HIDUPKATOLIK.COM – Ascensio adalah buah karya perutusan musik Romo Soetanta yang paling hidup dan terlihat. Dari sini banyak mencetak pelayan liturgi handal di bidang musik gerejawi.
“GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Romo Antonius Soetanta, SJ telah pergi ke alam keabadian meninggalkan pesan melalui para anggota dan mantan anggota Paduan Suara anak-anak Ascensio. Bernyanyilah bagi Tuhan selamanya,” tulis akun bernama Johanes Ghono pada kolom komentar Youtube Paduan Suara (PS) Ascensio di salah satu video yang diunggah. Ungkapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa PS Ascensio adalah pusaka hidup sang imam Jesuit yang akrab disapa Romo Tanto ini. Dalam wadah tersebut telah banyak anak-anak dan orang muda menimba ilmu musik, pengajaran iman, dan arti tulus persahabatan.
Selain di kalangan umat Gereja Katolik yang mengagumi kiprah Ascensio, kalangan musisi Kristen Protestan yang tergabung dalam Yayasan Musik Gereja (Yamuger) juga ikut terpesona. PS Ascensio pun dianggap menarik menjadi bahan penelitian oleh mahasiwa jurusan seni musik. Beberapa di antaranya telah merekam perjalanan PS Ascensio baik dari sisi sejarah maupun teknik bermusik. Seperti karya ilmiah mahasiswi Jurusan Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, Chynthia Grace Angela. Skripsi yang diujikan pada tahun 2012 ini menyatakan ketertarikannya pada PS Ascensio dengan lokus penelitian yang berkembang di Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Bagi Chynthia keistimewaan itu terdapat pada kemampuan PS Ascensio menyanyikan lagu-lagu yang memiliki tingkat kesulitan seperti lagu “Missa Brevis” karya komponis W. A. Mozart (1756-1791) dan lagu “Bist du bei mir” karya Johan Sebastian Bach (1685-1750). Apalagi tak jarang mereka kerap menyanyikan lagu berbahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Latin. Kemampuan anak-anak mengingat dan menirukan apa yang dicontohkan menjadi suatu keistimewaan. Selain lagu asing, dahulu saat Romo Tanto mengajar pelajaran musik di Strada Tanjung Priok, ia pernah menciptakan lagu anak dalam satu buku yang berjudul “Ho..Ho..Hosana” yang diterbitkan Yamuger. Isinya adalah lagu-lagu yang menceritakan isi Kitab Suci Perjanjian Baru sejak Tuhan Yesus dilahirkan ke dunia sampai dengan kebangkitan-Nya. Buku lagu ini digunakan Romo Tanto sebagai salah satu bahan ajar menyanyi anak- anak SD waktu itu dan sampai sekarang masih digunakan oleh Ascensio.
Dalam perkembangan, PS Ascensio juga beranggotakan umat Paroki Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara dan Paroki Santo Servatius, Kampung Sawah, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Salah satu alumninya juga mengembangkan Ascensio di Bekasi dan kini menjadi anggota yang terbanyak.
Awal Mula
PS Ascensio didirikan di Paroki Santo Fransiskus Xaverius di Tanjung Priok oleh Romo Tanto yang baru saja menamatkan studinya di Netherlands Institut Voor Katholike Kerk Muzirk di Utrecht, Belanda pada tahun 1978. Usai meraih Eind Diploma untuk direksi dan praktik diploma orgel pipa, ia langsung ditempatkan di Paroki Tanjung Priok sebagai imam pembantu.
Kepala Paroki Tanjung Priuk saat itu, Pater Johanes Wisgickl, SJ menunjukkan dukungan akan kerinduan rekan sepelayanannya untuk mengembangkan musik di paroki. Ia meminta kepada Fonds Solidaritas KAJ untuk membelikan sebuah piano. Berbekal itu, didirikanlah kor untuk anak setaraf SD. Kemudian bagi mereka yang sudah tamat SD, pada 1979 disediakan kor untuk mereka yang bernama kor GRATIA. Sayangnya, kor ini tidak berlangsung lama karena mereka ingin terus bergabung dengan kor Ascensio. Dengan demikian untuk selanjutnya, Ascensio menjadi kumpulan musik anak tingkat SD dan SMP.
Nama Ascensio sendiri diambil dari Bahasa Latin yang berarti “Kenaikan Tuhan Kita Yesus Kristus”. Ini dikarenakan penampilan perdana mereka terjadi pada Hari Raya Kenaikan Tuhan pada tanggal 4 Mei 1978. Kor Ascensio semula hanyalah salah satu kor paroki dengan segmen anak-anak dan remaja. Ascensio sendiri didirikan diawali dengan kesadaran akan kurangnya keterlibatan anak-anak dalam kegiatan gereja khususnya liturgi. Mereka tidak merasa “feel at home” di dalam hidup menggereja padahal mereka adalah anggota gereja. Di sisi lain, dirasakan juga kurangnya kader-kader musik gereja seperti penyanyi, dirigen, dan organis apalagi komponis. Namun hal yang paling utama adalah agar anak-anak terutama memiliki sifat dan sikap Kristiani yang sejati.
Iman Kristiani ini diwujudkan dalam semangat persaudaraan di mana setiap anggota Ascensio dituntun untuk terbuka dalam pergaulan, tidak pilih-pilih teman atau membentuk kelompok sendiri. Persaudaraan itu harus ditujunkkan bukan hanya kepada sesama anggota tetapi juga mereka yang diluar keanggotaan. Hal ini didasarkan pada penghayatan bahwa semua orang adalah anak-anak Allah. Sebagai satu tubuh, mereka adalah saudara-saudara dalam Kristus. Maka semangat persaudaraan dan saling tolong menolong dirawat di dalamnya. Mereka dituntun untuk saling memperbaiki bukan bersaing. Yang lebih mampu menolong yang kurang mampu. Untuk itu, semangat berbagi sangat kental dalam kehidupan mereka. Menjadi anggota Ascensio tidak dipungut biaya sama sekali. Mereka menerima pengajaran secara gratis dan untuk itu hendaknya memberikan pelayanan dan ilmu secara cuma-cuma bagi kemuliaan Allah.
Semangat Pemusik Gereja
Guna mencapai cita-cita luhur untuk menjadi pelayan Gereja yang baik, tidak cukup seorang anggota Ascensio hanya bisa mahir di bidang seni musik. Mereka juga dituntut untuk menjadi putra-putri Gereja yang memancarkan wajah Kristus. Untuk itu, mereka diajarkan untuk mencintai Kitab Suci sebagai sumber untuk mencintai Kristus, mencintai Gereja sebagai Tubuh Kristus yang menuai kepenuhan dalam Sakramen Ekaristi, senantiasa menjalin relasi akrab dengan Yesus melalui Sakramen Tobat dan doa, serta memiliki pergaulan yang sehat dan luas dengan siapa saja guna mendukung konsetrasi dalam belajar bermusik.
Maka dalam cita-cita ini turut melekat juga sebuah kewajiban di mana para anggotanya wajib mengikuti pendalaman iman. Dituturkan oleh salah satu anggota Ascensio yang bergabung sejak tahun 2003, Gregorius Gerald Pratomo bahwa mereka mengikuti pendalaman iman dua kali, yakni setiap latihan pada hari Rabu dan Sabtu. “Biasanya pada hari rabu pendalaman iman diadakan di tengah-tengah istirahat antara latihan kelompok dan gabungan. Sedangkan di hari sabtu usai keseluruhan latihan usai,” ujarnya. Usai latihan mereka juga akan mengadakan “Completorium” (Ibadat Penutup hari). Selain itu, mereka dianjurkan untuk mengikuti Misa harian dan menerima Sakramen Tobat setidaknya sebulan sekali.
Dalam hal pergaulan pun diatur. Sebelum tamat SMA dikatakan secara tegas agar berteman secara umum dan tidak mempunyai pertemanan khusus dengan lawan jenis (pacaran). Mereka yang mengarah ke situ agar sadar dan mengundurkan diri dari anggota Ascensio yang aktif. Namun demikian, mereka diharapkan untuk masih terlibat aktif dalam pelayanan liturgi gereja sesuai dengan kemampuan mereka. Gerry sendiri pernah merasakan konsekuensi dari pedasnya aturan ini. Ini semua dilaksanakan demi menjaga suasana kekeluargaan di dalam Ascensio yang terjamin sebagai perkumpulan anak-anak dan remaja bukan sebagai mudika lanjut.
Dalam perkembangan awalnya banyak berkat yang diterima oleh kelompok kor kecil ini. Tercatat Romo Tanto pernah menerima hadiah organ elektronik Omegan 710 sebagai hadiah kaul terakhir di tahun 1984. Organ ini dilengkapi dengan dua manual panjang dan 27 pedal. Dari situ juga, para anggota Ascensio tidak hanya diajarkan untuk menyanyi, mereka juga diberikan kesempatan untuk belajar orgel gereja dan dirigen. Setiap anggotanya disiapkan untuk menjadi pelayan liturgi dan pemusik gereja yang baik. Hasil dari kegiatan Ascensio ini menjadikan anak-anak mengasihi Tuhan dan mau bernyanyi untuk Tuhan. Mereka dengan senang hati melayani Tuhan baik dalam konser amal atau Misa. Rasa kekeluargaan sangat kental dan mereka mendapat multi keterampilan, bukan hanya mampu bernyanyi tapi dapat bermain orgen dan menjadi dirigen.
Sejak Kecil
Uniknya, banyak dari anggota Ascensio yang HIDUP hubungi bergabung sedari kanak-kanak. Sebut saja Gerry yang sudah bergabung sejak ia duduk di kelas TK B. Dahulu ayahnya juga adalah anggota Ascensio di tahun 1980. Ini semua bermula karena kakeknya merupakan kakak kelas dari Romo Tanto di Seminari Mertoyudan. Saat itu, Romo Tanto membuat orkes dan kakeknya bergabung dalam orkes tersebut. “Jadi ya satu keluarga kurang lebih Ascensio semua,” tuturnya riang. Gerry juga mengakui keinginannya untuk masuk ke Ascensio mula-mula agar dapat bermain bola. “Sebelum latihan nyanyi itu main bola, itu pancingan awalnya. Terus lama-lama betah,” akunya.
Begitu juga dengan Aurelia Sarah I dan Agata Rahelia Taruli yang bergabung dengan Ascensio karena keluarganya pernah menjadi bagian dari Ascensio. Dahulu Ibu Aurelia adalah anggota Ascencio dan ia menyarankan putrinya untuk bergabung. Aurelia bergabung saat duduk di kelas 4 SD. Demikian juga dengan Agata, di mana ibu, om, tante, dan budenya pernah ikut Ascensio. Ketertarikan Agata sendiri timbul selain dari dorongan sang ibu juga karena terpukau melihat kor anak-anak Ascencio saat Misa dan ia pun bergabung saat kelas 3 SD.
Berbeda dengan ketiganya, Raiza Zsazsa Siagian tidak memiliki anggota keluarga yang pernah bergabung dengan Ascensio. Ia tahu Ascensio saat menyaksikan konser Natal di Paroki Kampung Sawah bersama keluarga. Ayahnyalah yang mendorongnya untuk coba bergabung dengan PS anak itu. “Setelah itu di bulan Januari, aku yang kelas 1 SD, kakak perempuan, dan abang aku semuanya ikut,” sebutnya.
Telah banyak pengalaman suka duka yang mereka kecap bersama Ascensio. Terlebih saat mereka pertama kali belajar menyanyi. Meskipun Gerry yang saat ini sedang mengenyam studi di Hochschule fur Music und Theater Munchen, Jerman tidak merasakan kesulitan berarti karena menikmatinya sebagai proses hingga menjadi suatu kebiasaan, namun untuk Agata, Aurelia, dan Raiza ada tantangan saat belajar pertama kali. Kala itu Agata langsung disodori not balok dan lagu berbahasa Jerman, Perancis, dan Latin. Ia yang masih kecil kaget bukan main dan suara yang dihasilkan fals. Apalagi jika ditunjuk satu-satu untuk menyanyi muncul perasaan degdegan tapi karena ia punya tekad kuat ia malah senang dengan sesi ini. “Serem tapi asyik,” ungkapnya dengan tawa. Kontribusi pendampingan latihan oleh para senior turut membantunya berkembang.
Aurelia turut mengamini, membaca not balok menjadi tantangan sendiri tapi baginya jauh lebih susah untuk menyamakan suara. Mula-mula ia takut mencari teman dan sering duduk dekat organ agar lebih dekat dengan Romo Tanto, tetapi saat ia mulai membuka diri ia menemukan banyak sekali teman dan hal yang bisa dipelajari. Dengan tersenyum malu, Raiza juga berkisah bagaimana ia saat kelas 1 SD lebih banyak lipsync dan suka terbengong karena belum begitu mengerti. Namun seiring berjalannya waktu, ia mampu mengikuti semua pelatihan yang diberikan. Apalagi latihannya cukup rutin, dua kali dalam seminggu. “Sekarang malah suka nyanyi meskipun Gregorian dan bahasanya macam-macam,” serunya optimis.
Keluarga Kedua
Telah banyak hal yang mereka lalui bersama Ascensio hingga beranjak dewasa. Kini mereka yang mendampingi para junior untuk berlatih. Bagi mereka Ascensio bukanlah sekadar tempat menerima dan mengasah kemampuan bermusik gerejawi. Ascensio adalah sekolah musik tanpa ijazah, rumah, tempat bermain, dan keluarga kedua. “Bukan cuman belajar, bukan cuman menyanyi tapi juga bermain dan berdoa bersama. Rasanya seeprti keluarga kedua,” ungkap Agata disambut Aurelia, “Ya semuanya dapat, klo lagi galau paling enak main sama Ascensio.” Apalagi, jelas Raiza, banyak senior yang membantu mereka bukan hanya soal musik tapi juga pelajaran sekolah yang belum begitu dipahami di sekolah. “Lewat contoh kesederhanaan Romo Tanto yang mengajarkan kita untuk membagikan ilmu dengan cuma-cuma demikian kita selalu berbagai apa saja di Ascensio. Inilah kekuatan keluarga Ascensio,” pungkas Raiza.
Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia
HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-76, Minggu, 27 Maret 2022