HIDUPKATOLIK.COM – ADALAH kebiasaan kami, kemana pun pergi, entah saat ke daerah-daerah, atau saat wisata ke negara lain, kami selalu mencari gereja. Tentunya Gereja Katolik Roma. Sambil sekalian ikut Misa bila bertepatan hari Minggu atau hari Raya.
April 2017 kami berlibur ke Jepang, tepatnya Tokyo, Osaka, dan Kyoto. Ini lah pertama kali Tuhan izinkan kami sekeluarga (minus si bungsu, karena sedang ujian) menikmati bunga Sakura yang sedang mekar indah. Pemandangan memesona ini dapat dinikmati dengan mudah, baik di pinggir jalan, di taman, atau di tepi sungai.
Waktu kami di Jepang ini bertepatan dengan pekan prapaskah dan Paskah. Kami berkesempatan hadir dalam Misa Minggu Palma di Katedral Saint Mary, Tokyo. Misa Jumat Agung di Katedral Perawan Maria, Osaka. Serta Misa Minggu Paskah di Gereja Honjo sebuah gereja kecil, Tokyo.
Pada pagi Minggu Palma, dari hotel, dengan menggunakan kereta JR, kami berangkat menuju stasiun Gokokuji. Berbekal petunjuk googlemaps, kami lanjut jalan kaki sekitar 15 menit menuju Katedral Saint Mary.
Dalam perjalanan dengan kaki ini, kami melewati satu sekolah dasar dan bertemu dengan beberapa siswa. Dalam hati, saya bertanya-tanya, ini kan hari minggu kenapa anak-anak ini berada di sekolah lengkap dengan seragam. Mungkin mereka baru selesai tugas koor di gereja. Entahlah.
Saya menyapa anak-anak ini bermaksud bertanya, sekedar konfirmasi mengenai lokasi gereja. Lucunya mereka malah kabur, mungkin tidak terbiasa bertemu dengan turis seperti kami yang berjalan kaki. Kami jadi tertawa sendiri. Untungnya Gereja ternyata sudah dekat dan tidak lama kemudian kami tiba.
Begitu masuk halaman gereja, selama beberapa sekon saya merasa ada yang janggal. Sepi. Tidak ada kerumunan umat apalagi tenda-tenda dan kursi baso dipasang di halaman gereja. Bukankah ini hari Raya Minggu Palma? Kemudian saya sadar, bahwa ini bukan di Indonesia.
Rasa janggal segera berganti menjadi decak kagum dan takjub saat menatap arsitektur gereja. Sulit menggambarkan bentuk gereja ini. Seluruh dinding tidak ada yang lurus tapi melengkung merangkap sebagai atap gedung. Struktur gereja megah ini, merupakan kombinasi beton dan baja tahan karat.
Pada tampak depan di atas pintu masuk ada jendela kaca vertikal sangat tinggi. Kiri kanan gedung, berbentuk seolah sayap burung yang mengepak. Sedangkan struktur bagian belakang, dimana merupakan atap altar, menjulang setinggi 39 meter.
Adalah Kenzo Tange, arsitek kondang sejagad raya, yang mendesainnya. Bangunan gereja ini mendapat julukan bangunan futuristik yang melampaui zamannya. Gereja ini selesai dibangun pada tahun 1964 untuk menggantikan bangunan lama yang habis terbakar saat perang dunia kedua.
Keunikan bukan hanya pada bentuk luar. Interiorpun unik. Pada langit-langit nampak deretan jendela kaca membentuk salib, sekaligus sebagai sumber cahaya. Di atas pintu masuk, terdapat organ besar yang baru dipasang tahun 2004. Dipesan khusus dari Italia karena hendak mengikuti bentuk struktur bangunan. Seluruh dinding yang merangkap juga sebagai atap, berbahan beton. Tidak ada yang dicat. Ini membuat sudut-sudut tertentu menjadi agak gelap, menimbulkan suasana magis dalam gereja.
Pada sisi kanan dalam gereja terletak area baptis. Di sini dijumpai wadah air baptis berbentuk unik nan indah.
Masih di sisi kanan gereja terdapat patung Bunda Maria memangku jasad Yesus yang baru saja turun dari Salib, duplikat patung Pieta yang ada di Basilika St Petrus – Vatikan. Serta patung Santo Fransiskus Xaverius yang terbuat dari logam.
Patung ini merupakan hadiah dari Keuskupan Koln Jerman saat peresmian Gereja pada tahun 1964. St Fransiskus Xaverius sendiri adalah Jesuit pengelana yang memperkenalkan Kristus kepada bangsa Jepang pada tahun 1549.
Hal unik lain adalah tanda stasi jalan salib. Tidak ada lukisan atau ukiran kisah sengsara Yesus. Setiap perhentian hanya ditandai salib kecil dari kayu, serta tulisan angka romawi di bawah salib. Sangat sederhana.
Misa saat itu menggunakan Bahasa Korea. Ini benar lho, bukan salah ketik, karena misa saat itu diperuntukkan bagi komunitas orang-orang Korea yang tinggal di Tokyo dan sekitarnya. Kami tak paham Bahasa Korea, jadi kami ikut misa sambil membatin sesuai urutan upacara. Saat homili, kami hanya duduk diam, karena tak paham, sambil mata menatap menikmati keindahan dan kemegahan bangunan gereja.
Jumlah umat relatif sedikit, kursi terisi tidak lebih dari separuh. Ini pertama kali saya Misa Minggu Palma tanpa hiruk pikuk rebutan kursi. Kami memilih duduk di baris belakang. Posisi yang nyaman untuk menikmati pernak pernik interior gereja.
Sebagaimana Misa Minggu Palma di kampung halaman, gereja di sini juga menyediakan daun-daun palma untuk umat yang tidak membawa. Ya termasuk kami, jadi kami masing-masing mengambil satu.
Daun palma di Jepang ternyata sangat berbeda, lebih kaku dan ujungnya sangat tajam. Harus berhati-hati membawanya, karena takut menusuk orang. Saya membawa pulang daun palma ini dan sampai sekarang masih tersimpan sebagai kenangan.
Singkat cerita, Misa usai. Kami bersyukur Tuhan beri kesempatan kepada kami untuk hadir dalam misa ini. Misa Minggu Palma yang sangat berkesan.
Satu kebiasaan kami yang lain adalah mencari dan berdoa di gua Maria. Selesai misa, di halaman luar, kami menemukan sudut gua Maria. Patung Maria tidak diletakkan dalam gua, tapi di suatu ceruk di bagian atas sebelah kanan.
Sedangkan di dalam gua, terdapat meja altar dari gereja lama, yang selamat dari kebakaran. Saat itu, usianya sudah lebih dari seratus dua puluh tahun. Supaya aman, gua diberi pagar, sehingga tidak sembarang orang dapat masuk gua dan mendekat ke meja altar bersejarah ini.
Untuk berdoa, disediakan beberapa kursi panjang dari kayu di depan gua. Sayang waktu itu hujan kecil, sehingga kami tidak bisa duduk.
Kami berdoa mohon perantaraan Bunda sambil berdiri dan menggunakan payung.
Terima kasih Bunda dan doakanlah kami selalu. Amin.
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang