HIDUPKATOLIK.COM – Berpulangnya Romo Antonius Soetanta, SJ meninggalkan duka mendalam. Namun sosoknya selalu hidup di hati para sahabat dan muridnya.
SEDERHANA. Penampilan apa adanya, tidak ada materi yang dipamerkan. Romo F.X. Dedomau Djatmiko da Gomez, SJ akrab disapa Romo Dedo, melihat sosok itu di paroki kala itu. Ia masih duduk di bangku SMP, aktif sebagai putra altar. Dari situ ia mulai mengenal Romo Antonius Soetanta SJ, kerap disapa Romo Tanto. “Orangnya enggak banyak ngomong, tapi beliau punya kelimpahan hati yang terungkap dalam lagu dan musik,” ujar Romo Dedo.
Menunjukkan Jalan
Romo Tanto bertugas di Gereja St. Franciskus Xaverius, Tanjung Priok sejak 1978. Romo Dedo mengisahkan, ketika itu Romo Tanto sudah menyelesaikan studinya dari Institute van Katholieke Kerkmuziek, Utrecht, Belanda. Romo Dedo dan saudarinya menjadi murid-murid awal Romo Tanto.
Melihat sosok Romo Tanto yang begitu sederhana menginspirasi Dedo remaja untuk mengikuti jejaknya menjadi imam. “Di belakang rumah saya dulu itu banyak warga yang berkekurangan. Lalu saya berpikir, saya kalau udah besar nanti mau jadi ya agar bisa membantu warga di sini?”
Dedo menemukan jawabannya ketika aktif di paroki dan melihat Romo Tanto. Ia mendapatkan figur gembala darinya. Tahun 1981 ia masuk ke Seminari Mertoyudan dan ditahbiskan sebagai imam tanggal 30 Juli 1996. “Saya sangat merasa beliau menunjukkan jalan bagi saya,” ungkapnya.
Selain itu, Romo Tanto diam-diam sangat menjaga umatnya yang terpanggil. Romo Dedo masih ingat malam menjelang tahbisan di Yogyakarta, Romo Tanto datang dengan imam yang lainnya. “Tapi kehadiran beliau menegaskan, saya sangat didukung oleh seorang hebat,” tutur Romo Dedo ketika diwawancarai HIDUP secara daring, 11/3/2022.
Bagi Romo Dedo, dulu Romo Tanto adalah seorang guru sekarang menjadi saudara serikat dan sahabat. “Kalau PS Ascensio konser, saya selalu diundang. Wah, beliau senang sekali ada saudaranya yang mendukung, apalagi dulu juga sebagai anak asuhnya,” ungkap kelahiran Jakarta, 1 Desember 1965 ini.
Menjalani Kaulnya
Romo Dedo menceritakan dirinya terakhir kali bertemu dengan Romo Tanto di bulan Januari. Ketika itu Romo Tanto sudah terbaring di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. “Beliau sudah masuk ICU. Setelah saya doakan dan berikan berkat. Momen yang tidak terlupkan karena saya pertama kalinya mendoakan guru saya. Kemudian kondisinya sempat membaik. Saya sudah siap dengan apapun yang terjadi karena Provinsial menugaskan kalau waktu beliau sudah tiba, maka saya yang harus memberikan homili di Misa Requiem,” tuturnya.
Menurut Romo Dedo, Romo Tanto pernah mengungkapkan bahwa dirinya dapat “bonus”. Tuhan selalu menyembuhkan penyakitnya dan Romo Dedo heran, Romo Tanto semakin tua, semakin semangat dalam berkarya.
Bagi Romo Dedo, kesederhanaan itu penting. Romo Tanto menampilkan bahwa dalam hidupnya sederhana namun sekarang kekayaannya pada karyanya ya tertinggal. Sehingga para alumni Ascensio berencana akan merawat peninggalannya. Romo Tanto menekuni satu bidang, mendidik dan targetnya adalah generasi muda. “Jesuit tulen, melakoni apa yang dia kaulkan!” tegas Romo Dedo. Romo Tanto pun menjalani pelayanannya kepada orang yang berkekurangan, option for the poor dan itu dia tekunin sampai akhir hayatnya.
Tidak Banyak Bicara
Begitu ngopeni Paduan Suara (PS) Ascensio. Dijawab tanpa ragu oleh Romo Y. Chris Purba, SJ ketika disodorkan pertanyaan kenangan yang tidak terlupakan dari Romo Tanto.
“Ketika saya berkarya di Gereja St. Servasius, Kampung Sawah, Bekasi, saya menyaksikan bagaimana setiap Rabu dan Sabtu sore, beliau menjemputi anak-anak itu dan diangkut dengan Isuzu Elf menuju Gereja St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok, Jakarta Utara untuk latihan nyanyi. RoTan (sapaan akrab dari anggota PS Ascensio untuk Romo Tanto) sendiri yang menyetir. Malam harinya anak-anak diantar satu per satu. Luar biasa juga energinya batin saya. Ketika itu, setiap hari Kamis pagi, tidak kami jadwalkan untuk Misa pagi, “tutur Romo Chris.
Romo Chris mengenal Romo Tanto ketika dirinya masih seorang frater tahun 1982 di Gereja St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok, Jakarta Utara. “RoTan tidak banyak bicara, tapi ia persilakan kami, para frater yang baru tiba di Jakarta, masuk ke Pastoran. Walau pun dia tidak banyak bicara, kami merasa nyaman saja. Maklum, kami para frater umumnya sungkan dan takut pada para senior. Tidak dengan RoTan,” ungkap kelahiran Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara ini.
Relasi Romo Chris dan Romo Tanto mulai terjalin sejak tahun 2009 Romo Chris diutus berkarya di Paroki Kampung Sawah. Waktunya singkat ketika itu karena 2011 Romo Chris sudah dipindah lagi. Saat itu, Romo Tanto sebagai Pastor Rekan dan teman bagi Romo Chris. Ia berkisah, dulu kerap mengajak Romo Tanto mengunjungi rumah orang tuanya. “Kalau ada acara pentas tahunan PS Ascensio, saya hadir. Itu membuat beliau senang sekali rupanya, karena biasanya praktis tidak ada imam lain yang tertarik hadir, selain imam dari Paroki Tanjung Priok,” terangnya.
Meninggalkan lLegacy bagi Gereja
Selama ini, Romo Chris mengenal beberapa karya Romo Tanto, terutama lagu bagian tetap Misa: Misa Kita II dan IV. Romo Tanto adalah salah satu inisiator Puji Syukur. Bagi Moderator Pembaruan Kharismatik Katolik Shekinah Keuskupan Agung Jakarta (BPK PKK KAJ) ini di antara lagu-lagu ciptaan Romo Tanto, hampir 100 lagu, yang paling menarik adalah Misa Kita IV. Sebuah masterpiece, akan bergema sepanjang masa.
Romo Chris membeberkan, Misa Kita IV baginya sungguh agung, indah, meriah, megah, hidup, penuh semangat, menggerakkan. Menurut Romo Chris, keagungan Misa Kita IV setara dengan bagian tetap Misa “De Angelis”, yang disukai di seluruh dunia. Energi lagu ini energi lagu Mars.
Menurut Romo Chris, peran Romo Tanto yang paling utama adalah dengan lagu-lagu rohani atau gerejani ciptaanya, ia mengantar umat bertemu Tuhan, seperti adagium “Qui bene cantat, bis orat” (Yang dengan baik menyanyi, ia telah berdoa dua kali).
Romo Tanto meninggalkan legacy bagi Gereja. Romo Chris meyakini nama ya akan abadi bagi Gereja Katolik Indonesia. Ia pun berharap lagu Misa Kita IV, akan populer seperti lagu “Silent Nite.” Untuknya, Romo Tanto adalah legenda pencipta lagu rohani Gereja Katolik Indonesia.
Selain itu, Romo Chris juga mengungkapkan, dengan ketrampilan musiknya, Romo Tanto merupakan juga seorang pelaksana dialog ekumenis, yang sekarang ini didorong Paus Fransiskus untuk dilaksanakan. “Romo Tanto diterima baik di kalangan Kristen Protestan. Ia menghadirkan keharuman Gereja Katolik yang berinteraksi dengan saudara dan saudari umat Kristiani lainnya,” tambah tahbisan tahun 1991 di Kotabaru, Yogyakarta ini.
Bermakna Dalam
Berbicara karya-karya Romo Tanto tidak akan ada habisnya karena begitu khas. Menurut Onggo Lukito, salah satu murid yang belajar organ dengan Romo Tanto sejak tahun 1995, lagu-lagu terbaik Romo Tanto justru bukan yang liriknya kompleks tapi yang liriknya sederhana, contoh Datanglah Ya Yesus (PS 426). “Kekhasan komposisi lagu dari Romo Tanto adalah lirik yang sederhana tapi maknanya dalam” tambah Onggo. Dirinya sendiri mengangumi Biar Anak-anak Datang (PS 338). “Lagunya simple, sesuai dengan anak-anak jadi mereka gampang untuk mengikuti dan gampang untuk diingat.”
Selain menjadi organis, Onggo juga belajar mengaransemen lagu secara mandiri. Ia lebih banyak memperhatikan aransemen dari Puji Syukur juga Madah Bakti. Selain itu karena sudah bertahun-tahun mengiringi Romo Tanto menggunakan aransemennya, kelahiran Jakarta, 23 Januari 1983 ini juga belajar dari situ.
Secara tidak langsung, Onggo juga mencicipi ilmu harmoni dengan mengetikkan karya Romo Tanto. Teks-teks aslinya berantakan, kadang yang mengerti artinya hanya Romo Tanto seorang. Beberapa kali ketika pandemi, umat Paroki Cililitan ini bertolak ke Paroki Kampung Sawah untuk membantu sang guru. Ilmu harmoni sendiri merupakan aransemen dan komposisi jenis suara. Romo Tanto adalah salah satu yang menguasai teorinya.
Taat
Di mata Onggo, Romo Tanto adalah seorang yang taat pada pimpinan. Dulu beliau perokok berat dan sering minum kopi juga. Sepengetahuan Onggo, beliau pernah masuk rumah dua kali. Provincial SJ datang menjenguk dan minta Romo Tanto berhenti merokok. “Seketika itu beliau berhenti merokok sampai sekarang dan menjalani ketaatannya dengan sukacita. Seingat saya, setelah mendirikan PS Ascensio, ia diutus lagi menempuh tersiat tahun 1980-1981 di Kew, Australia, di bawah bimbingan Pastor Wallace, SJ. Walaupun murid-muridnya menangis, ia tetap berangkat dengan sukacita. Setelah dari Australia juga, setahu saya, Romo Tanto manut ditugaskan di mana saja. Beliau adalah seorang imam Jesuit, yang bersedia berangkat diutus ke mana pun dengan sukacita,” ujar Onggo
Romo Tanto tidak memperkenalkan dirinya sebagai musisi, tetapi sebagai imam yang diutus berkarya dalam bermusik. Musik adalah karya perutusannya. Musik dipakai Romo Tanto sebagai sarana untuk umat yang ia layani agar bisa berjumpa dengan Tuhan.
“Misalkan melatih organ, dia senang kalau anaknya bisa main dengan baik, tetapi alangkah lebih baik, bisa berjumpa dengan Tuhan.” Menurut Onggo, Romo Tanto masih mempunyai keinginan untuk membuat Antifon Pembukaan dan Komuni dengan Bahasa Latin untuk Misa sepanjang tahun, namun belum terealisasikan.
Sabar Banget
Romo Tanto menjadi sosok guru yang paling sabar yang pernah ditemui oleh Agnes Fridasari. Sari, sapaan akrabnya, berlatih organ dengan Romo Tanto sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia mengakui daya tangkapnya tidak secepat teman-teman lain, jadinya minder. Tapi sang guru justru menyemangatinya. Katanya, tidak masalah, dicoba pelan-pelan, nanti pasti bisa. Romo Tanto menemaninya terus dengan sabar tanpa marah-marah. Alhasil, Sari mengikuti jejak sang guru, sekarang ia bekerja sebagai guru musik di sebuah sekolah musik swasta.
Menjadi sabar adalah hal yang sukar dilakukan, apalagi ketika melatih anak-anak. Sebagai guru musik, Sari mencoba menanamkan hal itu. Tidak jarang ia sharing dengan Romo Tanto. Menurut Sari, Romo Tanto sangat mengenal anak-anak asuhannya. Kerap Romo Tanto selalu mengatakan karakter anak sangatlah beragam. “Beliau menekankan, maka menangani anak juga harus dengan metode yang berbeda-beda,” tutur umat Paroki Duren Sawit, Jakarta Timur ini.
Melihat kesabaran Romo Tanto dalam mengajar anak-anak, Sari menyimpulkan, kalau ada anak didik yang belum bisa, jangan patah semangat. Gurunya harus tekun membimbing. “Romo Tanto selalu yakin, anak asuhannya pasti akhirnya akan bisa. Sebagai guru, kalau melihat anak didik berhasil, tentu menjadi suatu kebanggaan ya,” tambah Sari.
Mengumpulkan Organ Bekas
Romo Tanto dikenal sangat peduli dengan anak-anak. Begitu juga sebaliknya, anak sangat sayang dan kerasan bersama Romo Tanto. “Romo sangat memanjakan kami,” kenang Sari. Ia merasa Ascensio adalah tempat Romo Tanto menyelamat anak-anak. Menurutnya, anak-anak kerap ditinggal orang tuanya bekerja dan zaman dulu tempat latihan musik tidak bervariasi seperti sekarang. Romo Tanto hadir dalam situasi tersebut untuk merangkul anak-anak. Selama mengenal Romo Tanto, Sari melihat Romo selalu memikirkan orang lain.
“Saya ingat persis kebiasaan Romo Tanto yang suka ngumpulin organ bekas. Kondisinya kadang sudah rusak, tutsnya sudah anjlok lalu nanti diperbaiki sendiri. Kalau sudah betul, beliau kasih ke anak-anak buat latihan. Di paroki saya, ia pernah meninggalkan keyboard dan organ, biar latihannya nanti bisa bersama-sama. Romo selalu memikirkan orang lain, “ jelasnya.
Selain itu, Romo Tanto selalu menghimbau anak-anak asuhannya aktif berpelayanan di Gereja. Sari kecil pernah bertanya kepada sang guru, “Romo, kenapa saya harus mengiringi Misa di paroki ini, kan bukan paroki saya”. Masih terekam jelas diingatan Sari, Romo Tanto menjawab, “ Rumah Tuhan itu banyak, enggak hanya Paroki Duren Sawit. Di mana pun kamu dibutuhkan oleh Gereja, kamu siap membantu.” Ini yang membuat Sari aktif melayani di paroki-paroki yang membutuhkan organis.
Teman Curhat
Sari tidak mengelak kalau Romo Tanto acap kali dinilai sebagai pribadi yang pendiam. Tapi sering kali juga dirinya ngobrol, berdiskusi dengan Romo Tanto hingga berjam-jam. Apalagi ketika pandemi. Menurut penuturan Sari, Romo Tanto cukup merasa kesepian saat pandemi melanda karena Latihan terhenti dan paroki banyak yang ditutup. “Saya sempat memberikan saran, untuk mengajarnya sementara daring saja, Jadi anak-anak bisa mengirimkan video saat berlatih organ di rumah. Setahu saya terakhir itu ada yang kirim video ke Romo,” ungkap Sari.
Selain kehilangan sosok guru, Sari kehilangan teman curhat. “Kadang saya suka cerita lagi kesel dan sebagainya. Beliau itu enggak pernah punya pikiran negatif, sama sekali. Beliau mendengarkan dengan sabar. Sekarang beliau sudah enggak ada, enggak ada yang bisa ditelepon lagi,” tutur Sari lirih.
Tidak hanya Sari. Ketika romo terbaring di rumah sakit, Sari sempat mengatakan kepada teman-teman di Ascensio, kalau mau curhat boleh lewat Voice Note (VN) nanti akan disampaikan ke suster yang merawat. Begitu banyak anak-anak yang mencurhakan isi hatinya melalui VN tentang apapun.
Namun di sisi lain, Sari sebagai alumni Ascensio juga anggota Ascensio ikhlas menerima kepergian Romo Tanto. “Beliau sudah tenang, enggak merasakan sakit lagi karena cukup lama Romo bertahan,” tambahnya. Tanggal 20-23 Januari 2022 menjadi momen terakhir Sari bertemu dengan Romo Tanto di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Ketika itu, bersama rekannya, Belinda, ia menyampaikan bahwa akan mencari jalan agar Ascensio terus berkembang.
Kelahiran Jakarta, 9 Juni 1978 ini mempunyai relasi yang dekat dengan Romo Tanto. Suatu kali Romo Tanto bertanya kepada Sari, jika dirinya sakit, Sari akan menemani tidak. “Saat Romo Tanto dirawat di Sint Carolus, Jakarta, kalau saya libur, saya menemani beliau. Saya janji, saya akan menemani Romo sampai pulang ke Emaus,” pungkasnya.
Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-76, Minggu, 27 Maret 2022