web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Nick

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SUDUT mata Nick menangkap penampakan arloji Luminox seri 3301 di tangan kanannya. Penampang warna hitam elegan dengan garis tipis warna merah melingkar di sekelilingnya menjadikan Nick makin dandy. Pukul 17.30 tetapi sore terlalu cepat datang. Mestinya belum segelap ini, batinnya. Keraguan mengajaknya menengok jam di dasbor mobil. Sama, 05:30. Jam digital berwarna hijau itu berkedip-kedip tanpa lelah seolah-olah terburu-buru mengabarkan pada pria dengan belasan utas uban itu bahwa saat ini memang 17.30, tanda matahari hampir terbenam. Hatinya ngungun. Gelisah seperti kehilangan sesuatu tetapi apa entah tak tahu.

Dari kaca mobil ia melihat di kejauhan anak-anak yang bermain skateboard di taman kota mulai menyusut jumlahnya. Lampu-lampu jalanan mulai menyala. Lampu bertenaga surya yang bekerja dengan efek fotovoltaik itu semula redup lalu makin lama makin terang. Meskipun sudah melepaskan kacamata ray-bannya, Nick masih belum menerima hari sudah sepetang ini. Jam di SPBU seberang jalan juga menunjukkan waktu yang sama, selisih detik saja. Matanya menerobos di sela-sela para pengantre bahan bakar itu. Di ujung SPBU ada tempat cuci mobil, motor, sekaligus isi rem angin. Jam dinding di sana kompak dengan jam-jam lainnya, menunjukkan waktu yang sama. Sejatinya ia telah memercayai jam besar di Simpang Jam yang beberapa menit lalu menunjukkan pukul 12.15. Jam yang tidak pernah benar dalam menunjukkan waktu itu kali ini dianggapnya membantu membuatnya tenang. Tetapi demi melihat belasan jam lain pada waktu nyaris bersamaan, ketenangan memercayai jam di taman kota itu menjadi goyah.

Nick tidak tahu kapan persisnya dia mulai disibukkan dengan penunjuk waktu. Sebentar-sebentar matanya melihat arloji, mencari kabar terbaru. Beberapa kali bahkan tampak panik bila pada saat yang diinginkannya, ia tidak segera dapat melihat waktu. Saku celananya sempat robek karena ia tidak sabar meraih ponselnya hanya demi melihat waktu. Kepanikannya menjadikannya berkeringat. Dari pelipisnya mengalir keringat. Cairan asin di dahi itu menabrak alisnya yang hitam dan tebal, turun di bulu matanya yang melengkung lentik, lalu jatuh menetes di pahanya ketika tertunduk. Ia menangkupkan kepalanya di kemudi.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Ada degup yang tak diharapkan, membentur-bentur dadanya. Tangan kanannya mengepal di dada kiri. Dada bidang itu naik turun tersengal-sengal. Jantungnya memberontak dan Nick sama sekali tidak siap. Ia hanya tersandar dan berusaha menarik napas panjang mencari kelegaan. Pikirannya sangat yakin, ini bukan serangan jantung. Ia tidak pernah punya riwayat penyakit yang dijuluki sebagai pembunuh nomor satu itu. Kalau jantung adalah penyakit turunan, bapa ibunya meninggal bukan karena hal itu.

Sebelumnya, Nick tidak pernah segusar ini dengan waktu. Hidup begitu ringan dijalaninya, terasa ringan dan teratur sejak muda. Menghabiskan masa SMP di kampung, mulai merantau ke kota kabupaten saat di SMA, hidup di asrama dengan ratusan teman, masuk dalam rutinitas yang lebih banyak menyenangkannya, juga ketika di pendidikan tinggi di Sumatera Utara. Larut dalam komunitas yang menjalani banyak S tanpa membuatnya kaku kedinginan: santitas, sanitas, scientia, sapientia, dan socialitas. Bangun pagi ketika embun belum benar-benar turun seluruhnya dan dingin yang di bulan-bulan tertentu sangat memerangkap tulang, melangkah tanpa bunyi menuju kapel untuk ibadat pagi dan misa, lalu ke ruang makan untuk sarapan, bersiap untuk studi, makan siang, istirahat, dan kerja kebun di sore hari, olah raga, mandi, belajar hingga hari ditutup dengan doa completorium.

Seperti diatur oleh waktu, patuh pada si pengatur itu, tetapi nikmat menjalankannya. Waktu memudahkannya beraktivitas. Pengaturan itu membuat Nick merasa merdeka hari-harinya. Beda dengan Jack dan Chris yang berusaha membebaskan diri dari keteraturan waktu justru menjadi korban waktu. Keduanya berguguran di tengah perjalanan studi karena pelanggaran berulang. Kala itu waktu adalah sarana. Ia melengkapi hari-harinya. Membantunya, bukan menguasainya. Waktu membantunya tahu kapan mengajukan proposal untuk sidang skripsi, kapan harus melanjutkan studi S2 dan S3-nya. Waktu membantunya untuk tahu kapan mempersembahkan misa, kapan mengunjungi dan memberi sakramen pengurapan orang sakit, kapan melayani umat di bilik pengakuan, kapan meminta prodiakon membantunya menguburkan orang di pemakaman, kapan menyantap menu spesial ketika kunjungan umat, mengirimkan program kerja dan melaporkannya, menemani anak-anak misdinar bermain di gazebo, meneriaki mereka yang memanjat-manjat menara dan memain-mainkan tali lonceng, mengumpulkan para aktivis untuk memurnikan pelayanan mereka merunut kisah Marta dan Maria, memberi kuliah di satu-satunya perguruan tinggi milik keuskupan yang senen kemis kemajuannya tetapi tetap mencoba bertahan, menjadi narasumber di komunitas yang menjadikannya sebagai pastor moderator. Gerakan yang mekanis ritmis membuatnya menggelinding mulus di jalanan halus dan lapang.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ketika merebahkan diri malam hari, sambil memeluk guling dalam tidur miring, angannya menggelinding. Imajinasinya berputar pada peluncuran dua buku terbarunya meski draftnya masih belum rapi. Satu seri tentang pastoral approach, satu lagi tentang manajemen SDM. Angannya melayang pada kenangan bersama rombongan para tajir berziarah ke Yerusalem dan entah bisa kapan lagi ke sana, gratis bahkan ada uang saku lebih dari yang diterimanya setiap bulan. Angan-angan berkejar-kejaran seperti Quartararo, Dovisioso, Marquez, dan Bastianini yang menggeber motornya di sirkuit Mandalika. Tapi angannya buyar ketika alarm di ponselnya melantunkan Close to Me dari The Cure.

Alarm dengan irama cepat itu terasa menghentak, serupa dengan timbre dokter yang memvonisnya kanker seminggu lalu. Berita tak sedap itu dialamatkan kepadanya. Di tengah kesenangannya membentuk otot-otot tubuhnya di fitness center seminggu 3 kali, tubuhnya yang tinggi, besar, dan kekar tidak memercayai vonis mengerikan itu. Terdapat jaringan parut pada liver. Dokter mencurigai hepatomegali yang timbul dilatarbelakangi oleh HCC (hepatocellular carcinoma). Bagaimana mungkin harus terperangkap dalam terminal cancer stadium akhir ketika hidup sedang nikmat-nikmatnya?

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Sejak lahir, manusia membawa takdirnya, mengantungi vonis mati seumur hidupnya, tanpa pernah tahu kapan hukuman itu terlaksana. Kalau saat ini Nick tampak galau dengan kondisinya, benarkah ia sedang berada pada cakrawala off-liven? Atau justru pada ranah sterben? Akankah kematiannya nanti sama seperti matinya pohon, jam, ponsel, juga anjing? Inikah sebuah kematian yang tak bisa dihindari? Ataukah ia sedang mempersiapkan kematian sebagai ujung kehidupan manusia di dunia? Penggolongan kematian ala Heidegger yang tidak mau dia pusingkan lagi saat ini.

Mata Nick menguning, redup. Ada sekumpulan kunang-kunang salah waktu sedang berkeliling dalam pandangannya dan membuatnya terhuyung. Ada rasa perih di pinggangnya. Dirabanya perut sebelah kanan yang kuning pucat, abses, dan mengeras. Kecemburuannya tiba-tiba menyeruak. Ia cemburu pada orang-orang yang jogging sambil memasang headset di telinganya. Ia cemburu pada orang yang duduk santai di café, cemburu pada secangkir kopi, pada angin pagi, juga pada keriangan Besty si anjing pastoran yang hiperaktif, sepeda road bike yang tak pernah mengeluh, gitarnya sejak di seminari tinggi, laptop, masakan ibu dapur, buku-buku di belakang meja kerjanya, kemeja hitam berkolar yang tergantung di dalam lemari, alba dan singelnya, juga dupa pada wiruk.

Nick ingin menunda waktu. Ingin ditahannya matahari agar tidak secepat itu tergelincir ke arah barat dengan tali tambang dadung yang dikaitkan pada lingkar bumi. Ingin mencari palu godam untuk menghancurkan alarm yang selalu mengganggu dan memburu-buru, berlari marathon ke Istana Westminster untuk bergantung di jarum Big Ben, membabi buta memecahkan seluruh jam di seluruh dunia dan mengutuk penciptanya. Nick menekan rem tangan. Mobilnya melesat ke jalan raya. Dalam keterburuan, di kepalanya tersusun rencana menuju Makkah Royal Clock Tower untuk menahan laju putar jarum Abraj Al Bait.

Oleh Maria Lidwina Ika Haryundari

HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-76, Minggu, 27 Maret 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles