalam metodologi maka diputuskan SLB/G- AB HKI dan Asrama Helen Keller harus berpindah lokasi. “Berdasarkan berbagai pertimbangan, kami memilih salah satu kota yang ada di Yogyakarta. Tempat yang disediakan Tuhan ada di daerah Murangan Sleman, namun tempat ini hanya sementara karena harus berpindah- pindah,” tutur Sr. Patris.

Lambat laun, banyak orangtua yang memiliki anak dengan hambatan ganda tunarungu-netra yang disertai hambatan lain datang untuk menyekolahkan anaknya di lembaga ini. Karena tempat tidak memadai lagi, maka untuk ketiga kalinya lembaga ini berpindah tempat. Pada tanggal 14 Agustus 2001 SLB/G-AB HKI dan Asrama Helen Keller berpindah ke Wirobrajan, Kel. Pakuncen, Yogyakarta hingga saat ini.

Pada tahun 2006 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gedung sekolah dan asrama. Setelah proses pembangunan gedung selesai, pada tanggal 13 Februari 2008 diadakan upacara pemberkatan gedung SLB/G-AB HKI dan Asrama Helen Keller serta Susteran PMY. Kemudian pemberkatan gedung dipimpin oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Ignatius Suharyo (kala itu).

Lembaga ini memang tidak meng- gunakan nama para orang kudus seperti lembaga Katolik pada umumnya. “Sosok Helen Keller sangat menginsiprasi. Kami mengambil semangatnya. Helen, dari keterbatasannya, juga dengan support dari keluarga dan gurunya, dapat mengatasi dirinya. Ada perubahan yang dibuat dan ia seorang pribadi yang terbuka untuk belajar. Saya percaya setiap insan memiliki bibit yang diberikan Tuhan, yang dapat di asah. Maka, harapannya anak yang berproses di sekolah dan asrama ini, dengan situasi dan kondisinya mampu berkembang. Diberikan kesempatan untuk berkembang,” terang Sr. Patris.

Baca Juga:  75 Tahun RSBM: Akan Terus Setia Melayani

Melayani dengan Kasih
Dalam kumpulan cermin dan puisi “Sapaan Senyap”, Sr. Patris menuliskan bahwa visi utama karya pendidikan di SLB/G-AB HKI dan Asrama Helen Keller adalah hendak mewujudkan pelayanan cinta kasih kepada sesama yang lemah, kecil, miskin dan difabel, khususnya anak-anak berkebutuhan khusus ganda tunarungu-netra-wicara yang disertai hambatan lain dalam suasana kekeluargaan.

“Untuk melaksanakan Visi tersebut, kami melaksanakan misi yaitu me- ningkatkan martabat anak tunarungu- tunanetra (buta-tuli) agar mampu ber- kembang secara utuh dan hidup secara mandiri sesuai dengan kemampuannya,” tambahnya.

Sr. Patris kembali menegaskan, tenaga pendidik dan pembimbing dihimbau melayani dengan cinta kasih. Sederhananya saja, tidak marah-marah sudah termasuk sikap kasih. “Suatu kali saya pernah mengundang narasumber pendidikan yang ramah untuk anak berkebutuhan khusus. Kami betul-betul menciptakan suasana yang nyaman untuk anak. Anak-anak di sini banyak yang di asrama, jauh dari orangtuanya. Sehingga, kami harus memberikan suasana yang nyaman. Bukan memanjakan, tapi mereka sungguh diterima. Hati yang penuh kasih rasanya adem. Misalkan pendampingnya moodnya kurang bagus, anak bisa merasakan dan bisa jadi rewel, loh! Intinya, tanpa kasih, melakukan pendampingan seperti ini agak susah dijalankan.”

Memberi Bekal

Tahun Pelajaran 2020/2021, murid HKI berjumlah 32 dan di antaranya yaitu 25 anak tinggal di Asrama HKI. Mereka berasal dari berbagai daerah, bahkan dari luar pulau Jawa. “Anak yang berproses di HKI tidak hanya yang kristiani saja. Siapapun yang datang dan memenuji persyaratan, salah satunya dengan batasan usia 6 tahun sampai 18 tahun, kami terima,” tambah Sr. Patris.

HKI menyelenggarakan pendidikan program transisi bagi para peserta didik yang akan menyelesaikan sekolahnya. Program transisi dimaksudkan untuk mempersiapkan diri anak dengan diberi bekal keterampilan yang cukup sesuai dengan kemampuannya sehingga saat kembali kepada keluarga, mereka memiliki keterampilan untuk bantu diri ataupun keterampilan untuk hidup secara mandiri dengan penghasilan yang diperolehnya. “Ada pertimbangan tempat di sini kurang memadai, maka dari kongregasi diberi tempat yang baru, sedang pembangunan di Sedayu, Jawa Tengah. Dalam program itu sekitar 3 tahun anak dibina lalu kemudian kembali ke rumahnya,” jelas Sr. Patris.

Baca Juga:  Paus Fransiskus dan Citra Hidup Ideal

Selama berproses di lembaga ini, peserta didik juga diajari keterampilan berbagai macam seperti membatik, membuat telur asin dan sebagainya. Sehingga ketika pulang ke rumah, mereka bisa mandiri. HKI yang sudah berdiri sekian tahun dan dapat mencetak anak- anak yang dapat mandiri ketika pulang ke rumah.

Selain itu, Sr. Patris mengungkapkan bahwa dukungan orangtua adalah mutlak. “Kami biasanya ada pertemuan, paling tidak setahun sekali. Orangtua diberi tahu sebanyak-banyaknya tentang anaknya, kebutuhannya seperti apa. Di sini kami kan berbahasa isyarat, maka orangtua sebetulnya wajib bisa bahasa isyarat. Supaya anak bisa berkomunikasi dengan mereka. Contoh, kita saja kalau ngomong gak dimengerti aja marah, maka ini menjadi tuntutan dan kewajiban bagi orang terdekat!” tegasnya.

Menerbitkan Buku

Di tengah pandemi, SLB/G-AB HKI dan Asrama Helen Keller merayakan hari jadinya yang ke 25 tepat pada 25 Juni 2021. Dalam perayaan pesta peraknya ini, segenap keluarga besar HKI menerbitkan buku kumpulan cermin dan puisi “Sapaan Senyap”. Buku ini berisi pengalaman indah para tenaga didik dan pembimbing bersama anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut Sr. Patris, buku ini hasil dari kegiatan mereka ketika pandemi melanda. Ketika Maret 2020, semua anak dipulangkan sementara di rumah masing-masing dan diselenggarakannya pembelajaran jarak jauh.

Sr. Patris berharap pandemi segera berakhir, kegiatan sekolah dan asrama boleh kembali. “Kami merindukan situasi pembinaan seperti dulu. Pertemuan dan perjumpaan secara langsung itu tidak bisa tergantikan dengan daring,” ungkapnya.

Karina Chrisyantia

(HIDUP No.12, 20 Maret 2022) 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles