Romo Kris, saya tertarik dengan uraian Romo tentang Meterai Sakramen Imamat. Bagaimana kalau dengan seorang uskup yang dibebastugaskan? Apakah seorang mantan uskup masih bisa menahbiskan seorang imam? (Leo, Jakarta)
KETENTUAN norma Gereja menyebutkan bahwa seorang uskup dioses yang sudah berusia genap tujuh puluh lima tahun, atas dasar alasan kesehatan atau alasan berat lain, diminta mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus. Bila pengunduran diri ini diterima oleh Paus, kemudian disebut sebagai Uskup emeritus (KHK 401-402). Di sini tidak dikenal istilah mantan uskup, namun yang dipakai adalah gelar uskup emeritus. Jabatan sebagai uskup dilepaskan, namun martabat sakramen tahbisan uskup tetap. Maka beliau bisa saja mentahbiskan seorang imam, tentu dengan sepengetahuan serta sepersetujuan uskup setempat (KHK 1016-1017).
Tetapi, jikalau seseorang berhenti dari jabatan uskup, dan kemudian oleh Takhta Suci dilepaskan status klerikalnya, tentu tidak bisa menahbiskan seorang imam. Sebagai contoh Paus Fransiskus tidak saja melepaskan status kardinal pada Theodore McCarrick, terakhir sebagai Uskup Washington namun pula pada Februari 2019 laisisasi, dilepaskan dari status klerikalnya, karena alasan berat pada dirinya. Dengan demikian yang bersangkutan kemudian memiliki status sebagai awam. Status awam menghalanginya untuk menahbiskan imam, sebab tahbisan imam hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki martabat tahbisan uskup, betapapun seorang uskup emeritus.
Maka setidaknya ada dua kemungkinan seorang uskup dibebastugaskan: pertama karena alasan usia dan kesehatan, serta alasan berat yang menjadikannya dilepaskan martabat tahbisannya sebagai uskup. Pada umumnya, uskup yang dibebastugaskan adalah mereka yang memenuhi alasan pertama. Mereka yang dibebaskan karena alasan kedua, betapapun ada namun tidak sangat banyak. Karena itu, kalau ada seseorang yang pernah menjadi uskup, kita perlu melihat alasan pengunduran diri atau pembebasan tugasnya, serta status klerikalnya setelah berhenti sebagai uskup.
Tentu kita bisa bertanya, mengapa seorang mantan uskup (bukan uskup emeritus) tidak bisa menahbiskan? Alasan dasarnya adalah karena tahbisan imamat tidak pernah memenuhi landasan kedaruratan, sebagaimana alasan kedaruratan pada baptisan atau sakramen orang sakit. Dokumen Hukum Gereja menyebutkan secara jelas dan rinci berbagai persyaratan maupun halangan bagi tahbisan (KHK 1024-1049). Dari sini saja kita bisa melihat, tidak bisa ada orang tiba-tiba ditahbiskan, tanpa lewat proses pengujian serta memenuhi persyaratan selama masa pembinaan yang memadai. Benar, ada kasus yaitu ada seseorang karena alasan sakit berat lalu mendapatkan dispensasi dari Takhta Suci untuk ditahbiskan secara khusus. Dispensasi ini hanya bisa diberikan bila yang bersangkutan dipandang telah memenuhi persyaratan serta masa pengujian yang ditentukan, dan dipandang oleh pembesar yang bersangkutan, entah uskup atau provinsial, beserta dewannya, layak untuk ditahbiskan. Namun ini hanya berlaku dengan dispensasi, tidak bisa berlaku umum, dan sudah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Dispensasi ini pun hanya dari Takhta Suci.
Karena itu, tahbisan imam tidak memenuhi kriteria darurat. Kekurangan imam tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan ketentuan normatif akan tahbisan. Selain itu, tahbisan hanya bisa berlangsung lewat masa persiapan yang panjang. Tidak bisa seseorang begitu saja besok ditahbiskan, tanpa ada alasan ataupun permohonan yang matang dan pertimbangan yang panjang. Kalau uskup setempat berhalangan secara agak mendadak, karena alasan yang bisa dipahami, maka bisa saja seseorang ditahbiskan oleh seorang uskup emeritus, seseorang yang sudah dilepaskan jabatan uskupnya namun tidak kehilangan martabat tahbisan uskup. Bisa jadi pula, calon imam dari tarekat religius ditahbiskan oleh uskup, baik yang aktif maupun emeritus, yang berasal dari tarekatnya. Tetapi, semuanya itu sepengetahuan dari uskup dioses domisili calon, entah asal atau tempat pembinaan atau tempat berkarya.
Sakramen Imamat adalah meterai yang tak terhapuskan, yang memasukkan seseorang pada status klerikal di dalam Gereja. Tentu karena itu, sakramen ini hanya diberikan setelah memenuhi berbagai ketentuan dan pengujian. Pembebastugasan seorang uskup perlu dilihat alasan maupun statusnya. Seorang uskup emeritus tetaplah uskup, walau sudah menjabat sebagai uskup dioses mana pun. Jabatan uskup tidak lagi dimiliki, namun martabat uskup masih melekat padanya, maka kewenangan dasr yang melekat pada tahbisan tersebut masih bisa dijalankannya, dalam perkara tahbisan tentu sepersetujuan uskup setempat.
HIDUP NO.10, 6 Maret 2022
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
(Teolog Dogmatik)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.